Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Belajar Toleransi dari Vatikan Kecil di Bojonegoro

Dicky Eko Prasetio by Dicky Eko Prasetio
December 12, 2020
in Cecurhatan, Headline
Belajar Toleransi dari Vatikan Kecil di Bojonegoro
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Potret toleransi masyarakat Desa Kolong, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro layak menjadi teladan kita bersama. Bahwa setiap perbedaan, harus disikapi dengan bahasa cinta.

Akhir-akhir ini geliat toleransi kita diuji oleh berbagai fenomena intoleran yang bahkan bersifat destruktif dan dehumanisasi. Mulai dari kasus pembunuhan guru di Prancis yang bernama Samuel Paty dengan tendensi penghinaan agama, pembantaian satu keluarga di Sigi, Sulawesi Tengah yang bermotifkan terorisme dan fanatisme agama.

Bahkan, ‘pemirsa’ Liga Champions Eropa juga disuguhkan fenomena ‘rasis’ saat PSG vs Istanbul Basaksehir, hingga pertandingan harus dihentikan.

Ketiga fenomena tersebut, sejatinya dapat terjadi karena dua sebab utama. Pertama, adanya rasa ‘superioritas’ antara agama/kelompok tertentu yang merasa lebih baik dari yang lain.
Kedua, sikap dan perilaku toleransi yang belum tertanam secara paripurna pada warga masyarakat.

Orientasi ‘superioritas’ dan kurangnya kesadaran bertoleransi membuat fenomena seperti yang terjadi di atas, berpotensi terjadi lagi ke depannya.

Padahal, semboyan Negara Indonesia berupa kalimat ‘Bhinneka Tungggal Ika’ sejatinya mengamanatkan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang ‘lumrah’ bagi pergaulan manusia.

Perbedaan harusnya disyukuri dan dijadikan sebagai sarana untuk saling mengenal, bukan saling menyakiti, apalagi merasa memiliki derajat yang lebih tinggi hingga ‘menghalalkan’ darah sesama saudara sendiri.

Oleh karena itu, menghayati makna toleransi menjadi urgen ketika fenomena intoleran terjadi di sekeliling kita, terutama belajar toleransi dari masyarakat Desa Kolong, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro melalui Gereja Santa Maria.

Vatikan Kecil di Bojonegoro

Gereja Stasi Santa Maria berada di Desa Kolong, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro. Gereja Stasi Santa Maria diprakarsai oleh FX Sukimin atau yang lebih dikenal dengan ‘Mbah Danun’ mulai mendirikan, mengajar agama, dan mendirikan sebuah kapel kecil di kampung halamannya yang diberi nama ‘Brono Kaswargaan’.

Pada tahun 1951 Paroki Santo Wilibrordus Cepu menetapkannya sebagai stasi, dan menugaskan Hartono sebagai katekis di sana.

Umat yang mengikuti pelajaran pada waktu itu belum begitu banyak, kira-kira hanya Sembilan orang yang pembinaannya diserahkan kepada Paroki Bojonegoro. Tugas katekisasi dilanjutkan oleh Suparno, FVAJ Senen, Tedjohono, Ai Putut Sunardjo, Ninik SP, Sujito, dan F. Sarman.

Perkembangan umat di Stasi Santa Maria Kolong mendapat perhatian dari Romo Ernesto, maka pada tahun 1987 di atas tanah pemberian Mbah Danun didirikan sebuah gereja baru dengan pelindung Santa Maria.

Di samping Gereja Stasi Santa Maria, tepatnya dalam jarak 70 meter berdirilah Masjid Al Ihsan, yang notabene menjadi tempat ibadah umat Islam Desa Kolong. Akan tetapi, hal tersebut tidak menimbulkan permusuhan dan perpecahan antar umat beragama di Desa Kolong, justru masyarakat yang beragama Islam dan beragama Katolik saling bahu-membahu untuk membantu sesama.

Sensitivitas SARA-pun sangat dijaga oleh masyarakat setempat dengan menghargai sesama. Tidak ada yang dilakukan oleh sesama warga masyarakat Desa Kolong terkait pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama yang berakibat penyimpangan, pengurangan, atau penghapusan pengakuan terkait hak asasi manusia.

Bahkan, di Gereja Stasi Santa Maria sering juga dilaksanakan pertunjukan alat musik gamelan yang pemain gamelan tersebut terkadang juga seorang muslim. Dalam hal inilah, masyarakat Kolong melihat agama sebagai ‘nilai’ untuk saling mengasihi sesama serta menempatkan budaya sebagai ‘alat komunikasi’ dalam mengharmonisasikan perbedaan di masyarakat.

Potret toleransi masyarakat Desa Kolong, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro dengan Gereja Stasi Santa Maria layak menjadi teladan kita bersama. Bahwa setiap perbedaan harus disikapi bahasa ‘cinta’, bukan bahasa ‘kekerasan’ apalagi bahasa yang ‘menghalalkan darah’ saudara kita.

Tags: BojonegoroToleransiVatikan

BERITA MENARIK LAINNYA

Writing Tresna Jalaran Seka Kulina
Cecurhatan

Writing Tresna Jalaran Seka Kulina

January 23, 2021
Egoisme Psikologis dan Kisah Abraham Lincoln
Headline

Egoisme Psikologis dan Kisah Abraham Lincoln

January 20, 2021
Problematika Petani di Era Pandemi
Cecurhatan

Problematika Petani di Era Pandemi

January 19, 2021

REKOMENDASI

Catatan Ekspedisi Banjir Bandang Bojonegoro

Catatan Ekspedisi Banjir Bandang Bojonegoro

January 24, 2021
Perempuan 23 Januari dan Ingatan yang Terus Menghantui 

Perempuan 23 Januari dan Ingatan yang Terus Menghantui 

January 23, 2021
Writing Tresna Jalaran Seka Kulina

Writing Tresna Jalaran Seka Kulina

January 23, 2021
Daftar Makhluk Tercepat di Dunia dan Apa Signifikansinya Buat Hidupmu

Daftar Makhluk Tercepat di Dunia dan Apa Signifikansinya Buat Hidupmu

January 22, 2021
Penemuan Gunung Vulkanik dan Potensi Mencairnya Ratusan Gunung Es Raksasa

Penemuan Gunung Vulkanik dan Potensi Mencairnya Ratusan Gunung Es Raksasa

January 21, 2021
Peduli Banjir Kalimantan Selatan, Asschol Kalsel Satukan Tekad Bantu Sesama

Peduli Banjir Kalimantan Selatan, Asschol Kalsel Satukan Tekad Bantu Sesama

January 20, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved