Tuhan mencipta masa depan melalui keraguan-keraguan. Saat merasakan fase ragu, sesungguhnya kita sedang melihat masa depan.
Dengan langkah pelan, Sudarmanto membuka gerbang hitam yang banyak tanaman liar di dekatnya itu, tegang penuh keraguan. Perasaannya deg-degan dengan sedikit debar asing yang menantang, layaknya sedang jatuh cinta.
Tapi, karena dia sadar sedang tidak jatuh cinta, dia pun memberanikan diri melanjutkan langkah menerobos kegelapan. Dia sempat mengira jika dia berjalan menuju rumah gaib yang bisa menghilang saat siang hari.
Entah apa yang merasuki Sudarmanto hingga dia nekat memasuki pintu gerbang tersebut, sambil meyakini bahwa terdapat cahaya di dalamnya.
Wajah Sudarmanto tampak lega ketika Mahfudin Akbar, Managing Editor sekaligus pentolan Jurnaba, menyambutnya di depan pintu, menyalaminya dan mempersilakan dia masuk ke dalam ruang tamu.
Sesaat kemudian, Sudarmanto keluar ruangan, lalu mengajak kawan-kawan lainnya untuk memasuki rumah. Tentu mereka semua sedikit lega. Rumah yang terasnya serupa wahana rumah hantu di WBL tersebut, ternyata hangat dan bercahaya di bagian dalamnya.
Ya, malam ini, Sudarmanto dkk berkunjung ke Runaba — Rumah Jurnaba — untuk main dan bersilaturahim. Selain itu, mereka juga belajar lebih dekat tentang bagaimana Jurnaba berkarya.
Sudarmanto berkunjung bersama puluhan kawan lain seperti Intan Setyani, Ira Aristiasari, M. Teguh, Arikun, Zain Cholisatul, Julia Dwi, Khoiri Ma’ruf, Ach. Syaifudin, Lailatul Farikhah, Hinggil Ainun, Abdul Wahhab, dan M. Manshur.
Nabs, mereka semua adalah mahasiswa Institut Agama Islam Sunan Giri Bojonegoro yang kebetulan punya hobi menulis dan tergabung dalam wadah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Spektrum.
Kedatangan mereka, disambut hangat Mahfudin Akbar, Radinal Ramadhana dan saya sendiri. Selain belajar mengabadikan kisah melalui beragam jenis platform dan tulisan, kami juga berdiskusi tentang banyak hal.
Lebih tepatnya berdiskusi, bercerita dan memperbincangkan banyak hal. Mulai dari teknik menggali ide, mengembangkan potensi lokal, hingga mengemas sedih menjadi kebahagiaan.
Satu per satu, para mahasiswa itu memperkenalkan diri dan bertanya. Sekaligus bercerita tentang pengalaman-pengalaman menyenangkan sekaligus menyulitkan saat menghadapi momen menulis.
“Bagaimana ya cara membedakan kalimat langsung dan tidak langsung?” Tanya Intan Setyani.
Tentu itu pertanyaan sulit. Sebab kita tahu, kalimat tidak langsung biasanya berwujud kode. Dan karena kami — Anin, Dinal dan saya — seorang lelaki yang tak terlalu pandai membaca kode, tentu tak terlalu lihai memberikan penjelasan kepada Intan.
Jika Intan bertanya tentang kalimat tidak langsung berbasis kekodean, Farikha justru lebih fokus membahas potensi lokal. Bagaimana cara memaksimalkan dan menggarap potensi lokal.
“Bagaimana sih cara menggarap potensi lokal agar ia tidak sia-sia?” Tanya perempuan dengan nama lengkap yang amat panjang dan sulit diucapkan itu.
Tentu saja. Itu juga pertanyaan yang tidak mudah. Bahkan cenderung debat-able dan eyel-able dan sekaligus bantah-able. Sebab, jangankan sebuah desa, setiap insan bernyawa punya potensi lokal yang berbeda-beda.
Potensi yang jelas-jelas dimiliki manusia adalah potensi khawatir, cemas dan sedih. Ketiga potensi tersebut, kian terasa maksimal ketika sedang jatuh cinta.
Saat seseorang sedang jatuh cinta, mereka cenderung mudah khawatir terhadap orang yang dicintai. Mudah cemas terhadap orang yang dicintai. Dan mudah sedih saat pesan WA cuma meninggalkan centang biru belaka.
Tapi, Jurnaba percaya bahwa kekhawatiran, kecemasan, kesedihan tidak akan pernah sia-sia. Sebab, ia tetap mengandung unsur bahagia, asal mampu mendekonstruksi kondisi sekaligus menemukan letaknya.
Meski sialnya, menemukan bahagia di tengah kekhawatiran, kecemasan dan kesedihan serupa mencari pasangan di tengah masa moratorium jodoh dengan batas waktu yang tak ditentukan: butuh kesabaran.
Karena itu, skill mengemas sedih menjadi bahagia menjadi amat penting untuk dimiliki. Ia dibutuhkan untuk menghadapi dunia industri nyata yang kian lama kian membikin putus asa.
Intan dan Farikha dan semua teman-teman yang malam tadi ikut berkumpul untuk berdiskusi, harus tahu bahwa kesedihan sangat mudah dirasakan, sebab ia mudah timbul dari bermacam sebab. Begitupun kebahagiaan: Ia selalu ada, tapi harus ditemukan.
** **
Sudarmanto mulai memahami bahwa segala yang di awal tampak gelap dan penuh keraguan, selalu menyimpan cahaya dan kelegaan, asal dihadapi dan dipelajari dengan penuh sabar dan ketelatenan. Seperti gerbang hitam dingin yang banyak tanaman liar di dekatnya itu, ternyata hangat dan bercahaya, saat dia masuki dengan penuh keyakinan.
Sudarmanto, Intan, Farikha dan teman-temannya juga tahu bahwa Tuhan mencipta masa depan melalui keraguan-keraguan. Saat merasakan fase ragu, sesungguhnya kita sedang melihat masa depan.