Aku Tak Marah menjadi novel tipis yang wajib dibaca oleh mereka yang mengaku sebagai pekerja kreatif.
Meski berat dan memicu rasa malas, membaca buku memang kebiasaan baik. Tapi, seperti apa yang dikatakan AS Laksana: membaca buku buruk hanya akan membuatmu terlempar ke comberan.
Berbekal keinginan untuk tak terlempar ke comberan, saya mencari buku-buku bagus untuk dibaca. Dan sialnya, banyak buku bagus yang ukurannya tebal-tebal. Masalah kedua pun muncul: malas membaca buku tebal.
Sebagus apapun kualitas buku, kalau ukurannya tebal dan tidak ramah pandangan mata, rasanya memang membikin saya malas membaca. Tentu, ini tidak berlaku pada setiap buku. Sebab, ada buku yang amat tebal tapi toh tetap saya baca juga.
Sementara ini, saya sedang mengurangi membaca buku-buku tebal. Bukan karena apa-apa, tapi karena takut tak menyelesaikannya. Membaca buku tapi tak selesai, kau tahu, seperti punya bakat cerdas tapi nggak lulus-lulus kuliah hanya karena terlalu sibuk berorganisasi.
Untuk menghindari membaca-tapi-tak-selesai, saya hanya mencari buku-buku berukuran tipis. Dan pencarian saya pun menemui hasil. Banyak buku-buku tipis yang mempunyai kualitas layak baca, bahkan jika dibanding buku berukuran tebal.
Saya menemukan sebuah novel tipis. Covernya bagus. Simpel. Ukurannya kecil. Enak dipegang dan mudah dibawa kemana-mana. Novel itu berjudul Aku Tak Marah. Sebuah novel yang bisa jadi, lebih cocok jika disebut sebagai novela.
Tentu saja penulisnya bukan sembarang orang. Dia penulis kawakan yang karyanya sangat banyak. Terutama buku anak-anak. Meski, yang sudah saya baca baru sebagian kecil saja. Ya, penulis itu bernama Djoko Lelono.
Djoko Lelono adalah sosok yang sangat berjasa dalam proses membaca buku saya. Dialah penerjemah Dataran Tortilla, novel amat memukau yang bakal diceritakan oleh siapa saja yang pernah membacanya.
Tanpa Djoko Lelono, barangkali saya tak akan pernah membaca Dataran Tortilla. Sejak membaca Dataran Tortilla dan tahu jika Djoko Lelono sebagai penerjemahnya, saya baru sadar bahwa penerjemah adalah entitas profesi yang amat penting.
Djoko Lelono tak hanya menulis dan menerjemah banyak buku — terutama buku anak-anak, dia juga sosok di balik tagline-tagline atau slogan-slogan populer seperti “susu saya susu bendera”, “pria punya selera”, hingga “terus terang Philip terang terus”.
Kakek yang kini berusia 75 tahun tersebut, adalah sosok yang memberitahu saya bahwa membikin jingle atau slogan atau kata-kata yang mudah diingat banyak orang itu, butuh proses membaca dan merenung yang tidak sebentar. Dari dia pula saya belajar tentang itu.
Aku Tak Marah berkisah tentang dunia yang dekat sekaligus jauh bagi umumnya pembaca Indonesia. Tentang kehidupan warga miskin dan pinggiran kota besar. Ia ditulis dengan bahasa realis yang terang dan akurat dan singkat-padat.
Mbah Djoko, mampu merekam momen-momen yang sesungguhnya terjadi dan dialami manusia saban hari dan setiap saat, dengan cara yang amat menghibur dan membikin bergumam: oh iya-iya.
Novel ini, saya yakin akan mengingatkan kita pada Dataran Tortilla — tentu bagi mereka yang pernah membacanya — melalui kalimat-kalimat pendek yang sangat lucu dan menghibur. Dengan kelucuan yang amat natural.
Di awal pembacaan, pembaca bakal disodori konflik antara dua kekasih: Anggit dan Vici — dua orang pekerja kreatif . Si perempuan, Vici, marah pada Anggit karena kekasihnya itu melakukan perkara tidak sepele yang membuat Vici cemburu dan marah-marah.
Saking marahnya, sampai Vici mengusir Anggit. Anggit yang merasa bersalah, tak membalas Vici dengan kemarahan. Dia justru menyanyikan sebuah lagu untuk Vici berjudul “Aku Tak Marah”. Sebuah lagu yang kelak menjadi jingle amat populer di radio dan mempertemukan kembali Anggit dan Vici.
Ya, cerita dibangun sesaat setelah Anggit diusir Vici. Dalam proses menjalani pengusiran, Anggit melakukan perjalanan sebagai seorang pengamen yang kerap terdampar pada petualangan seru penuh sial dan kejutan. Dari sanalah, cerita ini dibangun.
Yang unik dan bikin betah membaca, novel ini mengandung setting sebuah perusahaan agensi branding. Yang kerjaannya membranding produk dan membikinkan jingle. Saat membacanya, tentu saya sangat ingat kegiatan saya di Jurnaba — perusahaan kecil yang fokus pada proses branding.
Meski novel ini menceritakan tokoh berbeda-beda di tiap babnya, tapi masih ada tali yang saling terkait. Sehingga, saat membaca bab baru, pembaca akan diperkenalkan tokoh lain yang masih punya hubungan dengan tokoh sebelumnya.
Aku Tak Marah. Judul yang amat sederhana. Ditulis dengan kalimat realis yang amat bercahaya. Sehingga pembaca merasa amat dekat dan seolah sedang mengalaminya. Karena tipis dan tak butuh waktu lama untuk membacanya, saya sempat baca novel ini berulang-ulang.
Sebagaimana novel realis yang baik, Aku Tak Marah tak menggambarkan tokoh-tokohnya secara hitam-putih. Karena itu, saat membacanya, pembaca harus menanggalkan nilai — ini sangat mengingatkan saya pada Dataran Tortilla. Hehe
Aku Tak Marah, oleh Djoko Lelono tak hanya dijadikan judul novel. Di dalam novel tersebut, kalimat “Aku Tak Marah” juga jadi puisi, lirik lagu, bahkan hingga sebuah jingle untuk membranding sebuah produk tertentu. Ini yang membikin saya terkagum-kagum.
Aku tak marah
Memang aku yang salah
Tapi tolonglah
Dompetku berikanlah
Putus cintaku
Aku sudah terbiasa
Putus rokokku
Ku bisa binasa
Dari bait itu, tentu kita bisa merasakan betapa Mbah Djoko Lelono tak hanya ahli menerjemah dan menulis, tapi juga membikin lirik dan jingle dan slogan-slogan yang mudah diingat orang.
Bahkan, kalimat “Aku Tak Marah” sendiri, bagi saya sudah mampu menjadi slogan dan tagline dan jingle dan apapun yang membuat saya ingat pada sesuatu secara mudah.
Harus saya akui, bakat saya membikin tagline dan jingle benar-benar tergugah dan terasah pasca saya membaca novel tipis ini. Terlebih, setting lokasi cerita, selalu mengingatkan saya pada Jurnaba— ruang kreatif tempat saya mengaktualisasikan kreasi dan bekerja.
Aku Tak Marah menjadi novel tipis yang wajib dibaca para pekerja kreatif. Sebab, Djoko Lelono menulisnya dengan kelucuan khas Dataran Tortilla dan kreativitas berbasis imajinasi liar anak-anak.
Tentu ini bukan tanpa alasan, Mbah Djoko adalah penulis yang identik dengan buku anak-anak. Dia juga sosok yang menerjemahkan buku adiluhung karya John Steinbeck berjudul Dataran Tortilla.
Novel tipis ini mungkin kelihatan sangat ringan untuk dibaca. Ditambah kisah di dalamnya yang lekat dengan kehidupan sehari-hari para pekerja kreatif. Karena itu, saya berani mengatakan: jika ada yang mengaku pekerja kreatif tapi tak pernah membacanya… ragukan saja! Wqwq ~