Konsep Desa Mengepung Kota memang strategi perang dalam melawan penjajah. Namun, ternyata juga bisa dibelokkan untuk City Branding Kota Bojonegoro.
Strategi Desa Mengepung Kota, merupakan istilah populer bagi mereka yang pernah mengkaji sejarah revolusi Cina. Strategi tersebut, diinisiasi Mao Tze Tung untuk melawan Imperialisme dan Feodalisme. Kala itu, Cina sedang menghadapi agresi Tentara Jepang.
Mao Tze Tung membangkitkan perlawanan dari desa. Terutama dari kaum tani. Rakyat diorganisir sebagai pasukan yang dapat menyerang tentara Jepang secara tak terduga. Dengan senjata sederhana.
Para penjajah pun kelabakan. Sebab, kekuatan masyarakat desa sangat militan dan tak bisa diidentifikasi secara jelas. Setelah masyarakat desa mampu merebut Beijing dari tangan tentara Jepang, Mao Tze Tung membangkitkan perekonomian desa dengan membentuk koperasi-koperasi pertanian.
Revolusi Cina yang dimulai sejak 1925 menjadi gerakan revolusi perlawanan — proletar terhadap borjuis — paling spektakuler, yang gemanya hanya bisa dikalahkan oleh Revolusi Bolshevik (1917) di Rusia.
Nabs, terlepas apapun ideologinya, satu hal penting yang bisa diambil pelajaran dari Revolusi Cina adalah gerakan Desa Mengepung Kota-nya. Ini sangat bagus. Konteksnya tidak hanya untuk strategi perang. Tapi juga strategi City Branding.
Desa Mengepung Kota dalam hal City Branding di Bojonegoro.
Inti dari Desa Mengepung Kota adalah dominasi desa yang dipertajam, ketika kota (Beijing) dikuasai oleh penjajah, dalam hal ini Jepang. Nah, dengan kuatnya intensitas gerakan di desa, lambat laun mampu mengimbangi dan “menolong” kota.
Tentu, konsep itu tinggal memodifikasi saja untuk dijadikan senjata City Branding. Strategi City Branding yang sejauh ini selalu dipusatkan di pusat kota, bisa dibalik dengan mempertajam dominasi desa.
Tentu ini bukan hanya karena limpahan rezeki struktural berupa anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) maupun Dana Desa (DD) saja. Tapi juga adanya kawasan potensial yang harus dipertajam perannya.
Nabs, sejauh ini Bojonegoro memang belum maksimal melakukan City Branding. Padahal, Bojonegoro memiliki banyak senjata untuk segera memulainya. Keberadaan desa potensial adalah contohnya.
Bojonegoro punya banyak desa potensial. Terutama desa-desa yang punya bakat dikenal banyak wisatawan. Dari yang sudah mulai populer hingga yang belum terlalu populer karena kurang diperhatikan.
Bojonegoro punya banyak kawasan pinggiran layak branding yang selama ini justru jarang sekali digarap. Desa dan kawasan tersebut, memiliki kemampuan branding sangat bagus, asal dipertajam perannya.
Desa dan kawasan pinggiran mana saja sih yang layak dipertajam brandingnya?
Desa Geneng Kecamatan Margomulyo
Margomulyo menjadi kawasan batas barat daya Kota Bojonegoro. Kawasan tersebut identik sebagai kawasan penghasil kerajinan akar jati. Ada ratusan pengrajin akar jati di daerah tersebut. Bahkan, kawasan itu kerap dikunjungi WNA hanya untuk mencari kerajinan akar.
Desa Geneng Kecamatan Margomulyo sudah populer, terutama di luar pulau dan luar negeri sebagai kawasan kerajinan akar jati. Sehingga, hanya butuh sedikit perhatian bagi pemerintah untuk memoles dan mempertajam perannya. Alasannya, karakter sudah terbentuk lama.
Desa Gajah Kecamatan Baureno
Kecamatan Baureno memiliki potensi geopark berupa hamparan luas bebatuan yang indah. Namanya Gajah Watu Jodoh. Dengan luas hampir 20 hektar, tentu mampu memicu banyak potensi wisata reguler maupun wisata edukasi.
Keberadaan kawasan tersebut, tentu menunjukkan bahwa potensi desa wisata di Bojonegoro tidak melulu itu-itu saja. Tapi, kawasan timur yang berdekatan dengan Kota Babat itu pun memiliki potensi desa yang layak digarap. Itu baru Desa Gajah saja. Belum lagi kawasan Watu Gong di Desa Gunungsari.
Desa Bandar Kecamatan Kasiman
Desa Bandar menjadi kawasan kerajinan kayu yang cukup lama bertahan. Bahkan, kawasan terdapat ratusan perajin kayu jati itu sudah populer sejak era orde baru. Hasil karyanya juga dijual di luar kota hingga luar pulau.
Dengan adanya jembatan penghubung Kecamatan Padangan – Kecamatan Kasiman, harusnya pemerintah sangat mudah memberi sentuhan branding di kawasan itu. Mengingat, bakat populer dan karakter sudah terbentuk lama. Tinggal mempertajam saja.
Desa Padangan Kecamatan Padangan
Kawasan Padangan masih menyisakan sisa-sisa bangunan era kolonial. Dari sekitar 5 bangunan kolonial yang membentuk semacam kawasan peradaban lama, baru satu bangunan saja yang sudah diakuisisi pemerintah untuk dijadikan tempat wisata.
Jika pemerintah mau serius, kawasan itu tentu bisa digarap lebih optimal. Terutama, dengan adanya jembatan penghubung Padangan – Kasiman, harusnya bisa kian mudah menjadikan tempat wisata sebagai tujuan destinasi berbasis paket jalan-jalan.
Pemerintah harus berani menginisiasi paket wisata jalan-jalan ke Bojonegoro. Contoh kecil misalnya: wisatawan diajak jalan-jalan dari kawasan Margumulyo, Padangan dan Kasiman. Itu asyik karena transportasi sangat mendukung.
Tentu, ide di atas masih butuh digodok lebih serius. Namun, setidaknya, pemerintah harus sadar bahwa desa potensial dan ruang wisata Bojonegoro tidak itu-itu saja. Seperti konsep Desa Mengepung Kota, ada kalanya giat City Brand harus dimulai dari pinggir.