Waktu saya pengen ganti hape baru, kawan saya, dengan penuh semangat menyarankan merek Xiaomi untuk dibeli. Katanya, selain bagus dan apik, kelebihan utama Xiaomi dibanding merek lain adalah harga yang terbilang murah.
Xiaomi selalu identik dengan karakter harga yang murah meriah. Sehingga digandrungi masyarakat Indonesia yang memang cinta murah tapi anti murahan.
Beda halnya dengan merek hape lain. iPhone, misalnya, justru dikenal sebagai produk hape sultan dengan harga yang bisa membuat pembelinya harus menjual idealisme dan ginjal dan apa saja yang bisa dijual, demi membelinya.
Yang sempat dipertanyakan orang-orang awam, kenapa harga iPhone lebih mahal dari Xiaomi, padahal logikanya mereka sama-sama smartphone. Apakah karena gara gara ada lambang apel yang digigit separuh?
jika iya, siapa yang menggigit, kok bisa sampek mahal? atau karena Xiaomi made in China, yang menurut kebanyakan orang, terkenal sebagai produk KW-2, makanya murah.
Setelah bertapa selama hampir dua hari dan karena itu saya nggak nulis, akhirnya saya punya jawaban. Kenapa iPhone mahal dan Xiaomi murah, karena itu bagian dari teknik pemasaran sekaligus ceruk pasar yang dipilih. Klise banget ya, jawabannya?
Xiaomi memang hape para pekerja keras dan anti manja-manja club. Berkali-kali kebanting tetap kuat. Dipakai kerja dan lupa di-charge pun tetap sehat. Dan Xiaomi, tampaknya tak terlalu mengambil banyak untung dari inovasi yang dibikin.
Dikutip dari laman South China Morning Post, sejak awal berdiri, pihak Xiaomi membikin inovasi, mendalami kualitas, memperkuat desain, sekaligus memicu pengalaman baik serta kepuasan para pengguna, tapi tetap dengan harga terjangkau.
“Peningkatan efisiensi tanpa henti, untuk menyediakan produk dan layanan teknologi terbaik dengan harga terjangkau,” kata Lei Jun, CEO Xiaomi.
Sedang produk iPhone, punya identitas dan prinsip mengedepankan kualitas kuadrat, maksudnya lebih dari kualitas smartphone biasa. Dengan ceruk pasar para konglomerat dan mereka yang punya duit lebih. Karena itu, harganya pun mahal.
Dari dua identitas itu, kita bisa menaruh diri. Di mana posisi kita sebagai konsumen. Kalau uang pas-pasan dan kebutuhan akan fitur ponsel bisa ditanggung Xiaomi, kenapa mesti membeli iPhone yang notabene belinya pun harus ngutang?
Sebagai pengguna smartphone yang paketan saja masih ditanggung warung ber-WiFi, kita mesti tahu beda antara gaya hidup yang menghidupi dan gaya hidup yang mematikan. Tanpa itu, kita bisa mati bahkan dalam keadaan sedang bergaya.