Saking banyaknya larangan, saat ini pelarangan seperti tak bermakna larangan. Ia sejenis lelucon tentang insecuritas. Atau acara di tengah sepinya agenda.
Belakangan ini jagat maya ramai membahas kata ‘anjay’. Kata tersebut bahkan sempat beberapa hari menjadi trending twitter nasional. Di instagram, beberapa akun literasi turut menyentil sikap Komnas PA yang telah melarang penggunaan kata ‘anjay’. Apakah betul?
Mengutip dari beberapa sumber tulisan di media online, Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, menulis keterangannya kepada wartawan (29/8):
“Ini adalah salah satu bentuk kekerasan atau bullying yang dapat dipidana, baik digunakan dengan cara dan bentuk candaan. Namun jika unsur dan definisi kekerasan terpenuhi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, tindakan itu adalah kekerasan verbal. Lebih baik jangan menggunakan kata ‘anjay’. Ayo kita hentikan sekarang juga.”
Saya tak paham mengapa masyarakat kita gemar sekali melakukan pelarangan. Menurut saya pribadi, pelarangan adalah upaya terakhir dalam penertiban sosial, dan sekaligus paling tak efektif.
Pelarangan, sejak awal selalu lekat dengan represi, upaya-upaya untuk menekan yang tak bisa dikendalikan, dan punya potensi ‘pergesekan’ yang amat besar. Ambillah contoh upaya pelarangan buku-buku ‘kiri’ dan ‘resist’ dari masa ke masa. Apa kebijakan tersebut menjadi efektif? Tidak.
Orang diam-diam akan membacanya, dan bahkan bersikap melawan. Justru setelahnya, buku-buku kiri menjadi populer di kalangan remaja. Tokoh-tokohnya jadi semacam nabi bagi ‘mahasiswa’ baru.
Sudah hukumnya. Saya kira akan sama hasilnya ketika Komnas PA melarang penggunaan kata ‘anjay’. Beruntung pendapat itu keluar dari Komnas PA dan bukannya KPAI.
Jika saja pendapat itu keluar dari KPAI, maka statement tersebut berpotensi menjadi statement yang mewakili pendangan pemerintah selaku institusi pemegang kontrol tertinggi.
Beralih dari kebijakan yang tak efektif tersebut, mari bahas ‘anjay’ sebagai kata dalam bahasa. Bahasa sendiri tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Karenanya ketika manusia mengalami perkembangan, yang tak bisa dinafikan adalah bahasa juga mengalami perubahan.
Dan dalam perubahan tersebut, beberapa kata mengalami pergeseran makna, bahkan perubahan yang signifikan. Untuk itu kemudian kita belajar bahasa Indonesia dan mengenal istilah peyorasi.
Demikian dengan Anjai. Anjai barangkali pun lahir dari ‘anjing’ yang kemudian diplesetkan menjadi ‘anjai’. Mungkin saja dahulu ‘anjai’ digunakan untuk memaki, atau mengatai seseorang. Tapi dalam perkembangan jaman, kata ‘anjai’ memiliki makna yang berbeda.
Kata tersebut bisa digunakan sebagai pujian, sebagai ekspresi kekaguman, dan lain sebagainya. Sehingga tidak hanya mewakili kekerasan verbal. “Anjai, nilaimu tinggi juga, bro.” Apakah kalimat tersebut ungkapan kekesalan? Kemarahan? Tidak.
Bahkan ketika ‘anjay’ diartikan sebagai bahasa yang kasar, atau dalam sebutan jawa timur dikenal dengan ‘pisuhan’, bagi saya itu bagian dari perkembangan bahasa yang tak dapat dielak.
Disadari atau tidak, pisuhan itu mewadahi, salah satunya, kemarahan. Orang tidak harus memukul kalau marah. Dia bisa hanya misuh-misuh saja. Meski tidak menjamin bahwa dengan misuh saja, seluruh kemarahannya terwadahi.
Tapi setidaknya menyediakan wadah alternatif emosi dengan mengekspresikannya dalam bentuk berbeda. Untuk itu, mengapa Komnas PA harus menyangkutkan ‘anjai’ dengan tindakan pidana?
Saya paham bahwa ini hanya cara tafsir yang berbeda, tapi melekatkan ‘anjai’ dengan tindak pidana tak akan memberi efek ketertiban apapun dan justru berpotensi mempersempit definisi dari tindak kekerasan verbal. Pelarangan di jaman sekarang menjadi semacam lelucon soal insecuritas yang dimiliki oknum tersebut.