Dari utri, saya belajar bagaimana impresi kita sebagai mahluk sosial. Jika utri tidak mampu berdiri sendiri untuk mewujudkan jati dirinya, tidak beda jauh dengan manusia.
Akhir-akhir ini rupanya esensi blangkemen mendayu-dayu di bibir manis saya. Blangkemen, Nabs. Alias pingin mimil atau ngemil makanan. Tapi nggak ada yang bisa dimakan. Sebab darurat stok bahan makanan.
Usut punya usut, tempat-tempat umum bolehlah dibatasi pengunjungnya. sekolah, kantor, instansi pemerintahan bolehlah diliburkan dan dikosongkan. Tapi pliss, Nabs. Jangan sampai kosongkan perut kamu, apalagi hatimu. Parah sekali dong.
Kebetulan saya sangat lekat dengan jajanan tradisional atau olahan tradisional. Banyak sekali kalau kita berbicara tentang dunia perkulineran. Berbagai macam rasa, bentuk, dan kreativitas ada di dalamnya. Berpadu jadi satu.
Tidak kalah menarik olahan yang satu ini, Nabs. Sebut saja Utri. Memang sejak kecil itulah nama yang dikenalkan oleh Mbok’e (begitu saya manggil nenek) kepada saya.
Utri adalah nama populer di lingkungan tempat saya tinggal, beberapa masyarakat sekitar menyebutnya lemet. Olahan ini sangat merakyat sekali. Bahannya pun ada di sekitar kita, jika kita menanamnya tapi. Hehe.
Bahan utama olahan ini adalah singkong. Berangkat dari memilih singkong ini, ternyata tidak sembarangan.
Terbukti, tidak semua singkong berujung pada rasa yang enak. Jika salah memilih pun rasanya bakalan sepo —- terlihat bagus tapi rasanya tidak layak dikonsumsi.
Memilih singkong juga perlu kejelian. Jadi, tidak hanya memilih cowok saja yang butuh kejelian. Kan banyak cowok kelihatan keren tapi dalemnya sepo. Hal itu untuk meminimalisir tingkat kegagalan dalam proses pengolahan singkong.
Selesai memilih singkong dan mengupasnya, biasanya dihaluskan dengan parut yang manual alias parut kayu atau seng. Bukan parut mesin. Agar rasanya lebih afdal.
Saya memang lebih menyukai apapun yang dimasak dengan manual. Meski ribet dan agak lama. Tapi percayalah, proses ini jauh lebih sederhana untuk sekedar dijadikan uji coba.
Yang namanya jajanan tradisional tentu akan lebih absah bila pengolahannya berbasis tradisional. Meski tak jarang cara-cara modern dan instan sudah merajalela sekali.
Tapi hal itu tidak akan menggoyahkan iman keluarga saya untuk mengolah masakan ini dengan teknik jadul di tengah-tengah era industri 4.0 ini.
Saya selalu ingin mengulik bagaimana agar hasil olahan ini bisa tahan lama. Terutama olahan tradisional yang, memang aduh duh… udah mana bikinnya lama, ngebentuknya kecil-kecil, ngebungkus satu-satu lagi.
It’s a very super long and hectic ways to make this beautiful and dead-licius. Beda sekali kalau kita membuat olahan modern, semua bahan masuk mixer, cetak pakai loyang, baked. Done.
Itulah kagumnya saya pada mbah saya, olahan utri ini diselesaikan dengan penuh ketekunanya. Tanpa melihat eksperimen mbah dan ikut nimbrung, mungkin saya tidak mampu bercerita.
Positifnya jadi bocah kecil yang clandakan itu mengasikkan sekali. Apa yang kita lakukan di usia belia masih berbekas. Wkwk
Jika saya mengamati olahan utri ini, dari bungkusnya saja sangat sederhana sekali. Daun pisang menjadi daya dukung pembentukan utri.
Tanpa daun pisang, utri sia-sia, tidak terbentuk dan akan terkapar. Berkat daun pisang inilah, utri mampu mengoyangkan lidah banyak orang.
Bayangkan saja, utri yang dibalut dengan daun pisang ini, dicampuri dengan gula jawa, gula pasir bisa juga ditambahkan dengan parutan kelapa. Betapa enaknya utri.
Rasanya yang kenyil-kenyil, manis, lembut, membikin orang-orang ketagihan. Apalagi yang masak adalah kaum-kaum millenial, tentu makin komplit manisnya.
Dari utri, saya belajar bagaimana impresi kita sebagai mahluk sosial. Jika utri tidak mampu berdiri sendiri untuk mewujudkan jati dirinya, tidak beda jauh dengan manusia.
Daya dukung manusia lain sangat besar bagi berjalannya proses kehidupan ini.
Utri, diolah dengan sederhana, dibungkus dengan daun singkong satu persatu, dikukus di atas pawon berkayu bakar. Dioles-oles minyak pada bungkusnya agar tidak terlihat lengket.
Sama dengan manusia, sebelum bergerak ada tata tertib kehidupan, lebih tepatnya norma yang harus dijalani agar kita tidak bebal (lengket) di kemudian hari.
Begitu sederhana. Dengan kesederhanan itu, utri mampu membolak-balikan lidah para konglomerat.
Meski terkesan jadul, baheula, tapi dihadapan manusia setingkat bangsawan, penjabat, profesor, seniman, hingga petani, utri sangat merakyat.
Orang-orang boleh berkampanye menghidupkan literasi, tapi jangan lupa isi dulu perutmu dengan makanan bergizi, semacam utri. Hahaa.