Kerajaan bukan tentang istana megah. Kerajaan adalah tentang peradaban. Seperti halnya Boti, sebuah kerajaan di tengah pegunungan alam. Tepatnya, 40 kilometer dari wilayah perkotaan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Masyarakat Boti hidup berdampingan dengan alam. Banyak anak-anak bermain di tanah lapang. Terdengar pekikan babi dari kandang di sekitar anak-anak itu. Orang-orang berlalu lalang keluar masuk hutan.
Ada yang berladang, berternak, menimba air dan Mencari kayu. Sebagian melakukan aktivitas di sekitar rumah. Misalnya para ibu dan perempuan.
Masyarakat Boti merupakan keturunan suku Atoni Metu, suku asli Pulau Timor. Boti memiliki jarak yang terbilang jauh dari modernitas. Masyarakat tersebut hidup dengan hukum yang sangat unik. Keunikan yang lebih cocok disebut kemegahan. Mengapa demikian? Karena manusia dipandang sebagai manusia.
Melansir video dokumenter Watchdoc (10/6/2018), seorang warga Boti bernama Pah Sai menceritakan kasus pencurian ternak. Kasus tersebut dialami sendiri oleh raja Boti.
Raja tersebut kehilangan sepasang ekor sapi. Lalu, dicarilah siapa pencuri sapi tersebut. Saat si pencuri ketahuan, peristiwa unik terjadi.
“Ini Bapa Raja punya sapi, orang ditangkap. Ada sapi jantan satu, betina satu. Jadi bapak sampai di situ bilang, ‘lebih baik dapat saja, ini tidak ada jadi yang mencuri’,” ungkap seorang petani dan peternak tersebut.
“Ini Bapak Raja menangkap orang yang mencuri sapinya. Sapi jantan satu, betina satu. Saat itu bapak bilang ‘lebih baik dia dapat saja (sapinya) sehingga dia tidak lagi mencuri’.”
Saat peristiwa unik tersebut, si pencuri tidak ditangkap dan dihukum oleh raja. Raja malah membiarkan saja. Bahkan, akan diberi bonus. Si pencuri akan diberi hewan ternak tambahan untuk dipelihara.
Raja membenarkan cerita tersebut. Masyarakat Boti dipimpin oleh seroang raja bernama Namah Benu. Dia melengkapi cerita tersebut dengan alasan mengapa dia biarkan pencuri tersebut. Sebenarnya tidak dibiarkan, tetapi dengan solusi yang sangat bijaksana.
“Kalau ada pencuri lalu kita hukum, nanti dia tetap menjadi pencuri. Setelah yang dicuri habis, dia akan mencuri lagi,” ucap Namah Benu dalam bahasa Indonesia.
Kebijaksanaan tersebut tidak berhenti dari perkara pencurian ternak. Namun, juga pada kasus yang lain. Malahan, tidak hanya diberi apa yang dicuri, tetapi diberikan bantuan yang sangat mendasar. Misalnya buah atau tanaman. Tidak hanya buah yang ditambah, malah diberikan tanaman untuk diurus.
“Kalau dia mencuri pisang atau ubi, kita akan tanamkan dia pohon pisang atau ubi itu. Kalau dia mencuri babi, 76 KK akan kasih babi masing-masing 1 ekor,” lanjut Namah Benu.
Menurutnya, itu merupakan solusi yang baik dan bijaksana. Efek jera bisa dimunculkan dengan hukuman tersebut. Pada akhirnya, rasa malu akan timbul jika orang melakukan hal yang tercela. Sesorang melakukan perbuatan tercela karena ada alasan. Misalnya dorongan ekonomi atau keadaan buruk yang mengawalinya.
Masyarakat Boti memiliki kepercayaan terhadap prinsip nilai dari para leluhur. Mereka percaya terhadap hukum alam yang bekerja dengan seimbang. Setiap perbuatan baik akan berakhir baik dan yang buruk akan berakhir buruk. Itu tidak berhenti pada perbuatan seseorang, melainkan berakibat pada keturunan.
“Kalau orang berbuat baik di masa hidupnya, setelah mati jiwanya akan menjaga anak cucunya tetap baik. Tapi jika berbuat jahat, jiwanya akan berpengaruh negatif kepada keluarga dan anak cucunya, sehingga kehidupan mereka menjadi susah,” kata Raja Boti, Namah Benu.
Prinsip nilai yang dipegang oleh masyarkat Boti terus dipertahankan. Meski kehidupan mereka jauh dari modernitas. Hal ini tentu harus dijadikan tauladan. Hukum dibuat untuk mengadili perbuatan jahat, bukan pelakunya. Tentu masyarakat Boti sangat memahaminya.
Kebijaksanaan raja Boti merepresentasikan sila kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Itulah contoh nyata memperlakukan manusia selayaknya manusia.
Keadilan harus ditegakkan tanpa mengesampingkan nilai kemanusiaan. Selain mendidik orang menjadi lebih baik, terdapat solusi baik bagi kehidupan mereka, dengan cara yang tak harus sama.