Kiai penulis yang memiliki visi besar di bidang literasi dan dunia pendidikan, melalui konsep vernakularisasi berupa Al Lughoh Al Jawiyyah Al Merikiyyah (penggunaan Bahasa Jawa Setempat).
Syekh Sholeh Darat al Samarani Al Jawi atau KH Sholeh Darat Semarang (1820- 1903), merupakan ulama besar sekaligus kiai penulis yang tak hanya kharismatik, tapi juga memiliki visi di bidang literasi dan dunia pendidikan. Warisannya abadi sebagai kristal ilmu pengetahuan bagi para penuntut ilmu.
Namanya populer di tanah Haramain sebagai satu diantara tokoh intelektual nusantara bernisbat Al Jawi, selain Syekh Nawawi Al Bantani dan Syekh Mahfudz at Tarmazi.
Selain melahirkan ulama besar yang kelak menjadi muasis NU dan pendiri Muhammadiyah, satu kiprah besar Mbah Yai Sholeh Darat adalah produktivitas beliau dalam menulis kitab. Tak hanya produktif, tapi memiliki visi yang sangat mengagumkan.
Mbah Sholeh Darat tak hanya menulis kitab. Tapi, di setiap kitab yang beliau tulis, memiliki maksud khusus. Yakni, memudahkan orang awam tapi mempersulit penjajah untuk memahaminya. Inilah salah satu karomah khusus yang dimiliki Mbah Sholeh Darat.
Mbah Sholeh Darat amat produktif menulis kitab berbahasa Pegon Jawa. Bahkan KH Aziz Masyhuri sampai mengatakan, setelah wafatnya Kiai Rifa’i Kalisalak (1786-1875), Mbah Sholeh Darat adalah satu-satunya Kiai yang sangat produktif menulis dalam bahasa Arab Jawa Pegon pada abad ke-19.
Tentu itu bukan tanpa alasan. Karya Mbah Sholeh Darat yang terdokumentasi sampai saat ini ada 14 kitab babon yang membahas bermacam bidang keilmuan. Dan hampir semua karya beliau, menggunakan bahasa Jawa berhuruf Arab Pegon.
Penggunaan huruf Pegon yang di dunia intelektual dikenal sebagai Al Lughoh Al Jawiyyah Al Merikiyyah (penggunaan Bahasa Jawa Setempat) yang dipakai Mbah Sholeh Darat, ternyata memiliki visi yang teramat khusus.
Dalam salah satu kitab beliau berjudul Majmu’at as-Syari’at al-Kafiyat li al-‘Awam, Mbah Sholeh menuliskan sebuah kalimat yang berbunyi: “Kerono arah supoyo pahamo wong-wong Islam ingsun awam kang ora ngerti boso Arab muga-muga dadi manfaat bisa ngelakoni kabeh kang sinebut ing njeroni iki tarjamah”.
Kurang lebih jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: “agar supaya orang-orang awam yang tidak bisa bahasa Arab itu paham, semoga ini bermanfaat sehingga bisa menjalankan semua yang ada dalam terjemahan ini.”
Keterangan yang ditulis Mbah Sholeh tersebut, sangat menunjukan perhatian yang sangat luar biasa pada orang-orang awam. Sebuah manifesto yang memiliki visi literasi jangka menengah hingga panjang.
Selain agar orang awam memahami Al Qur’an dan bermacam kitab-kitab keilmuan, di saat sama, Mbah Sholeh Darat juga membuat penjajah kebingungan membaca dan memahami arah perjuangan beliau.
Fernando Ba’ez dalam Penghancuran Buku dari Masa ke Masa menjelaskan jika tiap penjajah memiliki kultur penghancuran buku dan kitab. Terutama yang berurusan dengan pemikiran tokoh setempat. Dan itu terjadi jauh sebelum abad ke-19.
Kita semua tahu jika penjajah banyak membaca arah juang kaum yang dijajah, melalui karya tokoh-tokohnya. Dengan menulis bahasa Jawa menggunakan Arab Pegon, tentu membuat para penjajah itu bingung menerjemahkan.
Hadiah untuk RA Kartini
Suatu ketika RA Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak kala itu. Di tempat yang sama, Mbah Sholeh Darat menggelar pengajian bagi warga keraton. Di depan para pegawai bupati, Mbah Darat membahas tafsir surat Al Fatihah.
RA Kartini yang tak sengaja mendengar tafsir itu, bergetar dan langsung menangis. Bagi RA Kartini, tafsir Mbah Sholeh sangat memudahkannya memahami bahasa langit secara mudah. Sebab, menggunakan bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari. Sejak saat itu, RA Kartini menjadikan Mbah Sholeh Darat sebagai gurunya.
Mbah Sholeh Darat lalu menghadiahi RA Kartini sebuah kitab tafsir Al Qur’an yang beliau beri judul Faidh Al Rahman. Meski, tafsir itu belum selesai dan baru sampai pada juz 6 (surat An-Nisa). Kitab ini terbukti memudahkan orang-orang Jawa dalam memahami bahasa Al Qur’an yang cukup sulit kala itu.
Konsep Vernakularisasi
Mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra mengistilahkan konsep yang dipakai Mbah Sholeh Darat adalah Vernakularisasi. Yakni, pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia.
Islam bisa tertanam dan bahkan menjadi budaya yang mendarah daging di Indonesia, menurut Azyumardi Azra barokah adanya konsep tersebut. Sebab, proses itu selalu diikuti pribumisasi (indigenisasi). Sehingga Islam tak lagi jadi sesuatu yang asing.
KH Sholeh Darat tak hanya ulama besar waliyyun minauliyaillah, tapi juga sosok dengan visi literasi yang sangat mengagumkan. Terutama konsep Vernakularisasi berupa Al Lughoh Al Jawiyyah Al Merikiyyah (penggunaan Bahasa Jawa Setempat) melalui karya-karya kitab beliau.