Meski melankolis dan penuh kesedihan, Sugeng Dalu menjadi lagu yang optimistis dan amat bijaksana.
Oyits, kawan dekat saya, mengirimi sebuah link YouTube berisi video clip lagu Campursari. Dia meminta saya mendengarkan lagu itu secara seksama dan menulis tafsir pendek atas hasil mendengarkan lagu tersebut.
Tak berselang lama, Hamas, kawan saya yang lainnya, mengirimi link YouTube yang sama. Dan serupa Oyits, dia meminta saya mendengar dan memberi tafsiran pendek sebuah lagu berjudul Sugeng Dalu karya Denny Caknan.
Oyits dan Hamas tentu bukan tanpa alasan mengirim link dan meminta saya menafsiri lagu tersebut. Sebelumnya, mereka ngakak saat membaca hasil tafsir saya atas lagu Denny Caknan berjudul Kartonyono Medot Janji.
“Wes to lee…lee… ndang ditafsiri ben iso dienggo diskusi karo ngguya-ngguyu.” Imbuh Hamas.
Oyits dan Hamas tentu bukan orang sembarangan dalam hal musik dan lelaguan. Bersama Herman, Baihaqi, Norlan, Bimbim, dan beberapa kawan lain, kami dulu membikin komunitas yang kegiatannya mendiskusikan lirik lagu-lagu Alternatif Rock macam Britpop dan Grunge hingga Pop Punk.
Oyits misalnya, bisa menulis tafsir lagu Champagne Supernova-nya Oasis hingga berlembar-lembar kertas HVS. Atau Hamas yang bisa menjelaskan riwayat sekaligus manaqib berdirinya Oasis dan bagaimana hubungan ideologis mereka dengan The Beatles secara referensial.
Atau Baihaqi dan Bimbim yang bisa berbual-bual soal pemilihan diksi lirik lagu The Who selama beberapa menit tanpa bernafas seperti di dalam air. Bagi kami dulu, selama berurusan dengan musik gitu-gituan, selalu ada yang bisa diperdebatkan.
Tentu saja, campursari atau indie atau hardcore atau under horog-horog nggak masuk di telinga kami. Jangankan didiskusikan, mendengar pun kami malas. Tapi memang, time flies and everything changes. Apa yang tak pernah terpikir justru terjadi.
Buktinya, Oyits dan Hamas sang mufassir lirik Britpop justru meminta saya menafsiri lagu Campursari. Bahkan secara sepihak dan defacto, melabeli saya sebagai mufassir lagu campursari pilihan. Bukankah itu wqwq sekali?
** **
Saya pun mendengar lagu Sugeng Dalu dengan seksama. Mengulang-ulang lagu itu sampai paketan saya hampir ludes demi mendapat benang merah untuk ditulis. Sugeng Dalu, awalnya memang tampak mistis. Meski tak se-mistis Lingsir Wengi.
Saat tulisan ini ditulis, Sugeng Dalu ditonton sebanyak 37 juta penonton dan 222 likes. Padahal ia diunggah secara resmi pada Agustus 2019.
Sugeng Dalu tampak mistis karena ada kata Dalu yang artinya, tentu saja, malam. Selain itu, original video clip dibuka dengan suram senja di pinggir pantai, yang secara nyata-nyata memperkenalkan hilang dan kemuraman.
Sugeng dalu
Ati seng biyen tau ngelarani
Wes suwe we ra rene
We lungo mung masalah sepele
We golek liane
Secara semena-mena, bait lirik di atas bisa dimaknai: selamat malam/hati yang dulu pernah menyakiti/sudah lama kau tak menampakkan diri/kau pergi karena masalah sepele/ kau mencari yang lain.
Ini bait eksposisi, pengenalan: Jika 5 baris lirik itu diaduk dan ditiriskan ke dalam sebuah gelas atau cangkir atau piring, isinya tentu pahit dan penuh dengan perihal perih nan menyakitkan. Sebab ada unsur menyakiti dan pergi meninggalkan.
Saya tahu, kenapa Oyits dan Hamas meminta saya segera menafsir lagu Sugeng Dalu. Ya, lagu itu punya kedekatan psikolinguistik dengan kami. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari, terutama kami yang berasal dari Padangan.
Yaiyalah, lha wong penulisnya orang Ngawi, hancik!
Serupa teorema psikolinguistik, ada faktor-faktor psikologis dan neurobiologis yang memungkinkan teman-teman saya tadi bisa memiliki kedekatan linguistik terhadap lagu itu. Apalagi jika ada unsur “pengalaman” di dalamnya.
Tambah loro
Yakin we teko nambahi sengsoro
Ngrusak tatanan ati seng wes pengen lali
Karo gedhe duwure balunganmu
Secara semena-mena, bait kedua itu bisa dimaknai: tambah sakit/yakin kehadiranmu menambah sengsara/merusak tatanan hati yang sudah mau lupa/pada tinggi-besarnya nafsu hartawimu.
Masuk bait kedua, embrio konflik muncul. Kata sakit dan sengsara sudah secara nyata tampak dan mengawang di telinga kepala. Kata balungan, dalam kaidah bahasa sehari-hari bisa dimaknai sebagai harta atau kuasa.
Di bait kedua ini, ketipung sudah mulai ditampar, menambah rasa sakit yang amat meremukkan dada. Pada bait ini sudah bisa kita ketahui, kehadiran sosok di masa lalu yang amat memicu borok yang hampir sembuh kembali bernanah.
Aku wes ora gagas kata luka
Wes cukup wingi rapengen mbaleni
Mario leh mu dolanan ati
Wes wayahe we kapok mblenjani
Secara semena-mena, bait ketiga bisa dimaknai: aku sudah nggak peduli kata luka/sudah cukup kemarin, nggak mau mengulangi/berhentilah memainkan hati orang/sudah waktunya kamu tobat membohongi orang.
Ini tahap rising action. Konflik mulai dimunculkan. Di bait ketiga ini pula, kedewasaan dan kebijaksanaan seorang lelaki (karena yang nyanyi kebetulan lelaki) benar-benar tampak.
Lihatlah: selain tak ingin mengulangi, dia memberi nasehat pada mantannya untuk sembuh dari sifat memainkan hati orang dan sembuh untuk tak lagi hobi berbohong.
Bukankah butuh kedewasaan dan kebijaksanaan yang amat besar untuk memberi nasehat pada mereka yang pernah menoreh luka?
Udan tangise ati
Saiki wes rodo terang
Masio isih kadang kelingan
Kowe seng tak sayang sayang
Secara semena-mena tapi ditulis dengan penuh tanggung jawab, bait ke-empat ini bisa dimaknai: hujan tangis di hati/sekarang sudah agak reda/meski kadang masih teringat/kau yang kusayang-sayang.
Ini bait turning point, konflik memuncak. Luka dan borok sudah hampir sembuh. Tapi masih ada pengakuan kecil tentang ingatan rasa sayang. Yaiyalah, rasa sayang murni tentu tak bakal mudah hilang begitu saja. Karena murni, bukan orientasi kapitalistik.
Saiki mung crito loro
Mpun kadung mbekas ning dodo
Perihe ati seng mbok paringi
Wes cukup ra bakal tak baleni
Secara semena-mena tapi saya tulis dengan penuh tanggung jawab, bait kelima ini bisa dimaknai: sekarang tinggal cerita lara/sudah terlanjur membekas di dada/perihnya hati yang telah kau beri/sudah cukup dan tak akan kuulangi.
Di sinilah tahap resolusi atau penyelesaian konflik lagu diakhiri. Cerita luka yang membekas di dada dan hanya meninggalkan perih belaka, sudah cukup dan tak perlu diulangi lagi. Di sinilah letak optimismenya. Optimistis mendapat bahagia tanpa harus jatuh di lubang yang sama.
“Sudah cukup” adalah frasa dewasa dan bijaksana. Hanya mampu diucap mereka yang punya hati jembar. Koruptor tak pernah punya frasa “sudah cukup” sebab memang tak pernah cukup. Begitupun mereka yang hobi memainkan hati orang lain, sebab tak pernah cukup.
** **
Meski melankolis dan penuh kesedihan, Sugeng Dalu menjadi lagu yang optimistis dan amat bijaksana. Tidak marah dan nerima ing pandum. Ia menjadi easy listening karena punya nada minor yang pas dengan lirik.
Berpisah bukan perkara baik. Tapi menjadi baik dan patut disyukuri jika dari berpisah bisa melihat keburukan sejak awal, daripada menghabiskan sisa hidup dengan potensi api di dalam sekam yang bisa membara setiap saat.
Menjadi berharga adalah poin penting dalam lagu Sugeng Dalu. Saat ada yang menyakiti lalu meninggalkanmu, bisa jadi sebetulnya ia memang tidak layak. Dan kamu sangat berharga, amat pantas menghabiskan waktu dengan orang yang lebih layak.