Manakib Syekh Abdurrohman Klotok Alfadangi: ulama intelektual, faqih, dan Ahlul Quran penulis Manuskrip Padangan. Figur berpengaruh dalam peradaban Fiidarinnur Padangan.
Meski masyhur waliyullah keramat, Syekh Alhajj Abdurrohman Alfadangi (Wan Khaji Abdurrohman Klotok) merupakan ulama intelektual nan faqih, sekaligus Hamilul Quran yang sufi. Karya dan pengaruhnya cukup besar bagi para penyebar islam di Bojonegoro, Tuban, Nganjuk, hingga Gresik pada abad 19.
Syekh Abdurrohman merupakan pilar penting transmisi intelektual islam Fiddarinur Padangan pada paruh akhir abad 18 (1750-1800). Mayoritas ulama Padangan Bojonegoro yang hidup di abad 19, berkoneksi dan bersanad ilmu pada Syekh Abdurrohman Klotok.
Nama dan kuniah intelektual yang pernah dipakai beliau cukup banyak. Diantaranya; Syekh Abdurrohman Fiidarinnur, Syekh Abdurrohman Al- Darnuri, hingga Syekh Al Hajj Abdurrohman Jifang Alfadangi. Nama-nama itu, tersemat secara jelas di tiap karya dan surat yang beliau tulis.
Selain nama intelektual di atas, Mbah Abdurrohman Klotok juga dikenal secara kultural dengan nama Sayyid Abdurrohman Klotok. Mayoritas kiai sepuh, menyebut nama beliau dengan istilah Sayyid Man. Banyaknya nama, tentu berbanding lurus dengan banyaknya peran intelektual beliau sebagai seorang ulama.
Syekh Abdurrohman ulama yang produktif menulis. Tak hanya tema-tema keilmuan. Bahkan, beliau menulis kota-kota yang disinggahi selama perjalanan haji, baik saat berangkat atau pulang. Lengkap dengan keterangan hari, tanggal, dan tahunnya.
Ini alasan karya tulis Mbah Abdurrohman Klotok cukup banyak. Satu diantara karya penting beliau adalah mushaf Al Quran 30 Juz tulisan tangan. Ini wajar. Sebab, beliau ulama Hamilul Quran yang nglalar (memelihara hafalan) dengan cara menuliskannya.
Beberapa waktu lalu, alfaqir bersama kerabat dan para dzuriyah lainnya, menginisiasi pembacaan kitab-kitab Syekh Abdurrohman. Kegiatan ini butuh persiapan matang dan tak sederhana. Mengingat, segala hal tentang beliau dikeramatkan. Apalagi kitab yang notabene sangat dekat dengan beliau.
Kitab-kitab karya Syekh Abdurrohman kami anggap penting untuk dibaca. Selain sebagai upaya memelihara warisan leluhur, banyak perihal ilmiah yang belum diketahui. Karena itu, karya beliau harus dibahas dan dipahami. Sehingga generasi penerus mampu mencontoh dan menauladani.
Untuk diketahui, tulisan tangan Mbah Abdurrohman Klotok terdiri dari banyak pembahasan. Mulai fiqih, nahwu shorof, tauhid, tasawuf, ilmu faroid, ushul fiqih, catatan perjalanan, hingga mushaf Al Quran 30 Juz. Tulisan-tulisan tersebut, ada yang dijilid menjadi satu kitab. Ada yang satu jilid kitab berisi bermacam pembahasan.
Selain perihal ilmu pengetahuan dan mushaf Al Quran, Syekh Abdurrohman juga menulis peta pergerakan ulama abad 16 hingga 19. Tulisan-tulisan tersebut, ada yang berbentuk manakib, ada pula berbentuk pohon silsilah. Beberapa juga jalur sanad keilmuan para ulama Nusantara dan Makkah.
Kami berencana menerjemah dan mengklasifikasi karya-karya Syekh Abdurrohman. Terutama menerjemah Catatan Perjalanan Haji beliau. Ini penting agar sisi ilmiah beliau bisa ditauladani. Mengingat, selama ratusan tahun, beliau hanya dikenal dari sisi karomahnya saja. Padahal, beliau figur alim alamah nan intelektual ilahiah.
Nasab Syekh Abdurrohman Klotok
Syekh Abdurrohman lahir dan tumbuh di Kuncen Padangan (1776-1877). Nasabnya: Abdurrohman bin Syahiddin bin Sidi Mrayun bin Khatib Anom bin Abdul Jabbar (dari istri putri Syekh Sabil Padangan). Syekh Abdurrohman Klotok adalah keturunan ke-4 Syekh Abdul Jabbar, sekaligus keturunan ke-5 Syekh Sabil Padangan.
Nasab Mbah Abdurrohman Klotok juga bersambung pada Sayyid Jamaluddin Akbar. Urutannya: Abdurrohman bin Syahiddin bin Sidi Mrayun bin Khatib Anam bin Abdul Jabbar bin Pangeran Slarung bin Abdul Halim Tsani bin Abdul Halim Awal bin Abdurrohman Pajang bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Sayyid Ishak bin Sayyid Muhammad Kabungsuwan bin Jamaluddin Akbar Al Husain (Syekh Jumadil Kubro).
Syekh Abdurrohman menikah dengan perempuan yang dikenal dengan Nyai Bayyinah. Beliau dan istri hidup di Desa Klotok, Padangan, Bojonegoro. Di sana, beliau membangun peradaban islam melalui keberadaan pusat belajar berupa masjid dan Pesantren Klothok.
Sanad Ilmu Syekh Abdurrohman
Syekh Abdurrohman ulama Hamilul Quran dan penuntut ilmu. Sejak kecil dididik ayahnya, Syekh Syahiddin. Beliau juga beberapa kali ke Tanah Haramain untuk berhaji dan belajar pada ulama di Makkah Al Mukaromah. Tercatat, beliau pergi ke Makkah pada 1237 H (1822 M), 1250 H (1834), dan 1291 H (1875).
Tiap kali berangkat haji, beliau selalu menyempatkan diri untuk menuntut ilmu. Ini tercatat di Catatan Perjalanan Haji yang beliau tulis. Beliau juga memiliki banyak resume halaqoh ulama. Secara tidak langsung, ini menunjukan betapa banyak ulama Tanah Haramain (Makkah-Madinah) yang beliau temui.
Jika ditilik dari tahun kehadiran di Tanah Haramain, Syekh Abdurrohman Klotok berguru pada Syekh Daud Al Fatani, Syekh Abdushomad Al Falimbani, hingga Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau masih menangi era Syekh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi (guru Sayyid Zaini Dahlan).
Ini alasan Syekh Abdurrohman Klotok memiliki kecintaan dan kepakaran dalam ilmu syariat, khususnya fiqih dan ilmu bahasa. Sebab, Makkah kala itu masih banyak dipenuhi ulama-ulama ahli fiqih Ahlussunah wal Jamaah. Terbukti, dalam salah satu karyanya, beliau pernah menulis ulang Kitab Fathul Muin dan mengarang Kamus Istilah.
Tak hanya memiliki kedalaman ilmu syariat, beliau juga punya ketinggian ilmu hakikat. Beliau bersanad Naqsabandiyah pada ulama besar india, Syekh Abdullah Al-Dihlawi Ghulam Ali Syah (1743-1824). Beliau meriwayatkan silsilah tariqat Naqsabandiyah dari Syekh Muhammad Jan, lalu Syekh Abdullah Al-Dihlawi.
Dalam salah satu kitab catatan perjalanannya, Syekh Abdurrohman mencatat kunjungan ke pelabuhan Kalkuta, India. Ini dilakukan pasca beliau pulang berhaji. Di tahun itulah, Syekh Abdurohman bermulazamah pada sufi besar India, Syekh Abdullah Al-Dihlawi Ghulam Ali Syah.
Setelah malang melintang belajar ke Tanah Hijaz Makkah dan sejumlah ulama, Syekh Abdurrohman menetap di Desa Klothok Padangan. Di sana, beliau mendirikan masjid dan pondok pesantren. Itu alasan beliau masyhur dikenal dengan nama Syekh Abdurrohman Klothok.
Kiprah dan Pengaruh
Bersama istrinya, Nyai Klothok, Syekh Abdurrohman mendirikan masjid dan pusat pendidikan yang dikenal dengan Pesantren Klothok. Syekh Abdurrohman menjadikan wilayah Klothok Padangan sebagai pusat peradaban islam abad 19. Setelah sebelumnya, pada abad 16-17, berpusat di Kuncen Padangan.
Syekh Abdurrohman menggeser pusat peradaban islam yang semula di Kuncen Padangan, ke Klothok Padangan. Jarak kedua wilayah ini sekitar 1 km ke arah timur. Di tempat ini, banyak santri dari berbagai daerah berdatangan untuk belajar dan ngalap barokah.
Ponpes Klothok punya pengaruh besar bagi persebaran islam di wilayah Jawa Timur. Anak cucu Syekh Syihabuddin (Bani Syihabuddin) menerima didikan utama di Pesantren Klothok yang diasuh Syekh Abdurrohman. Kelak, Bani Syihabuddin masyhur sebagai para Aulia penyebar islam abad 19 dan 20 di berbagai wilayah.
Hubungan dengan Bani Syihabuddin
Syekh Abdurrohman memang tak dikaruniai keturunan. Namun, beliau memiliki banyak anak angkat. Adik kandungnya yang bernama Nyai Betet (istri Syekh Syihabuddin), memiliki tujuh anak yang kelak dididik dan diangkat anak Syekh Abdurrohman. Tujuh anak itu, selain keponakan dan santri, juga diangkat anak Syekh Abdurrohman.
Ketujuh anak Syekh Syihabuddin adalah Kiai Abdul Latif, Nyai Muhammad Jono, Kiai Abdullah Padangan, Kiai Tohir Betet, Kiai Murtadho Kuncen, Nyai Syamsuddin, dan Kiai Syahid Kembangan. Semuanya Hamilul Quran. Tujuh anak inilah yang kelak melahirkan banyak ulama dan aulia yang berdakwah di wilayah Jawa Timur.
Ini alasan nama Syekh Abdurrohman Klothok selalu melekat dengan Syekh Syihabuddin Padangan. Bahkan, nama Syekh Abdurrohman juga melekat dengan Bani Syihabuddin (anak turun Syekh Syihabuddin). Mereka masyhur dikenal sebagai dzuriyah dan penerus Syekh Abdurrohman Klothok.
Diantaranya sebagai berikut: Kiai Abdul Latif (anak Syekh Syihabuddin), Kiai Syamsuddin Betet (mantu Syekh Syihabuddin), Kiai Muhammad Jono Kerek (mantu Syekh Syihabuddin), Kiai Murtadho Kuncen (anak Syekh Syihabuddin), Kiai Abdullah Padangan (anak Syekh Syihabuddin), Kiai Tohir Betet (anak Syekh Syihabuddin), Kiai Syahid Kembangan (anak Syekh Syihabuddin).
Dari 7 nama ulama itu, kelak menurunkan banyak ulama di Bojonegoro, Tuban, Gresik, hingga Nganjuk. Sebut saja KH Abdul Qodir Pethak, KH Muntaha Mbaru, KH Ahmad Basyir Pethak, KH Ishaq Rengel, KH Maimun Basyir Pethak, KH Yasin Mruwut, KH Sholeh Tsani Sampurnan, Kiai Sanusi Mbarangan, Kiai Zarkasyi Mbasangan, KH Mustajab Nganjuk, Syekh Sulaiman Kurdi Makkah, hingga KH Muslich Tanggir dan banyak lagi yang lainnya.
Daftar nama ulama dan aulia di atas, dikenal sebagai para dzuriyah Syekh Abdurrohman Klothok, karena tersambung genealogi dengan Syekh Syihabuddin dan Nyai Syihabuddin. Bersama Bani Syihabuddin inilah, Syekh Abdurrohman berupaya mengembalikan Padangan sebagai ranah Fiidarinnur seperti ratusan tahun sebelumnya.
Peradaban Fiidarinnur Padangan
Sejak zaman Majapahit (1293-1527), Padangan sudah masyhur tanah keramat yang jadi pusat peradaban. Ini terbukti dari adanya reruntuhan candi era Majapahit yang berada di Desa Ngeper Padangan. Tak jauh darinya, di kawasan Desa Tebon Padangan, juga terdapat makam telik sandi kerajaan Giri Kedaton.
Di era Kesultanan Demak (1481-1554) dan Kesultanan Pajang (1568-1587), Padangan masuk wilayah Kadipaten Jipang yang masyhur peradaban islamnya. Kawasan ini dikenal dengan Jipang Kapadangan. Di tempat inilah, Mbah Sabil menyembunyikan diri menjelang runtuhnya kesultanan Pajang (1568-1587).
Beberapa tahun setelah Kesultanan Pajang benar-benar runtuh, tepatnya pada 1618 M, Mbah Sabil bersama Katib Khasim mendirikan Pesantren Menak Anggrung di Kedung Pakuncen (Kuncen Padangan) untuk menyebarkan islam. Di pesantren Menak Anggrung pula, Mbah Sabil berkonsolidasi dengan dua tokoh Kesultanan Pajang lainnya, Mbah Sambu dan Mbah Jabbar.
Persebaran islam kian pesat pasca Mbah Sabil menjadikan Mbah Sambu dan Mbah Jabbar sebagai anak mantunya. Kedua ulama besar itu, dinikahkan dengan kedua putri Mbah Sabil. Mbah Sambu menikah dengan Nyai Sambu, Mbah Jabbar dengan Nyai Moyokerti.
Kuncen Padangan jadi episentrum peradaban islam yang menghubungkan koridor Lasem dan Jojogan Tuban. Kedung Pakuncen disebut sebagai Kota Cahaya (Fiidarinnur). Meski, seiring terjadinya perang, peradaban islam sempat melemah dan hilang.
Sekitar dua ratus tahun kemudian, Syekh Abdurrohman berupaya membangkitkan kembali peradaban Fiidarinnur. Terbukti, di tiap korespondensi dan penulisan kitab, beliau menyemat lakob Fiidarinnur di belakang namanya: Syekh Al Hajj Abdurrohman Fiidarinnur. Ini terlihat di catatan beliau yang bertarikh 1806 M.
Fiidarinnur, jika diartikan secara harfiah, bermakna: ing ndalem omah cahaya atau di dalam taman cahaya. Tentu, artinya sama dengan Padangan Kota Cahaya. Tanah berselimut cahaya. Cahaya di sini, bukan berarti cahaya lampu. Tapi secara maknawiah, cahaya ilmu dan petunjuk.
Penyematan Fiidarinnur bukan tanpa alasan. Syekh Abdurrohman sangat paham, ratusan tahun sejak zaman datuknya, Padangan adalah pusat peradaban islam. Ini terbukti secara otentik berdasar manuskrip dan jadi konsensus ulama secara turun temurun.
Kelak, pada abad 19 (1800 M), di era Syekh Abdurrohman Klothok, Padangan kembali masyhur sebagai ranah Fiidarinnur. Ini bukan tanpa bukti. Banyak ulama Sadat Alawiyin dan para Aulia penyebar islam abad 19 yang mukim dan dimakamkan di Tlatah Padangan.
Karya Intelektual Syekh Abdurrohman
Di tiap tempat yang beliau kunjungi, beliau selalu menyempatkan diri menulis. Banyak karya beliau yang diawali di sejumlah kota, untuk kemudian diselesaikan di Padangan. Selain di Tanah Haramain (Makkah-Madinah), beliau juga pernah menulis di Kalkuta (pelabuhan India). Bahkan, tak sedikit tulisan beliau diselesaikan di atas kapal laut. Ini otentik karena tercatat secara jelas di manuskrip.
Syekh Abdurrohman tak hanya alim alamah, tapi juga berjiwa seni tinggi. Ini terbukti dari bagusnya tulisan tangan beliau. Tulisan Syekh Abdurrohman mirip kaligrafi. Khat-khat yang beliau pilih, mengandung unsur estetika kelas tinggi. Terlebih, itu semua ditulis pada periode awal 1800 masehi. Hanya orang tertentu yang mampu melakukannya.
Kitab karya Syekh Abdurronman cukup banyak. Beliau selalu mencantumkan kapan tanggal kitab itu selesai ditulis. Kitab-kitab karya beliau, bertarikh antara tahun 1806 hingga 1875. Semua masih tersimpan rapi di Ndalem Kasepuhan Ponpes Al Basyiriah Pethak, Bojonegoro.
Ada belasan kitab dengan tebal beragam. Mayoritas setebal 300 halaman. Ukurannya pun beragam. Ada yang A4, F4, hingga ukuran Legal dengan bahan kertas dari kulit lembu (lulang).
Syekh Abdurrohman Klothok memiliki banyak nama pena. Diantaranya Syekh Abdurrohman Jifang Alfadangi, Syekh Abdurrohman Fiidarinnur, Syekh Hasan Abdurrohman, Syekh Muhammad Arif, Syekh Abdullah Padangan, hingga Syekh Hasan Jismani. Serupa banyaknya nama, beliau juga memiliki banyak karya tulis.
Diantara kitab karangan beliau, adalah; At-Tafriq (fiqih), Kitab Tajwid Quran, Amtsilah Tashrif (kamus), Kitab Sanad Thariqah, Fi Kalimati as-Syahadah (akidah), Fadhilatus Shiyam wa Syahri Rajab (fiqih), Hadist Arba’ain (hadis), Fathul Mubin Syarah Ummul Bahrain (Akidah), Risalah Nikahul Khoir Wasyaril Syahri (hadis), Manuskrip Padangan (jejaring ulama abad 17 di Padangan), Catatan Perjalanan Haji, Kitab Mujarobat, Risalah Khodam Khuruf, dan lain sebagainya.
Beliau juga men-syarh sejumlah kitab seperti Fathul Mannan (Syekh Ibnu Qosim), Fathul Mubin (syarh Ummul Bahrain), Muharror (Imam Rifai), Fathul Muin (Zainuddin Al Malibary), Maulid Barzanji (Syekh Jafar Al Barzanji), Safinah an-Najah (Syaikh Salim Bin Sumair al-Hadlramy), Thulbatu thullab fi thoriqi al-ilm liman thalab (Muhammad Al Kasyafari).
Selain itu, juga kitab Fathurrahman bi Syarhi Wali Ruslan (Imam Zakaria al Anshari), Hadist nishfu syaban (Syaikh Hafidz Muhaddis M. Najmuddin Al-Gaithi), Asasul Muttaqin (Syaikh Abd. Shamad Ibn Faqih al-Hasan Ibn Faqih Muhammad), Nurul Mushalli (Syaikh Abi Bakar), Ummul Barahin At-Tilmisani (Syekh Muhammad bin Umar Bin Ibrahim At-Tilmisani).
Itu masih belum semua. Masih ada sejumlah kitab Syekh Abdurrohman yang belum selesai terbaca. Bahkan, ada satu peti berisi kitab-kitab beliau yang hingga kini belum diidentifikasi. Tentu, hal ini membuka potensi ditemukannya judul-judul kitab baru.
Keramat Aulia Padangan
Selama ratusan tahun sejak wafat (1877), Mbah Abdurrohman dikenal masyarakat sebagai Wali Keramat. Beliau dikenal Keramat Aulia Padangan. Aulia yang dikeramatkan di Padangan. Kisah tentang karomah yang beliau miliki, jauh lebih dominan dibanding profilnya sendiri.
Banyaknya kisah karomah, bahkan hingga menutup sisi ilmiah yang beliau miliki. Padahal, Mbah Abdurrohman Klothok ulama alim nan intelektual. Beliau mualif (penulis) yang sangat produktif. Karena identik sisi karomah, figur dan karyanya justru jarang dibahas secara ilmiah.
Mbah Abdurrohman masyhur memiliki doa mustajabah. Ucapannya serupa palu ketetapan. Tiap berucap, langsung kedaden (terjadi). Banyak riwayat mengisahkan betapa mustajabnya ucapan Syekh Abdurrohman. Hal itu menjadikan nama beliau masyhur Wali Keramat.
Saat masih hidup, Mbah Abdurrohman ulama yang jadi pusat istifadah dan bertabaruk di Padangan. Banyak umara, ulama, hingga masyarakat biasa, sowan dan bersilaturahim pada beliau untuk ngaji kitab, berguru ilmu, minta sanad ijazah, atau sekadar minta nasehat.
Pasca beliau wafat, sisa keramat justru lebih mendominasi. Ini terbukti. Benda-benda berhubungan dengan Syekh Abdurrohman, sangat diburu sebagai jimat. Tak hanya tanah makam; tapi juga kentongan, bedug masjid, hingga cuilan nisan. Banyak orang dari berbagai daerah memburu sisa keramat Syekh Abdurrohman.
Raden Adipati Rekso Kusumo, Bupati Bojonegoro (1890-1916), saking inginnya ngalap barokah pada Syekh Abdurrohman, sampai minta bedug Masjid Klothok untuk dikirim ke Bojonegoro lewat sungai Bengawan Solo. Namun, perahu pembawa bedug hanya berputar di tempat. Tak jadi dikirim, bedug dikembalikan.
Syekh Abdurrohman juga masyhur memiliki banyak santri dari berbagai kalangan. Selain dari kalangan ulama, umara, hingga masyarakat biasa; banyak pula santri beliau yang berasal dari kalangan jin. Ini alasan makam beliau terkenal keramat. Sebab, dijaga “para santri” yang galak-galak.
Sampai hari ini, para habaib dan ulama-ulama besar yang diberi kasyaf, tiap kali melintas di kawasan Padangan, akan berhenti sejenak untuk bertabaruk dan beristifadhah pada Syekh Abdurrohman. Hal ini sudah jadi konsensus di kalangan para ulama yang ada di Padangan.
Terlepas dari banyaknya karomah dan khususiyyah yang beliau miliki, kita tahu bahwa Mbah Abdurrohman Klothok memang ulama intelektual. Beliau bisa menulis dengan istiqomah di tengah tekanan penjajah. Tak hanya istiqomah, di tiap tulisan, juga menunjukan ketenangan hati yang ekstra tinggi. Benar jika beliau seorang Wali. Figur berselimut Laa Haufun Alaihim Walahum Yahzanuun.
Selain istiqomah beribadah, beliau juga istiqomah dalam menulis karya ilmiah. Ini penting untuk diketahui. Agar yang diingat tak hanya keramatnya saja. Secara tak langsung, Syekh Abdurrohman mengajarkan pada kita tentang kredo keramat: Al Istiqomah khoirun min alfi karomah. Istiqomah lebih baik dari seribu karomah.
———
Risalah manakib ini ditulis dalam rangka peringatan Haul datuk kami, Syekh Abdurrohman Klothok Alfadangi, pada 29 Dzulhijah 1443 H (28 Juli 2022 M).
Alfaqir,
Ahmad Wahyu Rizkiawan