Hatta lahir dari dua kultur utama: pedagang dan pemuka agama. Dua kultur ini jadi fondasi kepribadian Hatta yang kosmopolit, terbuka, modern, tapi tetap memegang teguh prinsip dan nilai-nilai agama.
Bertepatan hari ini 12 Agustus, 118 tahun lalu, lahir seorang bayi laki-laki di Desa Aur Tajungkang Bukittinggi. Bayi ini diberi nama Mohammad Athar. Athar berarti harum.
Namun karena kesulitan penyebutan “athar” oleh orang-orang di sekitarnya, panggilannya menjadi “atta” atau “hatta”. Kini orang mengenalnya dengan nama: Mohammad Hatta.
Sebagaimana namanya, sebuah cita-cita disematkan agar bayi laki-laki ini kelak menjadi pribadi yang harum namanya, sesuai yang dicita-citakan, menjadi seorang ahli agama yang akan menuntun masyarakat ke jalan agama.
Siti Saleha, ibundanya, adalah seorang putri dari seorang saudagar terpandang di Bukittinggi dan Minangkabau. Ayahnya, Mohammad Djamil juga seorang saudagar. Mohammad Djamil semula digadang-gadang untuk menjadi ulama menggantikan ayahnya, Syekh Abbdurrahman.
Saat Hatta berusia 8 bulan, Mohammad Djamil wafat. Ibundanya menikah lagi dengan Haji Ning, saudagar asal Palembang.
Syekh Abdurrahman terkenal pula sebagai Syekh Batuhampar, seorang ulama tarekat terpandang di Minangkabau. Menurut sebuah laporan yang diterbitkan pemerintah Belanda akhir abad ke-19, surau tempat kakeknya adalah pusat pendidikan Islam terkemuka di Minangkabau. Jika orang hendak belajar Al-Qur’an, mereka harus datang ke surau di Batu Hampar ini.
Latar belakang ini menunjukkan bahwa Bung Hatta lahir dari dua kultur utama: pedagang dan pemuka agama. Dua kultur ini menjadi fondasi kepribadian Hatta yang kosmopolit, terbuka, modern, namun tetap memegang teguh prinsip dan nilai-nilai agama.
Hatta adalah satu-satunya laki-laki di antara enam bersaudara. Sebagai satu-satunya laki-laki yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga, Hatta amat diperhatikan dan dijaga oleh kakek dan neneknya.
Karena alasan ini, Hatta dilarang bermain sepakbola karena takut patah kaki, dilarang berenang di sungai karena takut tenggelam. Hatta pernah dihukum kakek dan neneknya karena ketahuan berenang di sungai dan bermain sepakbola dengan berdiri di bawah pohon depan rumah pagi sampai siang terik.
Sepakbola begitu amat disukai Hatta. Hatta kecil kerap membuat mainan miniatur lapangan bola, “Sedangkan pemain-pemainnya dibuat dari gabus yang dibebani dengan timah. Bola, dibuatnya dari manik bundar. Hatta memainkan sendiri permainan sepakbola itu dengan asyiknya,” terang Rafiah, kakak Hatta.
Bermain kapal-kapalan juga menjadi permainan kesukaan Hatta. “Pada suatu kali, ketika pulang sekolah Hatta mengajak saya sama-sama berkapal-kapalan…. Di suruhnya saya mengambil sabut kerambil ke dapur dan dia sendiri menyediakan minyak tanah dan korek api,” kenang Rasjid Manggis, kawan kecil Hatta.
Baik keluarga Hatta di pihak ibu di Bukittinggi, maupun keluarga ayah di Batuhampar telah memiliki kesepakatan bahwa kelak Hatta akan bermukim di Makkah untuk kemudian pergi ke Mesir untuk menuntut ilmu agama di Al-Azhar Kairo.
Demikian, jalur pendidikan Hatta telah direncanakan. Meski pada akhirnya, seperti kata Paman Hatta, Syekh Arsjad, “Ikhtiar dijalani namun takdir menyudahi.”
Begini ceritanya. Saat Hatta berusia enam tahun, Kakek Hatta, akan ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sesuai kesepakatan kedua pihak keluarga, Hatta akan diajak serta ke Makkah.
Di Makkah Hatta akan bermukim sementara waktu bersama Haji Nurdin (adik Mohammad Djamil). Setelah beberapa waktu, Hatta akan menuju Mesir belajar di Al-Azhar.
Ibunda Hatta, Siti Saleha, merasa kasihan dan iba. Hatta yang saat itu berusia enam tahun dinilainya masih terlalu kecil untuk ikut ke Makkah. Atas dasar inilah, maka Hatta batal pergi ke Makkah. Dan seterusnya, Hatta tidak belajar ke Mesir, melainkan Belanda.
Meski cita-cita menjadi ahli agama dengan ikhtiar belajar ke al-Azhar tidak tertunaikan, berganti menjadi ahli ekonomi dari Belanda, namun nama harum Bung Hatta tetap dikenang oleh anak-cucu sebangsa Indonesia.
Sejak kecil, oleh orang-orang tua di Bukittinggi, Hatta disebut dengan julukan cie pamaenan mato. Yang berarti anak yang pada dirinya terpendam kebaikan, dan perangainya mudah kasih sayang.
Benar sekali: ikhtiar dijalani, takdir menyudahi. Takdir Hatta, namanya senantiasa harum, sebagai pribadi juga sebagai tokoh bangsa. Ia telah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar membawa umat dan bangsa ke arah Indonesia merdeka.