Hakekat hukuman adalah memotivasi. Memotivasi untuk tidak mengulangi perbuatan atau memotivasi untuk lebih meningkatkan perbuatan.
Hidup memang tidak lepas dari perkara tetargetan. Gagal mengejar target dan menerima hukuman itu wajar. Tapi gagal mengejar target dan disuruh ngunyah terasi, saya kira, itu bukan sebuah hukuman. Itu nraktir maem yang kurang kaffah.
Dulu waktu kecil, saya suka ngunyah terasi, maem garam dan lari-lari. Tapi saya tidak suka dihukum. Sebab untuk ngunyah terasi, maem garam dan lari-lari, tanpa disuruh pun akan saya lakukan. Terlebih itu giat menyenangkan bagi saya.
Tapi kalau disuruh-suruh dan menjadi akibat formal dari sebuah kegagalan, tentu saya tidak mau melakukannya. Sebab, se-menyehatkan dan se-menyenangkan apapun sebuah kegiatan, jika diorientasikan pada hukuman, rasanya tentu berbeda.
Seorang pekerja berbasis target memang dinilai dari capaian targetnya. Jika target tercapai, bakal dapat tepuk tangan (saja). Tapi, jika target tidak tercapai, mendapat hukuman (biasanya) sebuah keniscayaan. Sayangnya, banyak yang belum paham hakikat hukuman.
Jika hukuman didasarkan dari perilaku kejahatan, tentu harus menyakitkan dan berbasis rasa tersiksa. Tujuannya, memotivasi agar si pelaku tidak mengulangi kejahatannya lagi.
Tapi, jika hukuman didasarkan dari target yang meleset, cara menghukumnya pun beda. Bukan berbasis rasa tersiksa, tapi berbasis rasa semangat. Sehingga, mampu memotivasi si karyawan untuk lebih giat bekerja.
Oke, begini analoginya. Jika seorang karyawan tidak mampu mencapai target sasaran — dan diberi hukuman berbasis rasa tersiksa — yang terjadi adalah: karyawan tersebut bakal menurunkan capaian. Sebab, itu memotivasi si karyawan untuk tidak mengulangi apa yang ia capai sebelumnya — alih-alih mencapai target yang seharusnya.
Tapi, Jika seorang karyawan tidak mampu mencapai target sasaran — dan diberi hukuman berbasis rasa semangat — yang terjadi adalah: karyawan tersebut bakal lebih meningkatkan capaian. Sebab, itu memotivasi agar karyawan lebih giat bekerja.
Hukuman berbasis rasa semangat. Sangat banyak macamnya. Ditraktir maem tempe penyet beserta sambal terasi atau diajak rekreasi adalah sedikit di antara banyak jenis hukuman berbasis rasa semangat.
Kasus sales Oppo di Tuban yang sempat ramai dibicarakan gara-gara dihukum dengan cara maem terasi dan lari-lari, tentu menunjukkan bahwa si atasan tidak paham dan salah menerapkan metode dan makna hukuman.
Yang seharusnya menerapkan hukuman berbasis rasa semangat. Justru menggunakan hukuman berbasis rasa tersiksa — yakni dengan ngunyah terasi dan lari-lari. Bagi mereka yang tidak doyan maem terasi atau tidak biasa lari-lari, bukankah itu menyiksa?
Nah, daripada dihukum dengan cara maem terasi dan lari-lari, kenapa tidak dikaffah-kan sekalian hukumannya dengan cara maem tempe penyet sambal terasi, setelah itu diajak lari-lari ngejar bus untuk rekreasi. Itu bakal lebih nikmat dan lebih memotivasi.
Kalau saya sendiri, maem terasi itu hobi sih. Daripada maem nasi putih sama kecap, saya lebih suka maem nasi putih sama gorengan terasi. Sebab, nasi putih lebih cocok dipasangkan pada sesuatu yang gurih. Bukan yang manis.
Nabs, ingat. Hakekat hukuman adalah memotivasi. Memotivasi untuk tidak mengulangi perbuatan atau memotivasi untuk lebih meningkatkan perbuatan.