Minggu lalu, saya mewawancarai penulis produktif Yuzita Fitriani. Tapi anehnya, ada sosok ganjil yang tiba-tiba masuk dalam naskah wawancara. Entah itu alien, entah diri saya sendiri.
Sinar matahari begitu terik ketika sampai di kedai kopi di Jalan Basuki Rahmat Bojonegoro minggu lalu. Beruntung, kerapkali ada angin masuk melalui sesela jendela kayu sebagai penyejuk tubuh, kala menanti kedatangan sosok yang ditunggu-tunggu.
Kesejukan tiba-tiba terasa, ketika senyum mekar Yuzita Fitriani datang menghampiri. Perempuan akrab disapa Zita itu memakai jilbab warna ungu. Dia datang dengan langkah mantap, tapi agak malu-malu.
Kami duduk di kursi yang dipisah meja kayu bulat, tepat di bawah rindang pohon mangga yang saat itu tak sedang berbuah. “Kamu mau pesan apa?”, tanya saya dalam hati. Tentu dia tak menjawab. Lha wong tak mendengar.
Kepada saya, Zita langsung bercerita banyak tentang pengalamannya menulis novel. Hingga kegiatannya sebagai pemimpin di organisasi Intrakampus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Stikes Icsada Bojonegoro.
Zita memang sosok yang amat sibuk dengan berbagai kegiatan. Namun, di dalam padatnya kegiatan, ia masih tetap istiqamah untuk menulis. Tak seperti saya. Yang tidak sibuk, tapi juga masih malas menulis. Hmmm ~
Zita telah menulis 38 judul fiksi atau cerita karangan. Semua fiksinya itu diterbitkan dalam tiga buku. Di antaranya; Mustahilkah Mimpi-Mimpiku, Diagnosis Rindu dan Debu, dan Sudut Cinta Si Gadis Kampus Ungu.
Bahkan, ketiga buku itu sudah jadi koleksi perpustakaan kampusnya. Tak hanya itu, Zita juga punya satu buku antologi berjudul Kembalinya Para Pahlawan. Kebetulan, meski latar belakang kampusnya kesehatan, tiap mahasiswa diwajibkan menulis.
Tak seperti saya. Sejauh ini, saya telah menulis 40 puisi yang saya tulis selama 40 hari 40 malam, yang semuanya bertema kesedihan dan patah hati. Dan puisi-puisi itu, sialnya, saya bakar begitu saja. Toh buat apa mengoleksi kesedihan berlama-lama?
Kepada saya, Zita bercerita tentang proses kreatif dan motivasi dia menulis. Menurutnya, di kampus tempat dia belajar, tiap minggu dua kali, pasti ada resensi atau bedah buku. Bukan hanya buku tentang kesehatan saja. Namun, ada pula novel.
“Saya sendiri, pernah empat kali menjadi pemantik bedah buku,” kata dara berusia 20 tahun itu sambil tersenyum.
Zita terlihat tawadhuk saat menunjukan buku hasil karyannya. Ya, Zita tak pernah membaca bukunnya sendiri. Zita bahkan tak pernah mempunyai bukunnya sendiri. Bahkan, buku yang dibawanya itu minjam perpustakaan kampus. Alasanya, dia malu ketika membaca karyanya.
Zita mengatakan, ketika masih SD, dia pernah kepikiran jadi penulis. Tetapi, Zita sempat putus asa karena proses menerbitkan buku itu sangat sulit. Seperti di kota-kota besar, meski naskah tulisan sudah selesai. Belum tentu nanti akan diterima.
Kebanyakan mengalami penolakan. Nah, ketika tahu itu, ia merasa pesimis untuk melangkah maju. Terkadang juga bingung, bagaimana cara ngirim ke penerbit buku, kata mahasiswi fakultas keperawatan itu.
Tak hanya Zita. Penolakan, betapapun, amat familiar dengan diri saya. Tak perlu menunggu naskah jadi. Penolakan bahkan sudah hadir ketika saya baru niat menulis. Penolakan sudah hadir ketika saya baru niat membaca. Penolakan sudah hadir bahkan ketika saya baru niat mencin… Ah sudahlah.
Untungnya, kata Zita, ketika masuk perkuliahan, Zita merasa sangat bersyukur karena dalam kampusnya, ada kegiatan bernama Sekolah Menulis Icsada (Semic). Dan semua mahasiswa diwajibkan mengikuti kegiatannya. Terutama mahasiswa baru.
Dara asal Desa Menyuyur, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban itu mengaku pernah mengalami kesulitan ketika menulis. Dia tidak bisa menulis dalam keadaan ramai. Karena itu, Zita suka menulis ketika malam hari atau suasana sepi. Menurutnya, itu bisa lebih fokus dan menambah konsentrasi saat mengutarakan kata-kata.
“Apalagi saat tugas menumpuk. Pasti, tidak akan ada gagasan atau ide yang muncul dalam pikiran.” kata dara pernah menjabat ketua umum LPM Kampus Ungu tersebut.
Namun, sampai saat ini dia tetap menulis. Menurutnya, menulis adalah menuangkan isi dan pikiran dan perasaan. Serta, memilih untuk menuangkannya ke dalam bentuk fiksi atau non-fiksi. Itu lebih baik daripada rasan-rasan.
Zita terinspirasi penulis dan tokoh populis macam Fiersa Besari, Indra Sugiarti, dan Najwa Shihab. Semua buku mereka, konon sudah ia baca. Meski pun belum sampai tamat, cukup memberi banyak tambahan diksi. Dia juga mengatakan, kedepan akan menerbitkan buku tentang kesehatan.