Bukan hanya sekadar kisah tentang perempuan. Melainkan tentang bagaimana perempuan hidup dalam dunianya. Saban mata, terkandung kisah di dalamnya.
Desir angin pukul 03.00 pagi, dingin, bersuara tapi sepi. Jari telunjuk tangan kanan Roni menyentuh hidung Helen.
Setelah makan sepiring pecel dan dua buah perkedel, mereka kini duduk di sebuah bangku taman kota. Di depan mereka gedung pemerintahan berdiri angkuh dan tinggi seperti orang Eropa.
Sedang di barat taman kota, masjid Akbar berdiri sedikit menunduk.
“Bulan hampir sempurna bundarnya.” Ucap Helen setelah tangannya memindahkan jari Roni, sedikit menggenggamnya, kemudian melepaskannya di atas paha.
Roni pun ikut memandang bulan, sedikit terhalang ranting-ranting pohon, tapi jelas bulan sebentar lagi sempurna bulatnya.
“Lalu untuk apa kamu mengajakku kemari?” Tanya Roni.
“Tidak untuk apa-apa, hehe.”
Belum juga Roni membalasnya Helen meneruskan pembicaraannya. “Aku suntuk saja, setelah membantu temanku tadi menyelesaikan masalah dengan pacarnya. Mestinya bukan urusanku. Tapi aku tadi hanya menemaninya, dia sendiri yang tahu solusinya.”
Roni hendak bertanya tentang permasalahan yang membuat teman Helen itu bertengkar. Namun, ia segera mengingat bahwa itu bukan urusannya. Tapi Helen segera melanjutkan ceritanya.
“Temanku tadi ngekost, padahal rumahnya dekat dari kostnya, mungkin tidak ada setengah jam bila diukur dengan waktu, atau mungkin 10 km bila diukur dengan jarak. Pacarnya sering datang ke kostnya. Kadang di sana ada aku. Setelah pacarnya datang aku segera pamit dan pergi ke kostku sendiri. Kemudian aku tidak ingin tahu apa yang terjadi pada mereka. Tapi Ketua RT kapan hari ke kost mereka dan mendapat aduan dari beberapa tetangga bahwa kost itu meresahkan.”
Di sebuah gang daerah Ledok Wetan, sebuah kost berdiri, seperti rumah biasa tetapi di dalamnya tersekat banyak kamar, kamar mandi di dalam.
Kost bagi Roni adalah sebuah kebebasan. Mungkin suatu saat ia akan hidup di kost, kamar mandi di dalam atau di luar tak masalah. Setiap malam ia bebas merokok, meneguk alkohol, atau mungkin temannya dari Tuban membawakan sebotol Tuak, Legen yang sengaja dikedaluarsakan.
Ia juga bebas keluar masuk membawa seorang perempuan, perokok, yang ia suka. Tak tahu kapan, saat ini ia belum berani.
Ia hampir tak percaya Helen mengajaknya mampir ke kamar kostnya. Kamar itu kecil, tak tahu persis berapa ukurannya, kecil saja, cukup untuk diletakkan sebuah kasur lantai, rak plastik, dan pakaian yang digantung di dinding.
Mungkin sebuah lenguhan akan terdengar keras sampai di kamar sebelah. Tak perlu pelan-pelan melenguh, sebab lenguhan dari kamar sebelah tak sungkan keras-keras sampai ke kamar Helen.
Helen bilang pacarnya yang merekomendasikan kost ini. Milik temannya di UKM Mapala. Ia juga sering ke mari. Tentu Roni bertanya “ngapain?”. Tapi tak sampai hati ia benar-benar bertanya seperti itu, atau akan terbongkar keluguannya sendiri.
Di atas motor saat perjalanan pulang ia mengingat sempat tertidur di kamar Helen. Ia bangun ketika kamar itu makin terasa panas. Ia dapati Helen tidur di sampingnya, bercelana pendek dan kaus putih.
Tak tega ia hendak membangunkannya. Ia pun cuma bilang mau pulang dan menyentuh pipinya meskipun Helen tak menyahut dan gerak sedikitpun.
Roni sempat menyatakan cinta kepada Helen meski cuma lewat chat WhatsApp. Sayang, Helen tak menjawab apapun, cuma Helen selalu bisa diajak kemana pun, ngopi, menyaksikan pertunjukan teater atau mungkin ke sebuah sungai penuh bebatuan kecil.
Kini, untuk sebuah pekerjaan, Roni terdampar di sebuah kota, tinggal lah ia di sebuah kost kecil cuma tanpa perempuan. Hampir setiap hari ia hidup dengan bayang-bayang perempuan-perempuan yang pernah ia singgahi di kamar kostnya. Ia tetap tak berani meneguk alkohol, dan cuma rokok yang tidak bisa ditinggalkan.
Ketika aku bertemu dengan Roni di sebuah kedai kopi milik mantan TKI dari Jepang, ia menceritakan tentang semua perempuan yang pernah dia temui.
Sebelum aku pamit ia sempat berkata kepadaku: “ada banyak perempuan di dunia ini yang kita tidak boleh seenaknya menyakiti mereka.”
Sekilas aku tak begitu menghiraukan ucapannya. Ketika mobil yang kutumpangi melewati jalanan Pantura yang macet dan angin laut pelan-pelan masuk dari celah kaca mobil yang kubuka sedikit untuk merokok, aku memahaminya. Dari Juwana, Pati, aku berjalan ke timur.
Aku kemudian mengingat beberapa tahun yang lalu saat bertemu dengan seorang perempuan bergigi gingsul, lehernya bergaris-garis kuning bersih.
Aku berkenalan dengannya selesai ia pentas teater. Seorang kawan menarikku kemari menyaksikan pertunjukan teater yang aku sendiri tidak faham apa-apa tentang teater.
Aku bertukar nomor WhatsApp dengan perempuan itu, ia kuliah di Sidoarjo.
Sebuah kebetulan sekali, aku pernah mengunjungi Sidoarjo dan Tulangan. Aku mengingat pohon-pohon tebu dan senyum perempuan itu yang manis.
Dari situ obrolan kita setelahnya menjadi nyambung meski cuma lewat WhatsApp.
Aku tinggal di Sidoarjo, Mas. Kapan kamu ke Surabaya mampir saja kemari. Rumahku sebetulnya ada di Magetan, kota yang dingin. Kamu pernah ke sana, Mas? Oh ya, Tulangan, itu dekat dengan kampusku. Bolehlah kalau kamu mengunjungi saudaramu yang di Tulangan itu kamu hubungi aku. Aku jemput kamu nanti kita ngopi seperti maumu. Aku sih santai saja Mas. Nggak ada yang marah. Aku singel. Enak begini, Mas.
Perempuan itu bercerita banyak tentang hidupnya. Aku semakin tertarik padanya. Apalagi ia merokok, mild. Ya, boleh dikatakan seleraku dengan Roni memang agak sama.
Hari itu tiba. Sepulangku dari Malang, aku mampir ke Tulangan. Aku kirim pesan WhatsApp kepada perempuan itu. Kita janjian ngopi. Tapi ketika tinggal menghitung jam pertemuanku dengannya, aku membatalkannya. Aku segera meminta maaf kepadanya dan bilang bahwa aku harus buru-buru pulang karena sebuah urusan.
Dia tidak marah sama sekali. Kita tetap saling berkabar dengan baik meski tanpa sebuah pertemuan.
Dan semakin aku mengenalnya, ia setiap malam membawa anggur dan mild ke kamar kostnya.
Ia suka memasak. Dan beberapa bulan setelah itu ia memasukkan pacarnya ke dalam kamar kost. Ah, apa kabar ia saat ini? Aku tidak bisa menemukannya lagi bahkan di Medsos.
Tiba-tiba ponselku berbunyi ketika mobil yang kutumpangi betul-betul terjebak macet di Rembang. Telepon dari Roni, aku mengangkatnya. Ia bilang jam tanganku ketinggalan. Aku melihat pergelangan tanganku sebelah kiri dan benar hanya ada lingkaran putih bekas jam tangan, sekali aku melepasnya aku lupa memakainya kembali.
Kemudian aku meminta Roni untuk menyimpannya dan kapan hari ketika dia pulang, kita akan membuat janji kembali, bercerita tentang perempuan-perempuan yang kita temui.
Roni melarangku menutup telepon. Ada sebuah cerita yang ingin ia sambung. Aku pelankan suara musik dangdut di dalam mobil yang kutumpangi.
Helen sudah punya pacar lagi. Dia terlihat bahagia dengan pacar barunya. Kamu sudah pernah kuceritai perempuan panggilan yang pernah menjadi sahabatku di Juwana? Dia bernama Rahma.
Suatu malam ia mabuk dan aku mengantarkannya pulang ke kostnya dengan motor. Di tengah perjalanan, aku mengerem motor dengan rem depan dengan mendadak dan tubuh Rahma bagian depan membentur punggungku.
Dia marah dan bilang padaku,”kalau kamu pengen nanti aku pesankan temanku, Ron. Tapi jangan memintaku. Aku menganggapmu sebagai sahabatku.”
Tentu aku juga marah padanya. Aku katakan kepadanya: “apa kamu tidak melihat ada sebuah polisi tidur, makannya aku mengerem motorku.”
Setelah aku menjelaskannya Ia memahamiku. Setiap malam Rahma melayani laki-laki hidung belang, dan aku yang akan menjemputnya setelah ia selesai bekerja, ya bekerja.
Keluarganya di kampung membutuhkan kirimannya setiap bulan. Ketika ia mendapat uang setiap malam, ia akan membelikanku sebungkus rokok mild.
“Apa kamu masih berkabar dengannya?” Aku menanyai Roni.
“Aku tidak tahu di mana dia saat ini.” Ucap Roni. Dan pembicaraan lewat telepon belum juga selesai.
Kali ini Roni menceritakan seorang perempuan bernama Rani dari Surabaya yang mencari jejak keluarganya di sebuah kampung yang kebetulan kampung itu dekat dengan kampung Roni. Ia membantunya.
Malam itu pukul 20.00, Rani turun dari bus Bungurasih di terminal Rajekwinangun. Roni menjemputnya dengan motor matic Suzuki. Ia inapkan Rani ke sebuah kost di jalan Pemuda.
Setelah Rani bersiap-siap beristirahat, Roni pamit untuk pergi dan besok pagi ia akan mengantarkan Rani ke kampung itu.
Setelah menemukan keluarga Rani hubungan mereka semakin dekat.
Mereka hampir setiap hari bertukar kabar dan Roni kemudian tahu bahwa Rani telah memiliki seorang anak. Mereka hidup bersama, Roni sering ke Surabaya untuk mengunjungi Rani dan anak mereka.
“Gila… Kamu sudah punya anak?” Tanyaku terkejut.
“Iya…. Dia lucu sekali.” Ucap Roni.
“Siapa namanya?”
Kemudian Roni menjawab, anak itu bernama Anggi. Anggi adalah anak Rani dengan seorang laki-laki yang kini tidak diketahui keberadaannya.
Roni menganggapnya sebagai anaknya sendiri dan setiap beberapa Minggu sekali ia membelikannya susu.
Aku sedikit terkejut mendengar cerita yang terakhir ini. Dan Anggi, nama itu sama dengan nama pacar pertama Roni.