Aku Nina, mahasiswa salah satu universitas di Jogja. Saat bertepatan hari akadku menikah dengan laki laki pilihan orang tua, aku justru menghadiri wisuda seseorang yang telah kupilih menjadi imamku.
Detik demi detik, langkah demi langkah. Semua sesuai rencana, aku berhasil kabur dari acara akadku.
Aku menatap ke arah awan, terdiam, “Tuhan, skenario seperti apa setelah kejadian ini?” Aku berusaha meyakinkan diri bahwa ini jalan terbaik untuk masa depanku.
“Yang fana adalah waktu, kita abadi”. Kutipan sajak yang pernah kubaca dari buku Hujan di Bulan Juni karangan Supardi Djoko Darmono itu selalu menguatkanku, saat aku ingin berhenti.
Menggendong perasaan cemas, aku berdiri persis di depan gedung di mana calon imamku akan diwisuda. Perlahan, aku memasuki ruangan dan melihat dia tersenyum dan tertawa lepas bersama perempuan berparas menarik.
Aku diam sejenak, lalu berpikir, “siapa dia?, ah mungkin sepupunya” aku hibur diriku sendiri.
Kuberanikan diri untuk tetap datang ke acara wisudanya. Tapi, seluruh badanku bergetar saat kulangkahkan kaki menuju ke tempatnya. Dia melihatku dengan tatapan iba. Lalu meminta maaf. Sambil menggandeng tangan si perempuan cantik itu.
Sampai di sini aku belum juga paham. Dengan nada pelan, “Kenapa minta maaf” kataku. “Kamu tidak pernah membuatku sedih, kamu tidak pernah membuatku marah, bahkan nangis sekalipun tidak pernah, sudahlah lupakan. Aku ini adikmu bukan?” Ucapku meyakinkan agar si perempuan di dekatnya percaya, bahwa calon imamku adalah calon terbaik untuknya.
Percuma aku menyirami tanaman yang sudah mati. Aku ikhlas, Tuhan. Sungguh aku ikhlas, sambil menguatkan hati. Aku melangkahkan kaki ke luar ruangan dan berpikir untuk segera pergi dari ruangan itu. Tiba-tiba ponselku berdering: ibu menelpon.
“Iya, aku mau. Sebentar lagi aku sampai di rumah.” Jawabku bahkan sebelum ibu berbicara, aku mengiyakan pernikahan pilihan orang tua. Hatiku hancur, bagaikan sepatu kaca yang berjalan di atas paku.
Hancur sehancur-hancurnya. Aku tak bisa membayangkan kehidupanku setelah ini, “Bahagia?” Dengan segenap keyakinan, kulangkahkan kaki untuk keluar dari gedung lalu pulang.
Perempuan itu mengejarku dan manarik tanganku, “Terimakasih, Nina.” Bagaimana dia tahu namaku, bukankah tadi aku belum sempat memperkenalkan diri?
Lalu, terimakasih apa yang dia maksud. Aku segera lari dan berpaling, lalu melambaikan tangan kepadanya tanpa meminta penjelasan tentang ucapan terimakasihnya.
Hari ini adalah hari kebahagiaan, kebahagiaan yang kuciptakan, bukan dari lubuk hati yang paling dalam. Aku berdandan layaknya ratu hari ini. Seharusnya aku memperlihatkan senyumku yang indah. Namun sulit setiap melihat arah hujan di luar jendela.
Iya, aku bahagia lepas saat itu, saat bermain hujan bersamamu. Aku yang terjatuh dari hujan lalu kamu gendong, aku yang lari lalu kamu kejar, aku yang bersumbunyi dan kamu mencariku.
“Nina.” Tiba-tiba lamunanku kabur ketika ibuku memanggil, “Hidupmu akan terus bahagia ketika membahagiakan kedua orang tuamu, Nak.” kalimat itu terus terngiang di kepalaku saat ini.
Tak apa, bukankah ini untuk kebahagiaan diaku, Bukan? Masa laluku biarlah menjadi rintik hujan yang kusembunyikan. Selepas itu, kupercayakan pada Tuhan, bahwa ini jalan terbaik untukku.