Haru dalam titik-titik embun yang menempel di kaca bus seolah memberitahu kita sebuah kalimat: biar ada jarak, agar ada rindu yang bergerak.
Ada yang sepanjang hidupnya terkurung dalam kota yang sama di mana ia lahir dan tumbuh besar, ada yang sepanjang hidupnya merantau dari satu tempat ke tempat lainya dan tak tahu kapan ia akan pulang.
Di kabupaten yang tak terlalu besar ini, sebagian besar orang memutuskan untuk pergi dari tempat ia dilahirkan. Ada yang pergi untuk mencari nafkah, ada yang pergi untuk mencari ilmu, dan ada juga yang hanya ingin melarikan diri, mencari suasana baru.
Meninggalkan rumah untuk menginjak dunia yang sama sekali baru bukan hal mudah, tapi bukan juga perkara yang begitu sulit untuk dilakukan. Banyak orang pergi merantau, tidak terkecuali saya sendiri.
Saya merantau sejak 2011, pindah dari Bojonegoro ke Surabaya, ke Jogja, ke Tuban, dan saya tidak tahu akan ke mana lagi berikutnya.
Setiap kali harus pergi berpindah tempat, mungkin sebagian besar dari kita bertanya dalam hati kecil, “lagi?”.
Seolah tidak ada habisnya kita bepergian. Seolah tidak ada lelahnya kita mengukur jalan. Tapi apa yang bisa kita perbuat di sini? Apa yang bisa kita raih di sini? Meski banyak, toh, kesempatan itu terlalu kecil peluangnya.
Tapi, bukankah hidup sejatinya memang perantauan. Dari ruang satu ke ruang lainnya. Di mana setiap ruang, memberi kesempatan pada kita untuk mengalami dan merekam kesan.
Dini hari, ketika lampu-lampu di jalan masih enggan padam dan matahari masih enggan terbit, ketika sebagian besar orang masih terlelap dalam tidurnya, para perantau harus bangun dan pergi ke terminal, bersamaan dengan para pedagang yang mulai berangsur memadati pasar.
Bedanya, mereka akan pulang di siang hari, tapi kami? Kami tidak tahu kapan akan kembali menginjakkan kaki di sini, di kota yang menyimpan banyak sekali cinta dan cerita.
Di atas bus, saya pandangi wajah keluarga yang harus bangun pagi dan mengantar saya ke terminal, penuh cemas dan harap doa untuk keselamatan saya di atas bus.
Saya tidak sendirian, buktinya bus yang membawa raga saya pergi itu penuh sesak oleh orang-orang yang sama, yang berjuang mencari ilmu dan nafkah. Saya pandangi wajah-wajah penuh kantuk yang harusnya masih pulas di atas kapuk.
Ada haru dalam titik-titik embun yang menempel di kaca bus. Meninggalkan rumah berarti meninggalkan orang-orang yang kita cintai di sana. Berat. Tapi toh hidup tidak selalu mudah untuk dijalani.
Beberapa harus dijalani meski melenceng dari rel kemauan kita.
Hari-hari di perantauan, letih setelah seharian bekerja untuk perusahaan-perusahaan kapital, setelah lelah seharian belajar demi sebuah gelar, kita pulang untuk merebahkan badan.
Ke tempat kos, ke kontrakan. Sialnya, tidak ada keluarga yang kita cintai di sana. Tidak ada gelisah yang bisa kita bagi secara dalam, yang memaksa kita kembali ke luar.
Datang ke warung-warung kopi, café ataupun mall hanya untuk menghibur diri. Mungkin itu juga mengapa di kota-kota besar, kota tempat banyak orang datang mengadu nasib, banyak hadir tempat hiburan.
Tak perlu jauh-jauh, di Surabaya, ada berapa banyak tempat karaoke? Ada berapa banyak mall dan pusat perbelanjaan? Ada berapa banyak café dan warung kopi?
Tidak terhitung banyaknya, seperti pendatang yang tiap tahun bertambah, seperti pula tuntutan kerja dan beban belajar yang kian hari kian berlebih.
Tak semua semenyedihkan itu, tentu saja. Sebab, Banyak hal yang tidak dijumpai di Bojonegoro, dapat dijumpai di tempat rantau.
Banyak sekali, tapi bukan itu maksud saya. Yang tidak kita jumpai saat ada di Bojonegoro adalah rindu. Memberi jarak berarti memberi ruang untuk kita merindu. Rindu untuk pulang ke pelukan ibu dan bapak di rumah.
Jauh dari rumah membuat kita sadar betapa tak ada kasih sayang yang lebih besar dan tulus dari yang diberikan ibu-bapak dan keluarga pada kita. Itu juga mengapa kita selalu rindu untuk pulang.
Bukan tentang tempat, tapi suasana.
Kita akan menjadi lebih asing dengan tempat kita dilahirkan, tapi keasingan itu jugalah yang membawa kita pada perkenalan-perkenalan baru yang tidak membosankan.
Seperti hadirnya komunitas-komunitas dan ruang ekspresi, bangunan-bangunan baru sebagai tempat rekreasi, dan mungkin juga orang-orang baru yang, mungkin, membuat kita memutuskan kembali. Pulang setelah lama berkelana.