Bahagia sekali, bila ada anggota keluarga jadi pribadi lebih baik. Untuk mewujudkannya, belajar -dalam hal ini membaca- adalah langkah konkrit yang perlu dilakukan.
Membuka pagi, penulis biasa awali dengan belajar (membaca). Penulis menjadi lega bisa melakukan hal itu. Minimal, penulis bisa membiasakan diri, bila belajar itu adalah nomor satu yang harus dilakukan.
Melalui belajar, mudah-mudahan Allah Swt anugerahkan tambah pengetahuan.
Simbol membaca -sebagai aktifitas belajar- mudah-mudahan keluarga mendeteksi, bila penulis adalah bagian dari anggota keluarga yang berusaha demen belajar dari hari ke hari.
Tentu, di keluarga mana pun, akan senang bila ada anggota keluarga menjadi pribadi yang lebih baik. Guna mewujudkan pribadi yang lebih baik, belajar -dalam hal ini membaca- adalah langkah konkrit yang perlu dilakukan.
Sebagai ilustrasi, kita bisa tahu kalau diri kita salah, kurang tepat dalam bersikap, asal-muasalnya dari pengetahuan hasil baca. Kita bisa mengendalikan nafsu agar tidak mendominasi menjadi laku diri destruktif, juga dari pengetahuan hasil baca.
Hingga kita bisa kembali kepada jalan yang lurus, juga dari pengetahuan hasil membaca.
Pertanyaannya, mengapa kita -sebagai anggota keluarga- tidak mengkulinakan membaca di keluarga? Inilah simpulan sederhana dari penulis.
Pertama, sibuk. Sibuk yang penulis maksud bukan sekadar sibuk dalam arti banyak pekerjaan sebagaimana yang dimaksud dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sehingga tidak ada waktu belajar.
Lebih dari itu, sibuk di sini karena fokus aktifitas kita tercurah untuk mendelengi gadget.
Alhasil, di mana pun dan kapan pun, gadget menjadi teman setia yang dibawa. Jika sudah begini, maka waktu dalam sehari semalam akan habis.
Oleh karena, digunakan untuk scroll atas-bawah aneka informasi yang ditampilkan dan membikin kepo si empu gadget.
Belum lagi, ini momentum pas menjelang pemilu 2024.
Upaya dukung-mendukung menjadi cuitan menarik hingga ribuan komentar, terprodukai antara satu dengan yang lain saling bersautan. Bila sudah begini, belajar dalam hal ini membaca akan lewat, loss, dan bablas tidak dilakukan di lingkungan keluarga.
Kedua, tidak ada idola. Idola yang penulis maksud adalah sosok pujaan anggota keluarga yang konsisten melakukan aktivitas membaca. Coba kita bayangkan bila bapak, ibu kemudian saudara di rumah tidak terlihat menjadi uswah membaca.
Tentu, kita juga akan ikut-ikutan untuk tidak membaca. Itu karena, di keluarga tidak ada idola terdekat untuk dijadikan uswah perihal belajar.
Sebaliknya coba kita bayangkan, seandainya bapak, ibu, lalu sudara kita setiap hari rutin belajar -entah pagi, malam, siang- tentu kita sebagai bagian dari keluarga akan termotivasi ikut melaksanakannya.
Ini artinya, keluarga yang menampakkan aktivitas belajar secara nyata kepada anggota keluarganya, akan memantik terwujudnya profil pembelajar yang konsisten dari ruang terdekat.
Ketiga, persepsi salah. Yang penulis maksud dengan persepsi salah di sini, belajar hanya “layak” terlaksana di sekolah-kampus. Itulah yang kemudian menjadikan mengapa belajar di keluarga agak sulit tercipta.
Itu karena, masih ada persepsi bila ruang belajar tempatnya di sekolah-kampus. Padahal belum tentu semangat belajar -dalam hal ini membaca- terwujud nyata di sekolah-kampus.
Bila sudah begini, lingkungan keluarga “seakan-akan” bukan menjadi bagian terpenting aktivitas belajar. Apalagi bila sudah ada pengumuman libur, tentu di keluarga jaminan belajar akan nihil dilakukan. Penyebabnya, karena “libur sekolah” jadi alasan primer libur pula aktifitas belajar di keluarga.
Sekali lagi, di sinilah peran penting keluarga agar berusaha menghadirkan iklim belajar kapan pun dan mana pun. Sehingga tidak terkesan oleh anak, bila belajar hanya “layak” dilakukan saat masuk sekolah.
Kala libur, maka belajar nihil untuk dilakukan.
Sehubungan dengan tugas serta tanggung jawab, Prof. Dr. Ahmad Tafsir (2015:240) mengimbau akan lebih baik bila orang tua mengetahui banyak hal mengenai apa dan bagaimana pendidikan dalam lingkungan keluarga.
Dalam pandangan beliau, hasil pengetahuan -dari membaca- akan menjadi penuntun, serta rambu-rambu dalam menjalankan tugasnya sebagai orang tua.
Apalagi, pelaksanaan pendidikan di keluarga bertujuan untuk mengembangkan anak secara maksimal diberbagai aspek, mulai dari jasmani, akal, dan ruhani.
Tujuan praktis lainnya, adalah dalam rangka membantu sekolah-kampus dalam mengembangkan pribadi anaknya.
Guna mencapai tujuan tersebut, di sinilah peran penting orang tua menjadi pendidik di lingkungan keluarga.
Agar profil sebagai pendidik tersebut terwujud, sekali lagi, belajar mau tidak mau perlu dilakukan oleh orang tua.
Bisa dengan membeli buku-buku parenting, mengikuti majelis taklim yang fokus mengkaji cara mendidik anak, serta mencari literatur hasil penelitian mendidik anak kekinian dalam perpektif agama Islam dari gadget. Secuil gagasan ini semoga bermanfaat.
Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah UNUGIRI, Pengurus PAC ISNU Balen, dan Alumnus Attanwir Talun.