Dalam seporsi hidangan, ada hati Manchester Merah yang hangat dan bersiap menyambut dengan suka cita. Welcome to Manchester, Ronaldo. Yang merah tentu saja.
Jika sebelumnya, saya sempat berbrasangka buruk pada kepindahan Ronaldo ke Tetangga Berisick. Kini, kenyataan membuat dia kembali ke rumah yang selalu menunggunya dengan hangat.
“Mungkin, bagi Ronaldo, rumah bukan sekadar bangunan tempat manusia berteduh dan berlindung dari terpaan cuaca ganas. Rumah adalah “mereka”, tentang narasi manusia yang hidup di dalamnya. Sekumpulan manusia yang akan menerimamu apa adanya, tanpa perlu berpikir, karena hanya penerimaan yang membuat rumah menjadi hangat.”
Paragraf di atas saya kutip utuh dari tulisan Yamadipati Seno di Mojok.co. Tulisan yang menampilkan sisi humanis dari sepakbola. Bahwa di luar gelimang uang, trofi, dan profesionalitas, sepakbola adalah tentang manusia-manusia yang berjibaku di dalamnya. Dan, Ronaldo, yang sering disejajarkan seperti layaknya “robot”, salah satu dari manusia tersebut.
Setelah enam tahun yang indah dengan dukungan, penerimaan, serta gemilang prestasi, Ronaldo memutuskan untuk mewujudkan impian masa kecilnya: Bermain dengan seragam Real Madrid. Fergie, sosok pelatih sekaligus ayah bagi Ronaldo, meski berat, memuluskan langkah sang anak untuk mengejar mimpinya.
Dua belas tahun mengembara ke Spanyol dan Italia bersama Real Madrid dan Juventus, Ronaldo kembali ke rumah yang telah membesarkannya: Manchester United. Proses kepindahan, teoatnya kepulangan, dengan drama yang menghebohkan, barangkali hanya bisa dijelaskan dengan satu bahasa: Cinta dan penerimaan.
Cinta Sang Ayah yang telah pensiun, mantan rekan-rekan semasa di Manchester United, serta tentu saja, cinta dari segenap pendukung klub. Ada satu hal yang wajib dinantikan untuk menilai keagungan wujud cinta tersebut: Ronaldo mencetak gol di Theater of Dreams lantas melakukan selebrasi berlari ke arah penonton yang berjubel di Stretford End. Barangkali hanya ada satu reaksi: Tribun meluap-luap dengan jutaan emosi kegembiraan.
Layaknya seorang anak yang kembali ke kampung halaman saat menjelang tua yang tersisa hanyalah sisa-sisa tenaga. Yang terbayang adalah menikmati hidup sembari melepas satu-persatu deru-pacu dunia. Bukan prestasi dan capaian-capaian profesional yang didamba, melainkan penerimaan, cinta, kasih sayang, dan membagikan ceritera sukses yang telah diraih kepada anak-anak muda.
Histeria dan romantisme kepulangan Ronaldo ke MU, bagiku, adalah kabar menggemberikan. Namun, tentu jangan terlalu melambungkan ekspektasi. Ronaldo yang kembali di tahun 2021 telah berumur 36 tahun. Tentu berbeda saat Ronaldo datang ke MU saat usia 18 tahun. Ronaldo saat itu dikenal publik dengan lari kencang sambil menggocek dan teknik tap-over untuk melewati lawan.
Umur yang mendekati ujung bagi pesepakbola profesional. Meski bagi sebagian pihak, dengan level kebugaran dan disiplin Ronaldo menjaga fisiknya, berharap raihan gol dan prestasi dari Ronaldo adalah hal yang wajar. Setidaknya, profesionalitas dan mentalitas juara penting untuk disuntikkan ke skuat MU yang sedang tahap membangun ulang.
Barangkali, saat ini Ronaldo sedang bersantai di rumahnya di Portugal sambil menikmati salad buah dan sayur, air mineral dan bersiap-siap menghadapi tantangan berikutnya di Old Trafford.
Dalam seporsi hidangan, ada hati Manchester Merah yang hangat dan bersiap menyambut dengan suka cita. Welcome to Manchester, Ronaldo. Yang merah tentu saja.