Sejatinya, cangkir tidak pernah memengaruhi kualitas kopi.
“Saya tahu kondisi sebenarnya Mas Rofi’. Rumah dia sederhana dan sebagai penulis dia gak punya banyak duit.” Demikian ucap seorang sahabat dalam sebuah acara halal bi halal. Beberapa waktu yang lalu. Memang, rumah yang saya tempati bersama istri, sejak 2008, dapat dikatakan rumah yang sederhana.
Namun, bagi kami, kegiatan dan kehidupan kami di rumah yang sederhana itu justru merupakan kegiatan dan kehidupan yang sarat barakah.
Lo?
Ya, rumah yang sarat barakah. Di rumah yang sederhana itulah lahir cikal bakal Pesantren Nun dan Sekolah Alam Gaharu yang kita rancang dan kembangkan. Juga, di rumah itu pula Allah Swt. mengaruniakan kesempatan kepada saya untuk menulis puluhan buku. Alhamdulillah wasy Syukrulillah.
Ketika mendengar ucapan sahabat saya yang demikian, tiba-tiba saya teringat kisah seorang profesor dan beberapa tamunya. Suatu hari profesor tersebut kedatangan beberapa tamu. Ia lalu menawari tamu-tamunya kopi.
Sang professor kemudian melangkah ke dapur dan kembali dengan membawa poci besar berisi kopi hangat dan cangkir berbagai jenis: dari porselin, plastik, gelas, kristal, gelas biasa. Beberapa di antaranya gelas mahal dan beberapa lainnya sangat indah.
Sang profesor kemudian mengatakan kepada para tamunya untuk menuang sendiri kopinya.
Setelah semua tamu mendapat secangkir kopi di tangan, professor itu mengatakan, “Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah diambil. Yang tertinggal hanyalah gelas biasa dan yang murah saja. Meskipun normal bagi kalian untuk menginginkan hanya yang terbaik bagi diri kalian, tapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah dan stress yang kalian alami.
Sejatinya, cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi. Dalam banyak kasus, itu hanya lebih mahal dan dalam beberapa kasus malah menyembunyikan apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah kopi, bukan cangkirnya. Namun, kalian secara sadar mengambil cangkir terbaik dan kemudian mulai memperhatikan cangkir orang lain.
Kini, perhatikan hal ini: kehidupan itu bagaikan kopi. Sedangkan pekerjaan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir bagaikan alat untuk memegang dan mengisi kehidupan. Jenis cangkir yang kita miliki tidak mendefinisikan atau juga mengganti kualitas kehidupan yang kita hidupi. Kerap kali, karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk menikmati kopi yang Tuhan sediakan bagi kita.
Tuhan membuat kopi. Bukan cangkirnya. Jadi nikmatilah kopinya, bukan cangkirnya. Dengan kata lain, ‘jadikanlah kualitas kehidupan yang kita jalani dan nikmati lebih penting ketimbang rumah (alias cangkir) yang kita tinggali.'”
Sugeng dalu. Selamat menikmati kopi hangat, nggih.
Salam takzim.