Di tiap fase episode usia, coretan di meja selalu bisa gambarkan berbagai macam cerita. Dari yang absurd hingga filosofis.
Salah satu di antara banyak hal yang dirindu ketika pandemi ialah belajar di ruang kelas bersama guru dan kawan-kawan. Dan ketika di kampus, sekolahan, atau warung kopi pasti ada yang namanya “meja”.
Berikut bukan kisah kasih di sekolah, melainkan kisah di balik coretan pada meja dan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan itu.
Sedangkal pengetahuan saya, bagi yang suka corat-coret pada tempatnya plus menghasilkan dolar, hal tersebut amat sangat menyenangkan.
Ketika masa kecil, yang belum begitu tahu tentang norma-norma yang berlaku di masyarakat maupun dalam lingkup kecil (keluarga), corat-coret merupakan aktivitas yang erat kaitannya dengan anak-anak. Beranjak dewasa, corat-coret biasanya di kertas. Bagi pelukis, corat-coretnya di kanvas.
Nabs, kira-kira, apa yang terbersit dalam pikiran ketika mendengar atau melihat beragam bentuk coretan di meja? Pernah nggak kamu melihat cecoret rincian hutang di sebuah meja yang ada di warkop? Atau pernah menuliskan segala sesuatu di meja sekolahan?
Sebelum ke situ, mari nostalgia ke masa kecil terlebih dahulu yuk.
Mungkin kamu pernah melihat, seorang anak kecil yang suka corat-coret di mana pun berada. Entah ketika berada di ruang kelas, meja belajar, ruang tamu, kamar, dan lain sebagainya. Coretan-coretan yang ada di rumah maupun di sekolah, atau di manapun itu, hal tersebut menandakan eksistensi makhluk Tuhan.
Coretan pada meja di Taman Kanak-Kanak (TK), bagi orang dewasa, wabilkhusus guru pendamping, mungkin dianggap sebagai tingkah laku yang memperoleh bintang satu. Namun bagi orang-orang yang sayang dan memahami psikologi anak, hal itu sebuah seni yang pantas mendapat bintang lima.
Lha, kok bisa? Coretan di meja maupun bangku TK, ibarat sebagai dasar-dasar kehidupan. Ada yang berupa titik, garis lurus, lingkaran, segitiga, persegi, hingga bentuk-bentuk yang absurd. Titik kecil yang berada di meja, secara lahiriah sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Secara batiniah, tersirat ibrah bahwa kehidupan dimulai dari titik.
Coba ambil kertas putih kemudian bubuhkan titik di kertas putih dengan menggunakan spidol hitam. Apa yang kamu lihat? Apakah kamu hanya melihat titik hitam yang menyerupai tanda lahir atau toh (bahasa Jawa). Atau kamu lebih melihat kepada kertas putih, selain tanda titik hitam?
Apa yang kamu lihat dan cerna memberikan gambaran bagaimana memandang kehidupan. Memberi makna apa saja yang bisa dilihat maupun dirasakan oleh panca indera. Begitupun dengan coretan yang ada di meja TK. Coretan dasar-dasar kehidupan; titik, garis, lingkaran, dan lain-lain.
Lepas dari TK, coretan di meja anak-anak sekolah dasar juga memiliki karakteristik. Dan berbeda dengan coretan anak TK. Berbeda juga dengan coretan di meja ala anak-anak yang tidak pernah mengenakan seragam putih merah melainkan putih hijau atau anak Madrasah Ibtidaiyah (MI).
Coretan di bangku sekolah dasar atau sederajat, mungkin kalian akan menemukan angka-angka. Ada juga tanda “love” yang hanya dimaknai sebagai rasa suka dengan manusia. Tak jarang ketika ujian tiba, bisa jadi sebuah meja menjelma sebagai ensiklopedia, wqwqwq. Mulai dari rumus matematika, rumus (fotosinteis) IPA, rumus-rumus IPS (skala misalnya), dan sebagainya.
Di anak-anak MI, akan ditemui semacam “mural” dalam bahasa Arab. Mengingat dinamika sosial dan budaya mempengaruhi coretan yang ada di meja. Anak-anak MI memperoleh mata pelajaran bahasa Arab, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Fiqih, dan lain-lain. Coretan bernafaskan religi pasti bisa ditemui.
Meja anak SMP dan sederajat. Bagi kawan-kawan yang sedang ngangsu kaweruh di sebuah SMP/sederejat, coba kalau di sekolah, keliling ruang kelas dan perhatikan mejanya. Pasti kalian akan menemui coretan-coretan yang ada hubungannya dengan organisasi pencak silat. Ada coretan berbentuk hati bersinar, trisula, sebuah bentuk yang menyerupai huruf “Q”, dan sebagainya.
Beda lagi dengan coretan ala anak putih abu-abu. Coretan juga bisa digunakan untuk mengindentifikasi siapa yang mencorat-coret. Coretan anak IPA/MIA, mungkin tentang rumus-rumus yang berjibun. Coretan anak IPS/IIS, mungkin bagi yang sudah menjamah buku-buku Marxis, coretannya sebagai bentuk perlawanan, sebagai usaha indie nan berani cum kesembronoan ala Don Quixote De La Mancha.
Berbeda lagi coretan di meja ala anak agama. Huruf hijaiyah yang indah atau sekadar potongan syair-syair puisi Arab bisa kalian temui di beberapa meja yang ada di ruang kelas anak agama. Coretan di kelas anak bahasa, mungkin coretannya tentang potongan sajak romansa dari penyair lokal, nasional, hingga dunia.
Coretan di meja anak SMK, selain tentang romansa biasanya juga ada gambar-gambar yang menyerupai lingga dan yoni. Coretan anak SMK juga tergantung jurusan. Coretan maskulin, akan ditemui di teknik listrik, beton, dan lain-lain. Coretan feminin, akan ditemui di tata rias, boga, dan sebagainya.
Coretan di meja kampus mungkin lebih sedikit. Namun tidak menutup kemungkinan bisa lebih banyak dari tingkat pendidikan sebelumnya. Bagi jurusan seni rupa, perihal corat-coret merupakan suatu hal yang biasa. Bagi aktivis kampus, mungkin corat-coret di meja tentang quote Karl Marx, Che Guevara, dan bahkan gambar wajahnya.
Namun perlu digarisbawahi, tidak sepenuhnya tempat belajar menunjukkan coretan-coretan di meja. Hal itu tergantung saban individu.
Itulah, Nabs. kisah di balik coretan pada meja. Apakah kamu pernah menggoreskan pena, tipex, atau apapun itu di meja? Sila dijawab dalam sanubari saja, jangan di depan guru BK, wqwqwq. Apapun jawabannya, bukankah kita hidup bak burung dalam sangkar.
Setinggi apapun melompat ya tetap di sangkar. Mau mencorat-coret atau tidak itu pilihan. Ibarat burung dalam sangkar, mau makan pisang ya makan, minum ya minum, tidak bisa dipaksakan. Begitupun dengan saban orang, terdapat kelebihan dan kekurangan. Tinggal bagaimana kita, menjalani “seni memilih” dalam kehidupan, wasek.