Ponorogo merupakan sebuah kabupaten di Jawa Timur yang multikultur. Di antara berjuta keberagaman terdapat beberapa tempat yang kaya akan historis dan ibrah. Salah satu di antaranya Gontor dan sekitarnya.
Ramadhan 1443 H banyak fenomena yang tersaji. Dari demonstrasi mahasiswa yang masih gandrung akan keadilan identitas, Ade Armando mendapat bogem mentah dan viral di media sosial, hiruk-pikuk liga sepakbola di benua biru, sirkulasi kapital yang terus berjalan, dialektika kebenaran mutlak dan nisbi, peringatan nuzulul qur’an, konflik antara Israel dan Palestina dengan campur tangan kapitalisme negara super power Amerika Serikat, kawan-kawan yang mengedarkan undangan pernikahan, dan hari ini (21 April 2022 M/19 Ramadhan 1443 H) merupakan hari peringatan salah satu di antara berjuta santri K.H. Sholeh Darat (Semarang) yaitu Raden Ajeng Kartini.
Tulisan kali ini, juga ada hubungannya dengan keluarga besar R.A. Kartini wa bil khusus alumnus Universiteit Leiden cum poliglot ‘Sosrokartono’ yang tembangnya dipopulerkan Sujiwo Tejo ‘Sugih Tanpo Bondho’. Sebelum lebih jauh ihwal itu, saya akan menuliskan sebuah proses bagaimana pikiran ini menuntut menuliskan artikel ini. Sebuah perjalanan yang terkandung unsur materialisme dan imaterialisme di dalamnya, Nabs.
Bojonegoro-Ponorogo
Apa yang terbesit dalam pikiran kawan-kawan tentang Bojonegoro dan Ponorogo? Apakah kawan-kawan pernah mengikuti sebuah training di Kota Reog itu? Atau memiliki sanak saudara di sana? Dalam catatan perjalanan saya, terhitung dua kali, saya meninjakkan kaki di Ponorogo. Pertama sekitar tahun 2019 (awal covid) dan yang kedua plus lebih bermakna pada April 2022.
Akses ke Ponorogo menggunakan bus dari Bojonegoro. Sebelum melakukan perjalanan ke sebuah tempat, saya menyempatkan berdiskusi dengan bapak. Karena saya pikir, bapak lebih jelas penjelasannya dan based experience. Bapak memberikan beberapa penjelasan, salah satu di antaranya ihwal historis rute perjalanan bus yang singgah di Terminal Rajekwesi.
Katanya, dulu ada bus kecil yang bisa mengantarkan langsung dari Bojonegoro ke Ponorogo, namun sekarang tidak ada. Saya berpikir, ada dan tidak adanya rute perjalanan dipengaruhi oleh dinamika ekonomi-politik. Dimana hal tersebut juga berkolerasi dengan maraknya pembangunan di daerah-daerah. Dan ketika bepergian naik bus, juga kelingan sampul buku Arkeologi Transportasi karya begawan sejarah perkotaan dari Univeritas Airlangga ‘Purnawan Basundoro’. Namun untuk saat ini, tidak akan membahas hal itu.
Namun jangan khawatir, kawan-kawan masih bisa ke Ponorogo menggunakan bus umum, dengan cara menggunakan bus arah Terminal Purabaya (Bungurasih) untuk transit, kemudian cari bus jurusan Ponorogo. Ada yang patas dan non patas (ekonomi). Bus Restu yang berwarna hijau dengan ciri khas hewan ‘panda’ bisa jadi rujukan. Selain pakai bus, juga bisa dengan sepeda motor. Dari Bojonegoro-Ponorogo, bisa menuju arah Padangan dan lihat petunjuk arah jalan warna hijau, niscaya akan membawamu ke Ponorogo.
Ada Apa dengan Ponorogo?
Ponorogo dalam hal ingar-bingar masih kalah dengan Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Namun Ponorogo memiliki nuansa yang khas. Perjalanan akan bermakna kalau sudah ada bekal. Bukan hanya bekal materi, melainkan juga bekal literasi. Karena dengan bekal literasi, akan merasakan ‘sisi lain’ dari sebuah kota.
Saya membaca sekilas tentang Ponorogo ketika di Bandung. Di sebuah perpustakaan yang ada di daerah Arcamanik. Saya membaca sekilas karya tulis guru besar sejarah UNESA ‘A. Kasdi’. Beliau menulis tentang dinamika sosio-agraria dengan pendekatan historis ihwal pendudukan tanah yang dilakukan oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) di Ponorogo. Namun, kata Kang Penk yang pernah mewakili KOMNAS HAM di Pengadilan Rakyat Internasional (Iternational People Tribunal/IPT 65) di Belanda, saya diberi challenge untuk mencari apakah ada kata ‘aksi sepihak’ di dokumen-dokumen Partai Komunis Indonesia (PKI)?
Literatur itu, membangun nuansa ketika melihat Ponorogo dari balik kaca bus kota. Sebelum sampai di Terminal Ponorogo, melewati kota-kota lain seperti Kota Pencak Silat ‘Madiun’. Selain itu, Ponorogo juga ada kaitannya dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Ageng Besari, Ronggowarsito, dan lain sebagainya.
Saya sampai di Ponorogo pada malam hari. Kemudian menuju warung kopi. Ladalah seng dodolan wong jonegoro. Perempuan yang menuju usia senja itu, katanya sudah 25 tahun tidak mudik atau menginjakkan kaki (lagi) di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi, dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro. Dua buah cangkir kopi, isinya saya nikmati. Menjadi bekal (energi) agar tidak ngantuk menuju tempat dengan slogan the fountain of wisdom atau air mancur kebijaksanaan yang merupakan bagian dari Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG).
Belajar Berdikari dari Nuansa Timur di Ponorogo
Ingin mencoba merasakan nuansa timur tengah di Jawa Timur? Ponorogo bisa dijadikan opsi cum solusi. Banyak opini di luaran sana, yang bersliweran tentang Gontor wa bil khusus PMDG. Ya, maklum lah, namanya sandiwara dunia, apalagi di era post truth ini, lebih suka menjustifikasi atau melempar opini, seblum tahu ‘wujud’ dari suatu hal. Pengembaraan ke Ponorogo, selain ingin ngangsu kaweruh ihwal keagamaan dan bahasa, juga ingin membuktikan opini yang bersliweran tentang Gontor.
Pada waktu duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (MTs), guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang akrab disapa ‘Pak Rokhim’ memberikan sedikit gambaran tentang Gontor. Dimana secara harfiah, Gontor berarti panggon kotor. Dari panggon kotor, menjadi tempat pembangun peradaban? Hal tersebut tidak bisa lepas dari Trimutri yang merupakan pendiri PMDG; K.H. Ahmad Sahal, K.H. Zainudin Fananie, dan K.H. Imam Zarkasyi.
Dari segi arsitektur begitu kentara wa bil khusus di Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor. Nuansa yang dibangun syarat dengan budaya timur. Bukan hanya sekadar eksistensi, melainkan juga esensi dalam bidang pendidikan. Kurikulum pendidikan di PMDG memang khas, melakukan upaya penyeimbangan antara ilmu pengetahuan agama dengan umum. Berbeda dengan kurikulum pondok pesantren yang lain, apalagi dengan madrasah di bawah pemerintah, maupun sekolah-sekolah umum.
PMDG berdikari, salah satu di antaranya ihwal kurikulum pendidikan. Juga pernah beredar kalimat kalau ‘ijazah lulusan Gontor itu ilegal atau tidak diakui pemerintah RI’. Namun, itulah yang menambah ‘keren’ dari PMDG. Dipertegas pada waktu pengajian sore di Masjid Jami’ Univeritas Darusslam (UNIDA) Gontor pada 18 Ramadhan 1443 H yang disampaikan oleh salah satu di antara tiga pimpinan PMDG (sekarang) yaitu K.H. Hasan Abdullah Sahal.
Kiai Hasan Abdullah Sahal, pada sore itu menyampaikan tentang kemandirian PMDG dan syariat akademik. Kurang lebih, kalau saya buat kiasan seperti berikut: intinya kita harus bisa mewarnai, jangan sampai diwarnai. Syariat akademik; membaca, berdiskusi, dan menulis. Selain itu, dalam ceramah Kiai Sahal juga nggojlok akademisi yang katanya menyampaikan dengan kata-kata sulit seperti civilization, kontribusi tapi busine busuk, penetrasi tapi trasnine mambu, wqwq. Hal itu merupakan gojlokan yang bukan hannya sekadar gojlokan, melainkan gojlokan yang sifatnya ideologis.
Di PMDG, percakapan bahasa Arab “ana, ente, antum, akhi, dan lain sebagainya” dan Inggris menjadi makanan sehari-hari. Saya juga menemukan karya sastrawan besar Rusia ‘Leo Tolsty’ di perpustakaan ruang multimedia UNIDA Gontor, berjudul War and Peace yang sampulnya berwarna hitam dengan gambar ayam jantan emas dan ada tulisan a bantam book. Kegiatan ngangsu kaweruh di UNIDA Gontor berkesan. Cuplikan pesan dan kesan saya utarakan dalam kalimat berikut:
“….Memorable moment, we can think about spirituality from the Islamic philosophers and all muslim scholars, exampli gratia: Avicenna/Ibnu Sina, Averous/Ibnu Rusyd, Al-Khawarizmi, the creator of plane ‘Abas bin Firnas’, Maulana Jalaluddin Rumi, the author of Misykat Al Anwar ‘Imam Ghazali’, and the writer Misykat from Gontor ‘Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmy Zarkasy, and others. Very very excellent….We trust in UNIDA will produce the young muslim scholars. Ulama’ with the high intellectual, not intellectual only know Islamic religion.…”
Selain itu, juga ada Central Islamic Occidental Studies (CIOS) yang digunakan untuk melakukan kritik terhadap orientalis seperti Ustadz Snouck Hurgonje wa bil khusus ihwal Islam. Selain kaya dengan karya tulis berbahasa Arab atau karya ulama-ulama timur tengah, juga ada karya nabinya orang-orang sosialisme (ilmiah) Karl Marx, karya klasik Adam Smith Welfare State, kitab Sirah Nabawiyah, Al-Qur’an and hadith studies, dan lain sebagainya.
Antara Timur dan Barat
Dalam buku Misykat karya Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (Gus Hamid), ada tamsil yang menarik, “Matahari terbit dari timur dan tenggelam di Barat”. Gus Hamid menuliskan refleksi yang sederhana namun kaya akan ibrah, ihwal westernisasi, liberalisasi, dan Islam.
Salah satu murid beliau (A.M. Muhammad) memberi penjelasan kepad saya, kalau buku itu terinspirasi dari karya ulama ensiklopedis Imam Ghazali yang bertajuk Misykat Al-Anwar. Ditengah gempuran pemikiran dan budaya-budaya Barat (pluralisme, liberalisme, humanisme, feminisme, demokrasi, human rights, truth, dan lain sebagainya), dan mungkin sebagian dari kita bangga ketika menyebut Sartre, Nietszche yang cengeng (meminjam istilah Gus Hamid), Hegel, dan lain sebagainya. Dan plonga-plongo ketika ditanya nama rayon Averous, wqwqwq.
Namun kritik yang dilakukan Gus Hamid terhadap budaya Barat yang tidak teologis, dituliskan dengan elegan, kritik intelektual yang mencerahkan. Gus Hamid juga menuliskan tentang kehebatan intelektual muslim pada waktu itu seperti Averous, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan lain sebagainya. Dan sisi historis dari filsafat.
“In this framework, therefore, Greek philosophy is not deemed as the origin of Islamic philosophy, but it is borrowed concepts, theories and methodologies by which Muslims could develop their own philosophy based on their worldview.,”[1]
Dari buku tersebut, banyak belajar, banyak ibrah/pelajaran. Khususnya mengenai geneaologi ilmu, bagaimana perdebatan teori-teori di kalangan cendikiawan Barat, peradaban Barat menguasai dunia, dan juga pengalaman reflektif Gus Hamid ketika menghadiri berbagai forum dan mengajar di universitas benua biru. Barat bukan Kristen, orang Barat sendiri juga ada yang alergi dengan agama. Mengapa religion studies? Bukan Islamic studies? Dan setelah membaca buku Misykat dari Gontor itu membuat kepala saya agak pusing, dan juga mengingatkan (kembali) bahwasanya saya belum tahu apa-apa, harus banyak belajar lagi dan lagi.
Jika beriman pada Tuhan adalah fitrah semua insan, maka ketika Nietszche membunuh Tuhan -dalam hati dan pikirannya- sejatinya ia telah membunuh fitrahnya sendiri. Jadi Nietszche benar-benar telah melakukan bunuh diri spiritual, spiritual suicide.[2] Banyak sekali ibrah, tetapi saya tidak ingin menuliskan semuanya. Saya ingin menarik ke pengalaman reflektif, dari beberapa orang yang pernah saya temui, memberikan pesan penting untuk menelisik kata dari sumber wa bil khusus di dunia akademik, geneaologi atau sanad keilmuan, dan juga menyimak politisasi dan perdebatan ilmu di antara cendekiawan. Pesan itu, saya peroleh dari Kang Penk, Alm. GWR, dan Gus Hamid (melalui tulisan di Misykat).
Di kesempatan lain, dalam ceramah di Gontor TV, Gus Hamid juga menjelaskan mengenai kehebatan ulama-ulama dari Indonesia seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Khatib Al-Minangkabawi, Kiai Ahmad Dahlan, Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari, dan lain sebagainya. Tradisi intelektual ulama di Indonesia pada waktu itu sangat tinggi, namun di era yang serba canggih ini, mengalami penurunan, salah satu di antaranya karena budaya literasi wa bil khusus (membaca buku/kitab) rendah. Tentu berbeda antara membaca melalui serpihan pemikiran di media sosial dengan membaca buku/kitab versi cetak cum tidak bajakan alias asli, Nabs.
Seyogianya lebih banyak membaca buku, khususnya mengenai buku-buku ilmu pengetahuan yang bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena semakin tinggi kecerdasan seseorang, seyogianya semakin mendekatkan diri kepeda Tuhan. Dan benar apa kata Sutan Ibrahim alias Tan Malaka, “Belajar dari Barat namun jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas”.
The Origin of Nahdliyin and Muhammadiyin
“Yogi, what do you think about Nahdlatul Ulama (NU) today? Under Gus Yahya Cholil Staquf. I can see, you are the origin of Nahdliyin?”
“Oh, No..I don’t agree about the origin of Nahdliyin. I am only student or santri, hahaha.”
Nabs, dialog di atas merupakan cuplikan ketika melakukan diskusi pagi bersama murid Gus Hamid yakni A.M. Muhammad. Sela-sela ngaji, biasanya kami berdiskusi ihwal ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Ada yang menarik dari istilah A.M. Muhammad, yakni the origin of Nahdliyin. Langsung, dalam pikiran saya juga terbesit the origin of Muhammadiyin, wqwq.
Karena A.M. Muhammad merupakan aktivis Muhammadiyah dari Ambulu (Jember) yang kebetulan sedang menjadi mahasiswa, menempuh program studi Ekonomi Islam di UNIDA. Namun saya tidak setuju dengan klasifikasi itu; the origin of Nahdliyin dan the origin of Muhammadiyin. Karena takutnya, nanti memunculkan potensi disintegrasi dan juga stigma antara anggota organisasi yang asli (origin) atau sebaliknya alias palsu.
Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada A.M. Muhammad, karena telah memberikan penjelasan mengenai sebuah tempat yang konon digunakan Haji Oemar Said Tjokroaminoto untuk bertafakur. Tempat tersebut juga menjadi langganan Gontorian ketika ingin berdzikir, mengkonsep acara Panggung Gembira (PG), diskusi, dan lain sebagainya. Tempatnya di Tegalsari. Dekat dengan makam Ki Ageng Besari. Sayang, saya belum bisa pergi ke sana, namun ada iktikad untuk pergi ke sana dengan menggunakan sepeda motor.
Mencoba lewat Ngawi dan berziarah di makam pejuang buruh ‘Marsinah’, kemudian menuju wilayah Tegalsari, Ponorogo. Dan juga tidak lupa untuk bertemu (lagi) dengan A.M. Muhammad sebelum dia melanjutkan studi program magister ke Malaysia.
A.M. Muhammad, lain sisi ingin ngetes dan melakukan dekonstruksi, terhadap pemikiran-pemikiran pluralisme, toleransi, dan feminisme. Saya sudah membaca gelagatnya, wqwq. Namun saya tidak ambil pusing, saya coba tarik ke sejarah. Karena dalam buku Jess Melvin yang bertajuk Berkas Genosida Indonesia, menyebutkan bahwa Masyumi menerima segelontoran dana global dari Amerika Serikat (AS) untuk melawan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mendukung Sukarno maupun PKI yang sedang tumbuh.
Bahan historis, dan bekal ngangsu kaweruh di Guratjaga, nampaknya cukup untuk melakukan tanding wacana atawa ghazwul fikr bersama A.M. Muhammad atau mungkin dengan orang-orang luaran sana yang kurang simpati dengan NU. Apalagi kalau ditarik ke imaterialisme, A.M. Muhammad mencoba mencari topik lain, namun pertemuan dengannya amat berkesan.
Memberikan pandangan langin tentang pluralisme, toleransi, dan feminisme. Dia merekomendasikan buku-buku kritik westernisasi seperti karya Gus Hamid, saya merekomendasikannya buku karya ekonom Marxis asal Mesir ‘Samir Amin’ yang melakukan kritik terhadap westernisasi (globalisasi). Juga tidak lupa untuk menarik wacana ke Ashnaf (kelompok) umat Islam menurut cendekiawan NU ‘Muhammad Al Fayyadl’. Dimana ada tiga kelompok umat Isalam, pertama, yang menjalankan Islam sebagai ritual, kedua, yang menjalankan Islam sebagai etika sosial, dan ketiga, yang menjalankan Islam sebagai pembebasan sosial. Yang ketiga, di PMDG jarang, atau mungkin kawan-kawan PMDG wa bil khusus A.M. Muhammad memiliki indikator atau pemahaman lain ihwal pembebasan sosial? Wallahu a’lam bishawab.
Perlu diketahui, perdebatan intelektual di kalangan NU juga menarik. Seperti Muhammad Al-Fayyadl (Gus Fayyadl) yang tidak setuju dengan konsep Islam Liberal Gus Ulil, dan juga melakukan kritik ala nahdliyin saat menghadapi tanda tanya sikap Kiai Maimun Zubair yang cenderung berubah-ubah ketika menyikapi pendirian pabrik semen di Jawa Tengah. Sebuah masukan yang sopan, dan berdasar kitab dan juga kondisi lapangan pada waktu itu.
Pada konflik Wadas, Muhammadiyah dengan tegas menolak dan gerak cepat (gercep) dengan membuat surat penolakan penambangan di Wadas. Hal tersebut patut diapresiasi, namun secara historis, pernah pada suatu masa Muhammadiyah mencoba di posisi aman karena dekat dengan penguasa, dan NU (era Gus Dur muda) sebaliknya. Di tahun 2022 sebaliknya, Muhammadiyah lebih kritis ke penguasa dan NU lebih dekat dengan penguasa. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadi (berulang) di tahun-tahun depan. Jadi jangan kaget, biasa saja. Seng penting, A Luta Continua! Katah dalan nuju Roma!
Dari Ponorogo Hingga Guratjaga, Sebuah Imaterialisme yang Mengandung Tanda Tanya
Malam hari saya bertolak dari Ponorogo menuju Bojonegoro. Dari terminal Ponorogo menuju Purabaya. Di Purabaya sahur. Mengingat saya gampang tidur dan agak susah dibangunkan dan bus pagi pukul 06.00 WIB, maka dari itu saya memilih meneruskan safar/perjalanan ke Terminal Oso Wilangon (TOW). Naik ojek daring, dari Terminal Purabaya ke TOW. Sampai di TOW, pagi masih dini. Suasana sunyi, namun sesekali terdengar seuara ngo-rock di tempat tunggu penumpang. Pengindah pagi yang masih dini.
Tiba-tiba, ada seorang kakek tua dengan pakaian khas santri, katanya baru ngaji dari Malang. Kakek tua itu membawa kitab Hikam. Sembari melihat-lihat kitab Hikam yang sudah ada maknanya. Saya sedang main game daring, karena pembicaraan dengan kakek misterius itu saya rasa lebih menarik, maka saya berhenti main game daring dan coba ngobrol dengan beliau.
Teringat dalam pikiran beberapa kata yang beliau sebut; Mbah Jamal, Temboro, dan Maulana Ishaq. Dan yang membikin saya agak tercengang, katanya, konon Maulana Ishaq yang dakwah di Gresik itu tidak meninggal dunia di Gresik. Melainkan di tempat lain, beliau bilang kalau ba’da ashar Maulana Ishaq pamitan untuk kembali ke Pasai.
Kemudian, saya ingin buang air kecil, dan setelah kembali, kakek yang mengaku dari daerah Bungah (Gresik) itu, sudah tidak ada. Kemudian, bus dari Bojonegoro tiba di TOW. Bus pertama, dan saya bergegas menuju bus untuk melanjutkan perjalanan pulang menuju kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi.
Banyak ibrah yang saya peroleh setelah ngangsu kaweruh di Ponorogo, dan Guratjaga menjadi tempat mengabadikan dan berbagi cerita. Mungkin, kalau tidak ada Guratjaga, serpihan kisah-kisah hanya sekadar status WA yang kapan-kapan bisa hilang. Ada kaitan menarik dari kalimat salah satu di antara Trimurti Gontor dengan Guratjaga dan khususnya untuk jomlo yang gemar jihad tholabul ilmi.
Imam Besar Jurnaba, biasanya menuliskannya. Konsep 1 murid jadi 1000, yaitu dari K.H. Imam Zarkasyi, “Andaikata muridku tinggal satu, akan tetap kuajar, yang satu ini sama dengan seribu, kalaupun yang satu ini tidak ada, aku akan mengajar dunia dengan pena”. Kualitas lebih utama, dari pada kuantitas. Namun kalau bisa unggul kedua-duanya, kualitas oke dan kuantitas juga oke, itu lebih baik.
Selain itu, mutiara hikmah yang sering dipakai orang-orang silat. Padahal, konteksnya, bukan untuk jihad fisik saja, melainkan jihad keilmuan. Dan amat sangat cocok dibuat pegangan jomlo atawa muslim scholars yang sedang ngangsu kaweruh di berbagai penjuru bumi. Yaitu kalimat dari K.H. Ahmad Sahal, “Satrio pinandhito, sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji-aji, menang tanpo ngasorake.” Setelah saya cari-cari di media internet, kalimat tersebut bersumber dari Sosrokartono (alumnus Universiteit Leiden cum saudara R.A. Kartini), dan mungkin, Sosrokartono ada hubungan keluarga dengan keluarga Gontor. Kalau ditarik ke atas lagi, keluarga Gontor merupakan keturunan dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidyatullah).
Dan saya akan mengakhiri tulisan ini, dengan filosofi air mancur (The Fountain of Wisdom) dan percik hikmah dari K.H. R. Zainuddin Fananine, “Asas pendidikan dalam rumah tangga ialah kesayangan dan kecintaan. Asas hidup di dunia pergaulan umum ialah keadilan dan kebenaran”.
Air mancur, sumber ilmu dan pengetahuan yang diciptakan atau diupayakan, tidak jadi begitu saja secara abrakadabra dan cilukbaaa. Melainkan dengan usaha dan do’a. Kalimat pertama dalam kumpulan kata-kata indah yang diterbitkan PMDG adalah “Man Jadda wa Jadda”.
Nabs, emm..mengapa air mancur? Kok bukan air terjun? Kalau misal air terjun, biasanya terjadi karena faktor alam, bukan buatan. Kalau dikontekstualisasikan dengan PMDG, dulu Gontor merupakan tempat yang kotor dan semangat Trimurti ibarat air mancur kearifan, dengan usaha dan do’a menjelma sebagai misykat di tengah temaram peradaban. Maka tidak diragukan lagi, kualitas Gontorian seperti Kiai Idham Chalid, Kiai Hasyim Muzadi, Din Syamsudin, dan lain sebagainya, dalam memberikan kontribusi untuk agama, nusa, dan bangsa Indonesia. PMDG bak air mancur yang dibuat untuk melakukan regenerasi (siklus air mancur) dari masa ke masa, agar Gontorian mampu menjawab tantangan zaman.
Dan ada satu hal yang masih terngiang dalam pikiran hingga sekarang, pertanyaan dari Kiai Sahal di waktu sore (18 Ramadhan 1443 H), mengingat kata peradaban sekarang menjadi pasaran, kerap digunakan sebagai tema harlah, acara, diskusi, dan lain sebagainya. Lantas, apakah Anda beradab? Dan peradaban yang model apa yang akan Anda bangun?
Lal salaam!
Catatan Kaki
[1] Zarkasyi, Hamid Fahmy, A New Framework for the Study of Islamic Philosophy (A Worldview Approach), UNIDA Press, Ponorogo, 2022, h. 54
[2] Zarkasyi, Hamid Fahmy, Misykat; Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam 1, INSISTS-MIUMI, Jakarta, 2012, h. 70