Perut memberi isyarat bahwa lambung perlu diisi. Datang ke meja makan menjadi solusi. Membuka tudung saji, terpampang nasi dan lauk pauk. Ada tempe, sambal dan sayur asem. Cocok sekali untuk menu makan siang.
Tidak jarang muncul rasa penasaran dan ingin bertanya. Entah dalam hati atau langsung bertanya pada sang koki “Lha kok gak onok iwak e?” atau “Ibu gak masak iwak?”. Olahan iwak (ikan atau daging) termasuk menu yang enak dan populer. Tentu kita semua menginginkannya, kecuali yang tidak suka.
Atau pada kasus lain. Misalnya saat reuni atau berkumpul bersama teman. Terlihat jelas siapa yang sudah hadir sambil menunggu yang lain. Setiap kali ada yang datang, terlontar pertanyaan “Si A mana nih? Kok ga ada? Kok ga datang? Kok ga diajak?”. Padahal sudah jelas yang datang adalah mereka yang berkumpul.
Seperti itulah rasa penasaran yang cukup sepele. Tidak hadir dianggap tidak ada. Maksudnya, apa yang dibutuhkan sudah ada, tapi penasaran dengan yang tidak ada. Penasaran di mana letak sesuatu yang diinginkan atau dicari. Manusia memang suka mencari yang tidak ada.
“Kita selalu mencari yang tidak ada. Kalau memang tidak ada, untuk apa dicari?” kata Abah Suradira menasehati Lail (dikutip dari novel sufi berjudul Layla karya Candra Malik).
Kutipan tersebut tentu cukup mewakili keadaan. Yang dinginkan selalu dicari. Yang diharapkan selalu dipertanyakan. Manusia kerap mencari yang tidak ada. Lalu, jika memang tidak ada, mengapa terus dicari? Toh mencari yang tidak ada jelas tidak mungkin ditemukan. Tentu ini bisa menjadi kesia-siaan.
Adanya tempe, berharap ikan atau daging. Siasatnya, tempe dimakan sambil membayangkan ikan atau daging. Jika nyatanya makan tempe tetapi berharap ikan, maka eksistensi tempe menghilang. Yang ada hanyalah kesia-siaan. Mengapa demikian?
Pastinya, ikan yang kamu harapkan tidak akan terasa hanya dengan membayangkannya. Lidah dan perut tidak bisa merasakan ikan. Sedangkan tempe tersebut gagal eksistensinya sebagai tempe. Itu karena yang kamu anggap adalah ikan.
“Kalau kamu makan tempe tapi membayangkannya ikan yang enak, tentu itu menjadi kegagalan. Kamu tidak dapat ikan yang kamu rasakan dan tempet itu gagal sebagai tempe,” tutur Markesot dalam sebuah buku berjudul “Markesot Bertutur” karya Emha Ainun Nadjib.
Jika benar manusia mencari sesuatu yang tidak ada, mengapa terus dicari? Lha wong yang namanya ‘tidak ada’ berarti tidak mungkin ditemukan. Karena itu, kamu harus mulai belajar ‘menemukan’. Daripada mencari yang tidak ada, lebih pasti menemukan yang ada.
Mulailah dengan belajar menemukan yang ada. Apa yang kamu inginkan boleh kamu simpan dan usahakan terwujud. Namun, kamu perlu menikmati yang sudah ada. Tentunya yang ada di sekitarmu. Bukankah apa yang sudah kamu miliki adalah yang bisa kamu nikmati?
Tuhan sudah meberikan apa yang manusia butuhkan. Dia sudah menghamparkan berkah di seluruh alam semesta. Kamu tinggal menemukan dan menikmatinya. Tidak perlu mencari, kecuali yang kamu inginkan dan harus diusahakan agar terwujud.
Misalnya orang yang kamu cintai. Kamu mencari sosok pasangan yang begini begitu. Padahal, di sekitarmu banyak orang yang sudah mencintaimu. Memang tidak seperti yang kamu harapkan. Namun, bukankan itu perlu kamu nikmati dengan bahagia?
Jadi, berhentilah mencari yang tidak ada. Mulailah belajar untuk menemukan apa yang kamu butuhkan. Semuanya sudah tersedia. Tinggal kamu temukan dan kamu pilih dan kamu nikmati kebahagiaan yang sudah tersaji.