“Ustadz,” tanya seorang Ustadz yang duduk di sebelah kanan saya, beberapa hari yang lalu, “apa putri-putri Ustadz juga piawai menulis?”
Menerima pertanyaan tak terduga demikian, saya sejenak kaget. Kemampuan menulis, dengan bahasa yang mudah dicerna, memang tidak dimiliki oleh setiap orang. Perlu bakat, latihan, dan pembiasaan lama.
Sejenak, benak saya pun “melayang-layang”: teringat dua putri saya. Saya dapat dikatakan tidak pernah menulis tentang mereka. Lo?
Ya, itu permintaan mereka berdua. Namun, kali ini, untuk menjawab pertanyaan dosen UIN Bandung itu, kali saya jawab, “Ya, mereka berdua juga piawai menulis.”
Mereka berdua, sejak kecil, “mewarisi” kebiasaan saya: kuat membaca. Ya, kuat membaca apa saja: komik, novel, cerita dll. Malah, karena mereka demikian mencandu membaca, saya sampai dilabrak istri, “Mbok mereka gak dibeliin komik!” Namun, tetap saja mereka tetap menggemari komik. Hingga kini.
Nah, karena mereka sejak terbiasa membaca, lama-lama mereka terbiasa menulis. Meski demikian, ketika mereka sedang mengambil program s-2, untuk meningkatkan kemampuan menulis yang telah mereka kuasai, mereka berdua kemudian mengikuti kursus menulis di Majalah Tempo hingga lulus. Sehingga, kini, mereka berdua juga memiliki kepiawaian menulis.
Ternyata, kemampuan menulis sangat bermanfaat bagi mereka di tempat kerja mereka masing-masing.
Putri sulung saya (maaf), kini menjadi executive director di Center for Innovation Policy and Governance. Nah, kemampuan menulis sangat penting baginya. Apalagi, ia tetap sebagai researcher di bidang kebijakan teknologi dan inovasi. Hal ini tidak jauh dari pendidikan yang ia lintasi: s-1 di Teknik Industri ITB dan s-2 di Teknik Perminyakan ITB.
Putri bungsu saya juga melintasi pendidikan s-1 di Teknik Informatika ITB. Sedangkan pendidikan s-2nya ia tempuh di bidang Telekomunikasi di UI. Sejak 2010, ia bekerja di Telkom.
“Ustadz Dr. H. Aang Ridhwan M.Ag., demikian jawaban saya. Apa pun bidang yang kita jalani, kemampuan menulis itu penting dan sangat bermanfaat.”