Satu perkara yang kerap luput dari tiap cerita inspiratif yang kita dengar. Sebab konon keberadaannya mengurangi kadar “heroik” sebuah cerita.
Menginjak masa dewasa, satu pengetahuan yang begitu mencengangkan akal pikiran saya adalah privilise. Kosakata itu mencerminkan sesuatu yang telah lama luput dan dilenyapkan. Dan kehadirannya seperti ditutupi dalam sebuah cerita, demi menunjukan sebuah kisah bermakna dan istimewa.
Kamus besar bahasa Indonesia mengartikannya sebagai hak istimewa. Setelah berulang kali terlibat diskusi dan interaksi dengan beberapa orang, saya cukup terkejut setelah mengetahui kekuatan dahsyat di balik kata itu. Sebab pengaruhnya begitu besar bagi kehidupan.
**
Sejak kecil, salah seorang teman saya, sebut saja A, telah memperoleh banyak medali. Pencapaian itu diraihnya setelah berulang kali mengikuti perlombaan. Ia menjadi juara, dan untuk itu lingkungan sekitar menyebutnya sebagai “seseorang yang berprestasi”.
Di balik sematan itu, ia memang sosok yang rajin. Menurut cerita, sehabis menunaikan salat Subuh, satu kegiatan yang pertama kali dilakukan A adalah belajar dan membaca buku. Maka, mungkin perkataan orang mengenai kiprahnya sebagai “figur inspiratif” dapat dimaklumi. Dan itu wajar belaka.
Namun yang menjadikannya tampak tidak sejajar, pendapat itu tidak dilengkapi dengan fakta yang penting: A adalah anak seorang dosen di sebuah universitas, dan keluarganya tidak memiliki hambatan mendasar dalam hidup. Ia tetap bisa memilih menu favorit untuk makan esok hari, dan tidur di rumah yang nyaman.
Dan satu hal lagi, sejak kecil A memang didorong orangtuanya untuk belajar. Sebab, latar belakang akademisi yang tersemat di keluarga membuat A mau tak mau lebih banyak bersentuhan dengan buku ketimbang berurusan dengan kubangan lumpur di sawah.
Itu adalah sebuah kenyataan yang tak pernah tampak. Dengan privilese (hak istimewa) yang dimiliki keluarga, A bisa mengakses kompetisi perlombaan dengan mudah. Dan ia juga memeroleh waktu serta bekal yang cukup untuk mengikutinya.
Lain halnya dengan teman saya yang lain, sebut saja B. Ia terbilang figur yang seperti pada umumnya. Nilai akademisnya tidak terlalu mencolok, hidupnya seperti lazimnya orang-orang, dan ia tak pernah terlihat memiliki medali dan piala.
Orang-orang kita barangkali akan menganggapnya biasa. Karena ukuran yang dipandang “berprestasi” adalah piala yang berjejer atau medali yang menggantung.
Namun jangan salah. Setiap kali B bangun pagi, hal pertama yang ia lakukan adalah mengurusi sang nenek yang terbaring di tempat tidur. Ia hanya tinggal berdua, sehingga aktivitas di rumah cenderung lebih banyak dilakukan B.
Kenyataan itu membuat B tidak memiliki kesempatan belajar dan membaca buku sebanyak A. Untuk itu, dengan pencapaian demikian, yang terutama tak terbaca dalam kacamata orang banyak, sangat maklum jika kiprah B dianggap biasa saja dibanding A. Sebab B tidak memiliki medali sebanyak A.
**
Jika boleh mendudukkan diri pada posisi adil, privilise berpengaruh begitu besar. Dampaknya tak bisa diremehkan, tapi jarang terekspos. Orang-orang kita barangkali terlalu malas untuk mencantumkannya. Sebab, tentu ia bisa mengurangi kadar “heroik” sebuah cerita.
Padahal mengakui sebuah privilise membantu mata kita lebih adil dalam memandang. Ia juga berperan mendudukkan manusia pada titik yang sesuai. Paling tidak, dengan menunjukan keistimewaan yang dimiliki, toh, bukankah juga membantu orang-orang menghindari halusinasi sebuah narasi tentang prestasi?
Kita, tentu saja, bebas mengakomodir setiap privilise menjadi sebuah jalan menuju keberhasilan. Hanya, jika boleh mengutip kata Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Pulau Buru-nya, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”
Lantas, dengan akses pengetahuan yang telah diperoleh, di manakah posisi kita dalam memandang privilise? Mari merenunginya pelan-pelan. (*)