Percaya apa pun yang akan terjadi nanti, kau tetap yang ter-muach di hati.
Kamus bahasa Indonesia mengartikan anomali sebagai “tidak seperti yang pernah ada” juga “penyimpangan dari yang sudah ada”. Berharap pada anomali berarti menginginkan sesuatu yang berbeda dari kejadian-kejadian yang pernah mengada sebelumnya.
Kata ini semoga benar-benar menjadi kenyataan. Menjadi mantra ampuh membimbing menuju akhir kemenangan yang gemuruh. Final keenam sepanjang keikutsertaan dalam ajang Piala AFF (Piala Tiger) dengan catatan lima kali gagal juara di final-final sebelumnya.
Berharap anomali berarti berharap Indonesia menjadi juara Piala AFF untuk kali pertama. Anomali demikian yang diharapkan seluruh fans dan rakyat Indonesia.
Catatan Nick Horney dalam bukunya berjudul Fever Pitch penting untuk dijadikan pengingat: Jatuh hati dan cinta seorang fans dengan sepak bola di era modern layaknya seorang laki-laki jatuh hati pada seorang perempuan. Tanpa memedulikan kemungkinan patah hati di ujung perjalanan.
Sepak bola bagi ratusan juta rakyat Indonesia terlanjur menjadi olahraga rakyat. Bagaimana pun kondisi dan capaiannya, sepak bola memiliki sihir magis untuk membius jutaan mata rakyat Indonesia.
Dari semula tak memiliki harapan, kemudian berani berharap, lalu sedih karena gagal juara sudah bukan hal baru. Tidak kapok-kapok, kali ini pun, rakyat Indonesia berani membumbungkan harapan. Juara. Sepak bola diharapkan menjadi joy of the people.
Memiliki harapan semakna dengan bersiap patah hati. Pada titik inilah repotnya. Meninggikan harapan berarti pula meninggikan kemungkinan jatuh dari tempat yang tinggi lalu patah hati.
Sayangnya memusnahkan harapan berarti mematikan esensi dan elan penting sebagai manusia. Berani berharap dan bereskpektasi, sejalan dengan keberanian untuk patah hati, jatuh sakit, dan mencoba bangkit kembali.
Bagiku pribadi, di laga final, aku menginginkan Indonesia lawan Thailand ketimbang melawan Vietnam. Vietnam memiliki gaya main yang mirip dengan Indonesia: Menekan agresif dan mengandalkan kecepatan. Thailand memiliki organisasi permainan dan efektivitas yang lebih baik dibanding Indonesia.
Indonesia boleh berharap akan keunggulan kecepatan dan agresivitas dalam bermain. Masalahnya adalah soal stamina.
Thailand dengan organisasi permainan rapi, akan bermain dengan sabar sambil menciptakan peluang dengan serangan mematikan dan menyakitkan. Dua tim yang berbeda ciri khas permainan dan layak menjadi tontonan di final.
Berharap pada anomali. Itu pilihanku. Berharap Indonesia juara dan memutus tren lima kali sebagai runner-up. Kalau nyatanya nanti Indonesia tetap menjadi runner-up yang keenam lali, lantas bagaimana?
Aku akan mengukuti wejangan Sheila on 7: “Percaya apa pun yang akan terjadi nanti, kau tetap yang termuach di hati.”
Gagal di final, sedih, gregetan, patah hati. Lalu lelah berharap, tiba-tiba berani berharap lagi. Lalu tiba-tiba semangat menyongsong juara. Begitu seterusnya, ramasalah. Aku ramasalah.