Potensi alam Bojonegoro memang spesial. Bahkan, orang luar pun memandang Bojonegoro sebagai wilayah amat potensial. Dalam satu kesempatan, Thilma Komaling, Ketua Global Women in Management sempat menyatakan Bojonegoro memiliki tiga potensi khas yang tidak dimiliki oleh wilayah manapun.
Thilma menggambarkan potensi tersebut dengan wilayah earth, wind, and fire. Earth dicirikan dari kerajinan gerabah dari tanah lempung, wind dicirikan dengan salah satu ikon wisatanya, negeri atas angin, serta fire yaitu Kayangan Api, serta potensi minyak dan gas alam yang melegenda.
Dalam tiga gambaran tersebut, Nabsky, dapat dilihat bahwa terdapat interaksi antara kultur dan kreativitas manusianya dalam mengelola alam. Obral-obrol nih, Nabs, saat ini memang trend kemajuan tidak jauh dari bahasan kreativitas, kultur, dan pengembangan potensi.
Kreativitas, bisa dipahami sebagai fitur penting dari pembangunan kota, sekaligus jadi cara mengatasi arus modernitas, perubahan teknologi, dan persaingan kota-kota di muka bumi. Mengingat, arus modernitas kadang tidak sesuai dengan identitas dan nilai lokalitas.
Padahal, budaya dan lokalitas bahkan telah disahkan UNESCO menjadi salah satu cetak biru pembangunan kota-kota di dunia. Hal ini juga mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 11, bahwa pembangunan kota-kota yang berkelanjutan harus menempatkan budaya pada peran yang penting melalui upaya perlindungan warisan budaya dan alam dunia.
Sebagai solusinya, semakin banyak kota yang berinvestasi dalam infrastruktur budaya dan mempromosikan industri kreatif. Kreativitas dapat menjadi cara untuk mengatasi hilangnya identitas budaya lokal dalam arus pembagunan modern. Inilah momentum saat kultur menjadi penting, ketika kita tidak boleh mengabaikan modernitas, namun dituntut untuk mempertahankan lokalitas.
Pada tulisan ini nih, Nabs, yuk mari kita bedah kreativitas, kultur, dan potensi itu dalam ruang telisik bernama Bojonegoro.
Menurut budayawan kesohor Djaduk Ferianto, hutan menjadi salah satu akar kultur sekaligus potensi Bojonegoro. Hal ini juga sesuai dengan publikasi Dinas Perhutanan Provinsi Jawa Timur, bahwa hutan jati merupakan hutan tertua dan terbaik pengelolaannya di Indonesia. Hutan Jati di Indonesia sendiri telah dikelola dengan baik sejak jaman Belanda, tepatnya pada abad ke-16, di wilayah Bojonegoro, Jawa Timur.
“Hutan bisa menjadi potensi yang bagus bagi Bojonegoro. Bojonegoro masih punya cita rasa lokal. Itu bisa dilihat dari banyaknya pohon-pohon yang masih asri dan rindang. Tak banyak daerah yang seperti itu,” ujar Djaduk Ferianto.
Bisa dikatakan bahwa hutan menjadi sejarah yang telah melekat, dan terus mengiringi Bojonegoro dari era kolonialisme, pergantian orde, hingga ketika revolusi industri satu, dua, tiga, dan empat digaungkan.
Ada tiga hal yang dapat dilakukan wong Jonegoro untuk turut serta dalam mengkreasikan kultur dan potensi ini demi mengembangkan kota yang berkelanjutan.
Pertama, biarkan pemuda berinteraksi secara langsung dengan budaya dan segala potensi yang telah ada. Pemuda saat ini sedang menciptakan tradisi baru, identitas, sejarah, dan budaya barunya sendiri.
Sejatinya, manusia dan waktu selalu dinamis, saling mempengaruhi satu sama lain, dan saling menempa satu sama lain. Oleh karena itu, diperlukan ruang bagi pemuda untuk berinteraksi dengan lokalitas, dan membangun interpretasinya sendiri.
Interpretasi dalam hal ini bisa menjadi tidak terarah apabila tidak ada acuan. Oleh karena itu, penting bagi pemuda untuk memperluas referensi, bagaimana kota-kota di dunia berkembang mengikuti arus modernitas tanpa mencerabut akar kulturnya.
Seperti dipublikasikan website Culture Trip, yang mendaftar lima belas kota di dunia dengan kultur terbaik. Hal yang perlu dipelajari adalah ciri khas yang ditonjolkan dari lima belas kota tersebut. Dapat diringkas bahwa kota dengan kultur terbaik dapat dilihat dari arsitektur, galeri seni dan museum, sastra yang berkembang, sejarah yang kaya, fasilitas untuk seni pertunjukan dan kreativitas musik.
Dari ciri-ciri tersebut, potensi dapat dimaksimalkan oleh generasi muda adalah dengan membuat ruang-ruang kretivitas. Bisa dari festival seni khas Bojonegoro yang dikemas dengan konsep modern. Siapa tahu pemuda Bojonegoro dapat mencipta musik rap hip-hop dengan bahasa Jonegoroan dan mengangkat nilai-nilai budaya Samin.
Atau, acara kemah alam dan budaya, yang bisa mendekatkan pemuda dengan hutan yang telah menjadi salah satu akar kulturnya, sekaligus meningkatkan kesadaran pemuda terhadap potensi alam.
Kedua, menciptakan ruang komunikasi yang produktif antara generasi muda dan generasi tua. Dalam hal ini, dibutuhkan ruang dan waktu bagi kedua generasi untuk bertukar ide. Sebagai kelanjutannya, dibutuhkan pula dialog antara pemerintah dan masyarakat lokal yang dapat menghasilkan pendekatan kreatif, yang bahkan mungkin lebih strategis daripada pendekatan top-down. Sesekali dibutuhkan ide orisinal yang lebih dekat, yang menghasilkan solusi sederhana namun tepat sasaran.
Ketiga, wong Jonegoro harus percaya bahwa modalitas, yaitu apa yang dimilikinya saat ini tidak kalah dengan milik wilayah lain, kemudian memperkenalkannya ke panggung yang lebih luas. Menurut Djaduk, banyak pemuda daerah yang memaksakan diri untuk mengikuti gaya dan tren kota-kota metropolitan untuk menjadi dikenal.
Padahal, menjadi dikenal adalah sebuah proses panjang yang harus dilalui oleh setiap budaya. Ada proses penggalian jati diri, branding, dan memperkenalkan keluar. Bojonegoro sendiri secara perlahan telah mengikuti tren modern, tapi tidak neko-neko, artinya masih menyimpan energi dan rasa lokal.
Hal yang perlu dikuatkan adalah rasa percaya diri. Ojok isin dengan identitas dan lokalitas. Bangunlah kepercayaan diri, karena magnet dunia tidak hanya di barat, Indonesia tidak hanya mengacu pada Jakarta dan kota metropolitan yang lainnya.
Djaduk menggambarkan bahwa Bojonegoro adalah wilayah dengan potensi lokal yang kuat, namun belum dapat jatah arisan. Arisan di sini bermakna bahwa Bojonegoro belum dapat jatah spotlight atau sorotan dari luar.
Meskipun begitu, Nabsky, kita dan kota tidak boleh terjebak dengan menjadikan promosi industri budaya dan kreatif sebagai solusi akhir. Promosi kota budaya maupun kota kreatif adalah sebuah proses, bukan tujuan akhir.