Benawi Njipangan merupakan trademark kebudayaan yang lahir dari visi dan realita peradaban Perahu Bengawan.
Tak ada satupun aliran sungai di Pulau Jawa yang berposisi sebagai “penyatu” dua provinsi. Jika pun ada, ia adalah Benawi Njipangan, satu-satunya aliran sungai besar yang berada di tengah antara Kabupaten Blora (Jawa Tengah) dan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur).
Wajib diketahui. Benawi bermakna sungai. Benawa berarti perahu. Ini menjadi indikasi empiris bahwa sungai dan perahu punya satu degup episentrum yang sama, yaitu keberadaan air sebagai sumber hayat manusia. Maka bukan kebetulan jika lokasi itu, dulu, memunculkan tokoh Pangeran Benawa yang dikenal sebagai pengelola peradaban bengawan.
Jika Benawi bermakna sungai, Njipangan berarti masyarakat Jipang, sebuah nagari (provinsi) yang sejak era Medang Kahuripan, Singashari, dan Majapahit masyhur sebagai pengelola dan pengendali Bengawan. Nagari Jipang merupakan cikal bakal masyarakat Kabupaten Blora, Bojonegoro, dan Tuban Selatan.
Kejayaan, kemakmuran, dan kedigdayaan Nagari Jipang dicatat Raja Airlangga, dihormati Raja Wishnuwardana, dan dimuliakan Raja Hayam Wuruk; melalui pahatan Prasasti Pucangan (1041M), Prasasti Maribong (1248 M), dan Prasasti Canggu (1358 M). Maka bukan kebetulan jika pada abad 14 M, Nagari Jipang dijadikan pusat peradaban Islam oleh Mbah Jimatdil Kubro.
Kejayaan Njipangan sebagai pengelola bengawan, tercatat empiris oleh para pelancong Belanda yang melintasinya. Di antaranya bernama H. W. Van Waey yang menulis esai berjudul De Solorivier van Padangan tot Soerabaja (1875). Dia mencatat kekagumannya pada sungai Balai Kambang (peradaban perahu) di Jipang Padangan, saat melintas pada 1811 M menuju Surabaya.
Pada periode ini, Benawi Njipangan dikenal sebagai pusat Jantung Naga. Posisinya menentukan denyut stabilitas ekonomi yang ada di Kepala Naga (hilir Gresik), dan Ekor Naga (hulu Surakarta). Benawi Njipangan sebagai pusat kesejahteraan masyarakat, tentu menjadi fakta sahih yang wajib diamini. Sebab, kala itu, masyarakat Njipangan memperlakukan benawi sebagai aset utama.
Visi Peradaban Benawi
Dengan akar tradisi dan pilar kejayaan yang tercatat sejak abad 11 M, tentu sebuah kewajaran ketika kita kembali memimpikan hadirnya Peradaban Perahu Bengawan di wilayah Benawi Njipangan. Toh itu sudah pernah nyata-nyata terjadi. Dan mengembalikan apa yang pernah ada, tentu sebuah upaya yang baik.
Bercita-cita tentu boleh. Bermimpi juga tidak dosa. Memimpikan Benawi Njipangan sebagai aset utama daerah yang dikelola pemerintah secara serius, tentu sebuah mimpi kolektif yang harus dimiliki masyarakat Njipangan. Sehingga kejayaan masa silam tak hanya dikenang sebagai huzun (kesedihan kolektif) bagi warga Njipangan, tapi jadi motivasi untuk menauladaninya kembali.
Benawi Njipangan merupakan projek visi masa depan yang sedang digalang para pegiat Blora dan Bojonegoro. Tujuannya sederhana. Mengembalikan denyut bengawan sebagaimana mestinya. Mengembalikan perhatian masyarakat pada ekosistem bengawan, sebagaimana ia diperhatikan dengan seharusnya.
Mencita-citakan Benawi Njipangan seperti Canal Grande di Venezia Italia atau Giethoorn Village di Belanda, tentu amat berat. Sebab, dua lokasi itu menjadikan sungai kecil sebagai lokasi wisata sekaligus koridor utama lalu lintas air bagi warga masyarakatnya. Tapi setidaknya, kita bisa meniru bagaimana cara masyarakat di sana memerlakukan sungai sebagaimana mestinya.
Aktivasi Peradaban Bengawan
Melalui projek visioner Benawi Njipangan, para pegiat dari Blora dan Bojonegoro ingin membangun habitat dan ekosistem ekonomi kreatif di masing-masing bantaran bengawan. Baik dari sisi Blora (Jawa Tengah) maupun dari sisi Bojonegoro (Jawa Timur). Dan itu, secara nyata, harus diawali dengan sebuah festival.
Ekonomi kreatif bisa muncul melalui keberadaan keramaian massa. Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan cara: memecah sepi melalui keberadaan sebuah festival. Anggap saja sebuah acara tahunan bernama Festival Perahu Naga. Di mana, para perahu hias melintas sungai.
Karena berada di tengah sungai batas Blora dan Bojonegoro, Festival Perahu Naga diharap mampu menyedot perhatian pengunjung dari masing-masing sisi bantaran sungai. Baik dari sisi Blora (Jawa Tengah) atau Bojonegoro (Jawa Timur). Artinya, bantaran yang selama ini sepi dan tak begitu diperhatikan, mulai jadi titik keramaian yang mencuri perhatian.
Adanya keramaian di sisi bantaran, tentu memicu putaran ekonomi. Bantaran yang semula dijauhi, berharap mulai dipenuhi para pedagang makanan, pedagang asongan, hingga pedagang kopi. Warung-warung dadakan pun mulai dibuka. Target minimalnya, sesuatu yang lama sepi, mulai kembali diperhatikan lagi.
Festival Perahu Naga yang diadakan setahun sekali ini, diharap mampu menggerakkan gairah masyarakat di masing-masing bantaran untuk kembali menengokkan wajah ke arah bengawan. Festival ini juga jadi gerbang pembuka terkait giat-giat “balai kambang” kreatif yang menyusul berikutnya.
Adanya Festival Perahu Naga, diharap mampu membuka potensi pasar bagi warga lokal. Dengan adanya festival ini, maka sebuah kewajaran ketika kelak kawasan-kawasan yang dilintasi festival, menjadi pusat putaran ekonomi. Mengingat, posisi bengawan tak sekadar menyatukan demarkasi desa. Tapi menyatukan demarkasi provinsi.