Bayt Al Hikmah atau Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), merupakan perpustakaan sekaligus lembaga riset pertama di dunia Islam. Ia jadi pilar Zaman Keemasan Islam.
Didirikan atas perintah Khalifah Harun Al Rasyid sekitar tahun 800 M. Namun lembaga ini menjadi berkembang pada masa pemerintahan Al Ma’mun, yang merupakan anak Harun Al Rasyid.
Al Ma’mun memindahkan ibu kota Abbasyiah dari Kufah ke Baghdad, sekaligus memindahkan ibu kota peradaban Islam dari Damaskus, Suriah, ke Baghdaad. Setelah jatuhnya Dinasti bani Umayah di Damaskus, praktis Abbasiyah menjadi satu-satunya pemerintahan Islam yang legitimate.
Pada waktu Al Ma’mum mendirikan Baghdad, ia “menumbali” tanah Baghdad menggunakan perpustakaan. Ia meletakkan perpustakaan Bayt Al Hikmah di kawasan inti kota Baghdad. Di Baghdad, Bayt Al Hikmah, menjadi etelase peradaban dunia Islam masa itu. Semua murid dan guru berdatangan ke kawasan ini untuk mengali ilmu ataupun belajar disini.

Di tempat ini, berbagai literatur dunia dari setiap zaman dikaji, diteliti, dan dikembangkan. Naskah-naskah dari berbagai tempat taklukan, ataupun negara sahabat dimasukkan ke dalam perpustakaan Baghdad dan dikaji di Bayt Al-Hikmah.
Di tempat inilah tersimpan kitab-kitab semua agama dan naskah-naskah ilmuan terdahulu, termasuk pemikir terkenal seperti Aristoteles. Berbagai aktifitas keilmuan terjadi disini, mulai dari penerjemahan karya-karya dari berbagai negara dan zaman yang berbeda, hingga penelitian, observasi dan inovasi.
Alasan utama berkembangnya kegiatan ini, tidak lain karena didukung oleh infrastruktur yang memadai, yaitu pabrik pembuatan kertas. Setelah pertempuran Talas yang terjadi pada tahun 751 M, dunia Islam mulai mengenal kertas. Di Baghdad sendiri, pabrik pembuatan kertas pertama kali dibangun atas dasar permintaan dari Bayt Al Hikmah. Tingginya kebutuhan sarana tulis menulis pada masa ini, menjadikan kertas sebagai kodefikasi kemajuan bangsa Arab.[4]
Secara geografis, posisi kota Baghdad memang sangat strategis. Ia tidak terletak di bagian timur maupun barat. Dan jaraknya tidak terlalu jauh dari jalur sutra yang merupakan urat nadi ekonomi dan komunikasi antara peradaban timur (China) dan barat (Romawi).
Baghdad menjadi kaya – salah satunya – disebabkan posisi geografisnya yang berada di dekat Jalur Sutra ini. Disamping berdagang, karavan-karavan yang melintasi wilayah ini membawa juga infomasi, nilai kebudayaan dan pengetahuan dari timur dan barat.
Dan yang tepenting, mereka – baik khalifah hingga masyarkat – memiliki pemikiran yang terbuka dan pelajar-pelajar yang haus akan ilmu. Maka jadilah Baghdad sebagai pusat peradaban dunia masa itu. Seorang ahli geografi dan sejarawan Arab abad ke-9, al-Y’qubi, menulis bahwa Baghdad “tidak ada padanannya di Bumi, baik di Timur atau di Barat” dan “tidak ada sarjana yang berpendidikan lebih baik daripada cendekiawan mereka”
Menariknya, semua kegiatan keilmuan ini didukung oleh Negara. Setiap ilmuwan yang datang dan mengkontribusikan ilmunya di sana, akan mendapat bayaran yang menarik. Konon, Negara akan membayar setiap buku yang diterbitkan ataupun diterjemahkan dengan emas seberat buku tersebut. Pada masa ini, ilmuan didudukkan pada posisi yang begitu mulia.
Mereka bekerja di kawasan elit kota, dan diberikan bayaran yang menarik. Bahkan semua ide, proposal penelitian dan pengembangan terhadap ilmu pengetahuan difasilitasi oleh Negara. Maka sangat wajar bila kemudian kota ini menjadi destinasi utama para ilmuan dunia. Hanya satu abad setelah dibangun Bayt Al Hikmah, Perpustakaan Baghdad sudah menjadi pusat koleksi literature paling lengkap dunia.
Salah satu terobosan paling besar dan berpengaruh yang dihasilkan oleh cendikiawan Bayt Al Hikmah, adalah Kitab al-Jabr wa’l-muqabla atau biasa disebut Aljabar (Al-Jabr) oleh al Khwarizmi pada abad ke 9 masehi. Di dunia barat, karya ini dikenal dengan ‘Book of Restoring and Balancing‘, buku ini dapat dianggap sebagai buku induk matematika dan algoritma hingga saat ini.
Tidak hanya di bidang matematika, Bayt Al Hikmah sudah menelurkan karya yang menjadi pondasi atau dasar matematika modern, astronomi, kimia, kedokteran dan sastra. Di tempat inilah lahir aljabar dan trigonometri tingkat lanjut, nama-nama bintang, campuran tincture dan teknik pengobatan, serta menemuan inti filsafat dan sastra.[8]
Pada awalnya, semua Khalifah Abbasiyah, mulai dari Harun Al Rasyid, Al-Ma’mun (833-842 M), al-Mu’tasim, hingga Al Watsiq (842-847M) sangat mendukung aktifitas keilmuan dan pengembangan di Bayt Al Hikmah. Pikiran yang terbuka, dan toleransi tinggi yang ditawarkan dinasti Abbasiyah awal telah membuka gerbang masa keemasan masyarakat muslim.