Alat kedokteran kian modern, prosedur operasi kian canggih, obat dan terapi semakin banyak pilihan. Namun problem kemanusian tetaplah sama. Merasa kian terasing dengan dunianya.
Jika Anda seorang tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat) dan bekerja di puskesmas atau fasilitas kesehatan pedesaan, dua jam perjalanan jauhnya hanya untuk mendapatkan listrik, atau ke rumah sakit rujukan terdekat, apa yang Anda kerjakan untuk menolong seseorang yang dalam keadaan darurat?
Kumpulan cerita pendek A Country Doctor’s Notebook karangan Mikhail Bulgakov mengilustrasikan keadaan di atas. Bulgakov adalah satu di antara sedikit penulis yang punya latar belakang profesi dokter.
The Steel Windpipe adalah cerita tentang seorang gadis yang tenggorokannya penuh dengan sumbatan dahak dan satu-satunya pertolongan agar ia tetap hidup adalah melakukan trakeotomi. Prosedur bedah yang melubangi tenggorokan dan memasanginya dengan selang trakeotomi/nafas.
Kisah tentang gadis penderita difteri ini sejak awal terasa mencekam. Di tengah musim dingin, rumah sakit pedesaan yang hanya memiliki staff terbatas harus melakukan operasi dengan cepat untuk menyelamatkan jiwa seorang gadis kecil putri seorang petani.
Operasi itu harus segera dikerjakan setelah mendapatkan persetujuan orang tuanya, dan meyakinkan keluarga petani awam untuk membedah tenggorokan putri mereka jelas tak mudah.
Masalahnya juga si dokter tak begitu yakin bisa melakukannya, karena ia sama sekali tak punya pengalaman sebelumnya. Yang ia punya hanyalah buku-buku panduan bedah dasar yang tergeletak di meja praktiknya, salah satunya tentang trakeotomi.
Pada akhirnya, tim bedah rumah sakit pedesaan itu berhasil. Selang terpasang di tenggorokan dan di tempat semestinya setelah pisau bedah menggorok leher. Anak gadis itu bisa melewati masa kritis dan pulang setelah beberapa hari.
Sedang Morphine adalah cerita panjang tentang dokter yang memiliki kecanduan. Di lokasi yang masih sama, pedesaan. Dokter baru datang menggantikan praktik kolega lamanya.
Sehabis memeriksa pasien di sore hari dan akan istirahat, ia merasakan nyeri perut. Ia tak mampu menahannya. Dokter itu memanggil perawat dan minta disuntikkan morphine. Nyeri itu hilang dan ia merasa nyaman. Setelahnya ia terus menerus mencari kenyamanan itu dengan meningkatkan dosis morfin.
Ketika persediaan morfin di rumah sakitnya menipis ia menulis resep dan minta mencarikannya ke rumah sakit sekitar. Sampai kemudian ia ketahuan menjadi pecandu dan diminta pergi ke seorang dokter ahli jiwa untuk mendapatkan perawatan.
Terapi dokter jiwa itu tak cukup menyembuhkan. Kecanduannya kambuh lagi dan dosis morfin yang ia gunakan kian meningkat. Ia kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain, toh hal ini juga tak menghalanginya menjadi pecandu.
Untuk mendapatkan morfin ia pergi sendiri ke apotek, menulis resep dan menyatakan bahwa ia punya penyakit rematik parah dan sangat membutuhkannya.
Hingga kemudian dokter ini sadar bahwa ia hanya punya seorang lagi yang bisa memberikannya morfin. Ia tulis surat pada seorang kolega, meminta agar dia dijenguk dengan membawa resep yang diharapkan.
Sebelum kolega itu datang, ia menarik pelatuk pistol ke tubuhnya. Ia ambruk di depan ruang gawat darurat tempat koleganya akan berangkat menemuinya esok hari. Dari tangannya ia menyerahkan buku harian.
Suasana mencekam. Itulah kesan pertama kali ketika membaca The Steel Windpipe. Anda bisa bayangkan agar bisa tetap hidup, sebagai orang tua Anda harus menerima anak gadis anda lehernya akan dibolongi di atas meja operasi.
“I’ll have to cut open her throat near the bottom of her neck and put in a silver pipe so that she can breathe, and then maybe we can save her”
Bukan oleh dokter ahli melainkan dokter umum satu-satunya yang Anda bisa temui. Bukan oleh dokter umum yang pernah berhasil melakukan prosedurnya secara sukses, bahkan tidak pernah melihatnya satu kalipun selama sekolah kedokteran. Ingat cerita ini dibuat tahun 1917 di mana akses pengetahuan yang ada hanya buku referensi kuliah, bukan video yang berserakan di youtube.
” I rushed to my room and, counting the minutes, grabbed a book, leafed through it and found an illustration of a tracheotomy “
Suasana kian mengerikan. Dokter yang akan melakukan operasi tak yakin. Pada sabetan pisau pertama di atas tenggorokan itu yang keluar hanya darah. Ia tak menemukan tulang rawan tempat selang bisa dimasukkan.
Kadung banjir darah ia teruskan tindakannya. Keringat dingin menetes di kening si dokter. Ia mengingat lagi buku panduan melakukan trakeotomi. Berusaha sekali lagi. Kini pisaunya baru berhasil membuat lubang.
I went cold and my forehead broke out in a sweat. I bitterly regretted having studied medicine and having landed myself in this wilderness.
Pada akhirnya cerita itu menyiratkan bahwa keyakinan itu penting. Dengan itu tim bedah kecil mampu melakukan kerja sama yang baik. Juga bahwa menjadi dokter atau tenaga kesehatan mewajibkan untuk terus belajar menghadapi kejadian yang tak terduga, tak dipelajari atau dikerjakan sebelumnya.
Selain hal di atas, cerita itu juga menyuguhkan bagaimana kemudian seorang dokter membangun reputasi dan trust pada masyarakat. Satu tindakan penyelamatan nyawa dan orang akan terus menceritankannya.
Sebagai cerita yang ditulis pada dekade awal abad duapuluh, saya menikmatinya sebagai sejarah patologi Bulgakov. Ya, sejarah penyakit dan bagaimana tenaga kesehatan pada saat itu memberikan penanganan yang tentu saja sangat berbeda dengan masa sekarang.
Morphine di sisi lain dipercaya sebagai kisah nyata penulisnya sendiri, Bulgakov. Ia seorang pecandu. Namun tak sampai bunuh diri. Bulgakov hanya pelan-pelan menyingkir dari praktik kedokteran dan menjadi penulis.
Alat kedokteran kian modern, prosedur operasi kian canggih, obat dan terapi semakin banyak pilihan. Namun problem kemanusian tetaplah sama. Merasa kian terasing dengan dunianya.