Banyak anak lebih takut kehilangan sinyal internet daripada takut tidak makan. Buktinya, saat main game sampai lupa makan. Bagaimana jika peran nasi diganti paketan data saja?
Hanya anak masa lalu yang tahu bahwa pelepah pisang ternyata bisa jadi pistol yang bisa dipakai bermain maling dan polisi-polisian. Maling dan polisi saling tembak dengan suara senapan dari mulut masing-masing.
Syahdan, beberapa pemuda seumuran 30-an tahun sedang bercanda di depan halaman. Mereka menghabiskan waktu dengan bercerita tentang: siapapun yang pernah mengalaminya akan saling tertawa apabila mengingat masa lalu.
Mereka merasa bahwa tubuhnya sedikit kebal dan lebih tahan banting daripada anak masa kini. Air mentah dari sumur, air keruh sungai yang konon isinya bermacam-macam itu, pernah ditemuinya saat mandi dan mencari ikan.
Salah satu dari mereka bercerita, bahwa bermain pasar-pasaran. Belajar peran jual beli, jadi pedagang dan pembeli (simulasi ekonomi, masa kini, red.) tanpa perlu membeli Purwa rupa khas produk jadi dari pabrik.
Mereka memperdagangkan daun-daunan pekarangan, pelepah pisang, dan bijian. Mereka improvisasi khayalan di benaknya seolah teronggok daging, padahal pelepah pisang. Ada tahu, padahal itu pecahan genteng, ada nasi padahal itu pasir dan lain sebagainya.
Semua sepakat bahwa dulu, apabila kegiatan yang telah mereka lakukan terdokumentasikan dengan baik, yakinlah, pasti jika ditayangkan akan membuat sedih dan tertawa bersama.
Kita tidak merekam masa lalu, hanya bahasan kenangan yang hanya bisa diceritakan. Kita masih menyesal bahwa permainan cepat punah dan masing-masing sesekali menyesal adanya HP dan era digital. Padahal, permainan itu melatih otot, imajinasi dan bersosial. Kita merasakan keringat dan bergerak.
Kita juga belajar mengorganisir permainan dengan teman sebaya, dan kita membuat beberapa kode mainan yang disepakati bersama.
Sandal hanya kita pakai saat magrib hendak mengaji di musholla dan anak sekarang, setiap pagi sepanjang hari memakai sandal. Dan melepasnya saat menjelang tidur kan. Dan kita merasakan telapak kaki kita tambah halus namun cepat sakit saat tersentuh kerikil kecil.
Belum lagi adanya nasi berkat, sudah sesuatu banget dengan telur godok dan urap di sampingnya. Membuat kita berlomba berebut. Namun, saat kini banyak nasi berkat, berkuranglah kesengitan kompetensi perebutan mencari lauk telur.
Mungkin karena populasi ayam yang bertambah banyak dan makan bukan lagi sesuatu istimewa. Atau nasi berkat diganti paket data saja, toh kita masih rela berebut itu.
Banyak anak lebih takut kehilangan sinyal internet daripada takut tidak makan. Buktinya, saat main game sampai lupa makan. Bagaimana jika peran nasi diganti paketan data saja?
Jadi kalau bancaan atau tahlilan atau arisan, sesuatu yang berhubungan dengan nasi diganti paketan data. Mungkin itu lebih pas dan lebih kontekstual terhadap zaman.