Di tahun 2022 bukan tentang siapa yang akan menjadi tuan rumah piala dunia dan menyabet gelar juara. Melainkan capaian yang lebih tinggi yaitu mengenali diri lebih dalam lagi.
Mendung bergelantungan di atas atap warung kopi. Ada suasana baru dan ragu. Baru, karena secara tekstual sudah tahun baru. Dan ragu, apakah bisa membuat tulisan ihwal dua hal tersebut untuk sema’an di Maktabah.
Bismillah. Menghela napas panjang, kemudian saya hembuskan. Membuka tutup cangkir kopi, sembari menyaksikan penjual mengaduk kopi yang berbunyi, “klutik, klutik, klutik”.
Baru beberapa menit kemudian, penjual kopi mengantarkan pesanan. Banyak tafsir dari kegiatan mengaduk kopi hingga mengantarkan ke pelanggan.
Saya menangkap, terkandung fenonema kebaruan dan keraguan di dalamnya. Baru, karena baru beberapa menit yang lalu penjual meracik kopi kemudian mengantarkan ke pelanggan. Terkandung keraguan juga, apakah kopinya enak (sesuai dengan selera), atau bahkan penjual kopi itu yang harus menikmati kopi racikan tangannya sendiri, dengan cara pelanggan menyemburkan cairan kopi ke muka penjual karena kopinya kurang enak. Bak mode mbah dukun gitulah, Nabs.
“Dengan segelas kopi lalu pembeli menyembur, burrrrr”. Terlepas dari fenomena yang terkandung ‘baru’ dan ‘ragu’ di atas, ada sebuah nikmat yang tak terkira. Btw, sudahkah Anda bersyukur hari ini?
Bersyukurlah, karena masih bisa menikmati beberapa cangkir kopi di warung-warung yang tersebar di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi.
Apabila Anda bisa menikmati beberapa cangkir kopi atau bahkan secangkir kopi saja di warung pinggir jalan. Amboi, nuansa kopi di Kuala Lumpur, tak ada bandingannya. Ngopi di New York, Leiden, Kairo, dan Amsterdam, tak seindah dengan apa yang ada dalam angan.
Karena ada baru dan ragu. Baru, karena nuansa baru. Dan harus adaptasi. Biasanya, terkandung ewuh pakewuh di dalamnya.
Ragu, karena masih ada uang gak untuk bayar? Atau ragu ketika bagimana caranya ngopi, karena ada unsur baru.
Misalnya, sering ngopi dengan hanya membuka tutup cangkir, kemudian menuangkan ke lepek. Ladalah, ingin merasakan kebaruan, dengan memesan vietnam drip. Waduh..waduh, vietnam drip iku bekakas opo to Ri…., Ri….?
Sebelum mengetahui wujudnya, pasti ragu menyelimuti. Karena ada kebaruan ihwal istilah vietnam drip , juga terkandung keraguan tentang bagaimana cara menikmati kopi vietnam drip?
Itulah gambaran tentang baru dan ragu yang ada di kepala saya sekarang. Ada kisah lain lagi ihwal baru dan ragu yang tertangkap panca indera di awal tahun 2022. Tentang Bung Hatta, Bung kecil aka Sidi ‘Sjahrir’, Bung Cip (Ciptomangunkusumo), Des Alwi, dan Iwa Koesoemasoemantri. Dalam teater dari Indonesia Kaya yang bertajuk “Mereka yang Menunggu di Banda Naira”.
***********
Hatta dan Syahrir, tiba di sebuah pulau yang elok. Hatta dengan koper yang berisi buku-buku, dan Sidi (panggilan sayang kekasih Sjahrir dari Belanda). Disambut oleh anak kecil yang energik ‘Des Alwi’.
Mereka dalam pengasingan. Mereka menerima suasana plus nuansa yang baru. Dan terkandung raut wajah ragu pada Hatta dan Sjahrir. Kemudian mereka meminta Des Alwi untuk mengantarkan ke rumah Bung Iwa.
Hatta, kemana-mana bawa buku. Dan Sjahrir, dalam kegalauan menunggu surat dari kekasihnya di Negeri Ratu Wilhelmina. Mereka duduk santai di rumah Bung Iwa.
Disaat Bung Iwa menyiapkan hidangan. Sutan Sjahrir melangkahkan kaki ke sudut kediaman Bung Iwa. Sjahrir memegang mushaf Al-Qur’an. Dan bertanya kepada Bung Hatta ihwal ke-marxis-an Bung Iwa. Tentu dengan nada santai, pengisi jeda ketika tidak ada obrolan yang serius di antara mereka.
Kemudian datang Bung Cip. Dengan pakaian ala Jawa, lengkap dengan blangkon, surjan, dan sarung batik. Bung Cip dan Des Alwi tiba di rumah Bung Iwa, menambah ramai suasana.
Suara azan menggema di Banda Naira. Bung Iwa, minta izin untuk salat terlebih dahulu. Keluar omongan dari Bung Cip, “Marxisme jalan terus, tapi ibadah makin taat, ahahaha”.
Menambah hangat suasana rumah Bung Iwa. Bung Hatta dan Sjahrir, diasingkan di Banda Naira, kurang lebih 6 tahun. Tentu ada konflik juga diantara mereka.
Bagaimana Bung Hatta dan Sjahrir menyikapi perbedaan? Dan bagaimana kisah cinta Sidi? Apakah Sidi menerima surat dari kekasihnya? Bagaimana indikator kebarat-baratan yang digambarkan oleh Bung Hatta dan Sjahrir? Pernahkah Anda menemui orang ngelindur dengan bahasa Belanda?
Sila, kawan-kawan bisa melihat sendiri penampilan ciamik founding parents Indonesia yang diperankan oleh aktor papan atas tanah air dalam akun YouTube Indonesia Kaya.
**************************
Itulah, kawan. Cecurhatan sederhana ihwal ke-baru-an dan ke-ragu-an. Di saban kebaruan, terkandung keraguan di dalamnya. Kehidupan awal tahun, apabila dibuka bil blangsak, tidak masalah kawan. Apabila kawan-kawan tidak terlalu memasalahkan ke-mblangsak-an tersebut.
Namun, tidak ada salahnya, untuk mengubah ke-blangsak-an dalam ketaraturan hidup dalam rangka mengenal diri lebih dalam dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih dan Penyayang.
Dan apabila mengawali awal tahun dengan capaian yang menurut Anda, ora kaprah tur ora umum. Awas, jangan tinggi hati, karena dalam lagu bertajuk Jangan Sombong karya Imam Besar The Panas Dalam, “Firaun yang kuasa kini dimana? Aduhai Nietzsche sudah mati, Lenon yang masyhur telah gugur, Lenin yang kokoh telah roboh”. Dan Nietzsche berkata, “Tuhan telah mati”. Sungguh, dengan santainya Tuhan membalas kalimat filsuf beken tersebut dengan bersabda, “Nietzsche telah mati”.
Warkop Giras Rajekwesi, 06 Januari 2022