BMKG sejak awal tahun memperingatkan bahwa volume curah hujan rendah terjadi saat musim kemarau tahun ini. Tidak hanya itu, fenomena El Niño yang terjadi tahun ini menarik perhatian serius dari parapihak dan instansi yang berwenang.
Pasalnya, fenomena ini akan menghadirkan kondisi kering dengan intensitas lebih (severe dryness) di banyak wilayah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya tanpa kejadian el Niño.
Di Indonesia, kejadian kekeringan ekstrem selalu berjalan beriringan dengan kejadian el Niño (Boer and Subbiah, 2005).
Ancaman kekeringan patut diwaspadai, karena kekeringan sering dianggap sebagai bencana yang memiliki daya rusak senyap (giant killer). Kejadian kekeringan sulit diprediksi, sangat dinamis secara spasial dan temporal, mengancam siklus hidrologi, serta tentu saja merugikan manusia dan lingkungan secara keseluruhan.
Kekeringan membawa ancaman yang bersifat irreversible (tidak dapat diperbaiki), seperti debit sungai berkurang, kebakaran hutan dan lahan yang memperburuk kualitas udara, penipisan lapisan tanah, serta rusaknya habitat kehidupan.
Ancaman kekeringan akan makin besar saat berpadu dengan kerentanan sosial dan ekonomi masyarakat yang bergantung dari sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2014 menyatakan bahwa sektor pertanian paling rentan menghadapi kekeringan yang diperburuk oleh perubahan iklim.
Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa kekeringan yang dibarengi El Niño menjadi sebab menurunnya produksi padi di Indonesia, tidak terkecuali Jawa Timur (Rodysill, et.al., 2013).
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyoroti bahwa kekeringan muncul akibat kurangnya curah hujan yang berkepanjangan sehingga mengakibatkan kekurangan air (WMO, 2016). Kekeringan adalah kondisi defisit air dikarenakan volume curah hujan rendah.
Kondisi ini diprediksi menjadi lebih parah akibat dari pemanasan global. Kekeringan memicu penurunan suplai air sehingga ketersediaannya tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lainnya. Pada titik tertentu, kekeringan mengakibatkan kelangkaan sumber daya air (water scarcity), bahkan konflik sumber daya air (water conflict).
Berdasarkan data hujan, Provinsi Jawa Timur memiliki bulan basah yang pendek. Distribusi hujan bagian selatan dan utara Jawa Timur berbeda, dengan wilayah bagian utara memiliki risiko kekeringan lebih besar.
Provinsi Jawa Timur perlu lebih waspada terhadap ancaman kekeringan karena secara alamiah lebih kering dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa. Kondisi ini tentu menjadi alasan bahwa Provinsi Jawa Timur menjadi salah satu wilayah prioritas dalam penanganan bencana kekeringan.
Provinsi Jawa Timur mendapatkan musim kemarau paling awal, tetapi awal musim hujan terjadi paling akhir. Kewaspadaan perlu ditingkatkan terutama pada wilayah rawan kekeringan meteorologis menurut kategori Oldeman (1975), yaitu untuk bagian pesisir utara seperti Kabupaten Tuban, Lamongan, Gresik, Bojonegoro bagian utara, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo; serta Jawa Timur sebelah timur seperti Banyuwangi, Jember bagian selatan, Bondowoso, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Penulis adalah Dosen Lingkungan Universitas Bojonegoro (Unigoro)