Menurut penulis buku berjudul Rentang Kisah, Gita Savitri Devi berpikir kritis merupakan sebuah proses.
Whatsaap Group (WAG) cukup sering membuat jengkel. Terlebih WAG keluarga besar. Banyak share artikel bersliweran tanpa jelas jeluntrungan-nya. Ujungnya, satu-dua anggota grup eyel-eyelan.
Artikel sebaran WAG bisa sangat berbahaya. Terlebih jika itu berunsur hoax atau kebohongan. Tiwas eyel-eyelan sampai berantem, ternyata tidak benar. Rugi putus silaturahmi kan?
Sama halnya dengan media pemberitaan dan media sosial. Tetap saja potensi sebaran hoax terjadi. Arus informasi begitu deras. Ini peluang bagus untuk menebar propaganda dan terror.
Jurus jitu melawan hoax adalah dengan critical thinking. Gini aja, dalam Bahasa Indonesia artinya berpikir kritis. Bukan keadaan kritis seperti adegan di sinetron. Jangan gagal paham. Ini beda.
Critical thinking maksudnya berpikir secara kritis. Ini sudah sering dibahas para filsuf dan psikolog. Istilah lainnya yaitu reclective thinking. Pada 1910, seorang Educational Reformer asal Amerika Serikat, John Dewey mendedinisikan istilah tersebut.
“Reclective Thinking is an active, persistent and careful consideration of any belief or supposed form of knowledge in the light of the grounds that support it, and the further conclusions to which it ends.”
Menurut penulis buku berjudul Rentang Kisah, Gita Savitri Devi berpikir kritis merupakan sebuah proses. Melansir channel youtube miliknya, Gita berbagi alasan dan manfaat berpikir kritis (18/3).
1. Kebebasan dalam berpikir.
Kritis dalam berpikir membuat kamu merasa bebas. Terutama dalam membuat keputusan dan menentukan sikap. Keputusan yang kamu ambil adalah 100 persen milik kamu. Tanpa terpapar dan terintervensi kepentingan orang lain.
“Jadi kita melakukan sesuatu benar-benar atas keputusan kita sendiri,” kata perempuan yang kini tinggal di Jerman tersebut.
2. Percaya diri dengan opini dan pemikiran sendiri.
Kamu akan merasa yakin dengan opini kamu. Itu karena kamu percaya terhadap hasil pemikiran sendiri. Tentunya setelah mereduksi bias dari dalam diri. Misalnya suka atau tidak suka terhadap topik dan isu.
“Kita menjadi percaya diri dan yakin terhadap keputusan sendiri,” ucap youtuber tersebut.
3. Menjadi lebih open minded
Pikiran akan lebih terbuka. Sudut pandang terhadap isu semakin luas. Tidak terpenjara dalam kebebalan sehingga informasi yang diterima lebih banyak. Bisa jadi semakin bijaksana dalam merespon isu.
“Kita aware akan argumen atau ide lain yang sama-sama valid,” terangnya.
4. Meningkatkan kemampuan dan fungsi literasi
Literasi bukan hanya baca-tulis. Ini juga berhubungan dengan kemampuan seseorang. Terutama dalam menangkap dan melempar informasi. Berpikir kritis meminimalisir potensi gagal paham.
“Banyak orang bisa baca dan tulis, tapi yang masih rendah adalah functional literacy-nya. Untuk simple narative aja, banyak orang gagal paham, bahasanya,” jelas perempuan berhijab tersebut.
5. Terhindar dari manipulasi
Manipulasi informasi bisa kamu hindari. Misalnya hoax, pengalihan isu atau agenda setting media. Berpikir kritis akan membiasakan diri melakukan identifikasi informasi. Sehingga, bias yang ada bisa kamu kurangi seminimal mungkin.
Menghadapi arus informasi saat ini, berpikir kritis tentu diperlukan. Ini demi menghindari gagal paham. Ya agar tidak malu-maluin kalau salah, apalagi ditambah ngeyel. Jadi, kita bisa memilah mana yang benar, valid atau tidaknya informasi.