Bodo Kupat atau Hari Raya Ketupat merupakan tradisi umum dilakukan masyarakat muslim pasca lebaran idul Fitri. Tapi, di Kuncen Padangan, ada tradisi yang unik dan agak beda.
Desa Kuncen Kecamatan Padangan Bojonegoro, merupakan Desa Sepuh yang, dalam hal-hal tertentu, masih sangat mempertahankan tradisi orang-orang terdahulu. Terutama tradisi yang berhubungan dengan religiusitas masyarakat setempat.
Contoh paling dekat, pada Hari ke-7 Bulan Syawal 1442 H, sudah jadi tradisi bagi Jama’ah Masjid Darussalam Kuncen Padangan mengadakan Bodo Kupat. Ini tradisi yang sudah dilaksanakan turun temurun.
Di antaranya, acara yang dihelat di salah satu Masjid Tertua di Padangan, yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Irsyaduth Tholabah Rowobayan, Desa Kuncen.
Kegiatan Bodo Kupat selalu dihelat tiap tahun, tepatnya pagi hari tanggal 7 Syawal. Selain acara ramah-tamah, juga berkumpul untuk mendengar Mauidhoh Khasanah (nasehat bijak) secara khusus.
Tiap pagi di tanggal 7 Syawal, Masjid Darussalam Kuncen selalu ramai muda-mudi dan para sesepuh untuk berkumpul. Selain menikmati jajanan sayur ketupat, ada Mauidhoh Khasanah dari sesepuh Kiai.
Mauidhoh (nasehat) pada tanggal 7 Syawal tentu tak sama dengan ngaji umum biasa. Dalam rangka Bodo Kupat, Kiai selalu mendedah filosofi tradisi Bodo Kupat di tempat kami, yakni Desa Kuncen Padangan.
Secara umum, masyarakat Desa Kuncen memang identik para pemikir dan perenung. Ini sudah men-tradisi sejak zaman buyut-buyut mereka terdahulu. Terutama pada perkara-perkara tradisi muamalah.
Tak ayal, mereka yang lahir di Desa Kuncen, biasanya punya kecenderungan menyukai filsafat dan punya pemaknaan tertentu dalam memahami hidup. Sebab sejak kecil sudah dikenalkan dan diajarkan orang tua mereka.
Pengasuh Pondok Pesantren sekaligus Mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah, KH. Abdussalam Yusabh atau Mbah Yai Yus, dalam mauidhohnya menjelaskan, Bodo Kupat merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman Sunan Kalijaga.
Kupat atau ketupat, selain kerap dimaknai sebagai ngaku lepat (mengakui kesalahan), menurut beliau, juga dimaknai ngaku papat (mengakui empat hal). Yakni; Lebar, Labur, Luber dan Labur.
Lebar
Artinya, bar atau rampung atau selesai. Maksudnya, sudah selesai mengerjakan puasa Romadhon Plus puasa 6 hari pada awal bulan Syawal.
Lebur
Artinya, semoga dengan lebaran, semua dosa dilebur dan diampuni Allah SWT. Sebab, masyarakat sudah melaksanakan halal bihalal pada tetangga dan sanak saudara.
Luber
Artinya, masyarakat punya lebihan rizki dari Allah untuk digunakan bershodaqoh dengan membuat lontong kupat untuk dimakan bersama-sama jama’ah masjid.
Labur
Dalam bahasa Jawa, labur atau nglabur berarti ngecat atau mewarnai. Maksudnya; mampu mengganti diri dari yang semula banyak dosa jadi lebih bertaqwa. Ini merupakan tujuan puasa.
Selain kupat, makanan yang identik dengan Bodo Kupat adalah lontong. Menurut beliau, lontong juga punya makna. Yaitu, Lontong: alon-alon ngisi ilmu ingkang kothong. Pelan-pelan mengisi ilmu di dalam diri yang kosong.
Mauidhoh tentang filsafat Bodo Kupat, meski tiap tahun diulang-ulang, tetap saja punya makna yang selalu kontekstual. Sebab, sudah banyak pengikisan tradisi di tengah masyarakat digital saat ini.
Contoh paling sederhana. Dulu ucapan lebaran adalah “Luputku sepuro lahir bathin,”. Saat ini, tanpa kita semua sadari, ucapan sakral itu berubah jadi “lahir bathin” saja.
Dalam nasehat Mbah Yai Yus, kata Syawal punya arti naik. Tentu saja, di bulan Syawal ini, diharao kita semua meningkat kesehatannya, meningkat ibadahnya, meningkat derajatnya, meningkat istiqomah-nya.
Tujuannya, jika sewaktu-waktu kita dipanggil menghadap Allah SWT, setidaknya sudah bisa menghadap dalam keadaan husnul khotimah dakholal jannah.
Yang Unik di Bodo Kupat Kuncen Padangan
Selain penjabaran filosofi dari Mbah Yai, momen makan ketupat dan lontong juga jadi momen tradisi yang amat ditunggu-tunggu. Para jamaah biasanya makan kupat dan lontong sayur secara muluk (tak pakai sendok).
Iya, makan sayur lontong dan ketupat yang tentu banyak kuahnya itu, tanpa sendok. Cukup pakai tangan, tapi kuah bisa habis. Ini adalah cara makan kupat masyarakat sekitar.
Bagi para perantau, atau mereka yang bukan masyarakat asli Desa Kuncen seperti saya ini, cara makan semacam ini memang sangat sulit dan menyiksa. Hehe. Gimana nggak sulit, lha wong ambil kuah tanpa sendok.
Didin Sirojudin, M. Pd. I merupakan
Kepala MI Irsyadusy Syubban.