Memperkenalkan internet pada anak memang penting. Tapi, mengajak anak terbiasa baca buku jauh lebih penting demi kesiapan mental mereka memasuki dunia Internet di kemudian hari.
Kehadiran internet sebagai alat bantu manusia tentu sangat positif dan dibutuhkan. Namun, serupa apa saja yang ada di dunia ini, perkara amat baik pun berpotensi menjadi buruk.
Anak-anak usia sekolah dasar yang sudah akrab dengan gawai dan internet, amat rentan kecanduan game. Sialnya, kondisi itu berdampak pada perkembangan motorik halus anak tersebut.
Dampak Buruk Gawai dan Internet bagi Anak, secara tak sengaja menjadi bahan diskusi dalam grup WA Pustaka Bergerak Indonesia (PBI), yang kebetulan saya ikut di dalamnya.
Meski sekadar lewat chat, pembahasan diskusi itu amat menarik bagi saya. Mengingat, selain temanya amat lekat dengan kehidupan modern saat ini, pembahasnya pun orang-orang kompeten di bidangnya.
Diskusi bermula saat Dosen Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM) dan penggerak pustaka Rumah Baca Cinta Damai (RBCD), Asniar Khumas menjelaskan tentang pengaruh internet di kalangan anak.
Menurutnya, memberi internet (smartphone, laptop) pada usia berapa, di kalangan ilmuwan Psikologi masih menjadi perdebatan yang kontroversial. Pandangan ideal menyarankan pada saat anak berusia matang secara kognitif (mengambil keputusan).
Sebab, penggunaan yang tidak semestinya berdampak pada kecanduan. Yang paling berat adalah kecanduan. Dan saat anak kecanduan gawai, memicu dampak pada saraf motorik halus anak tersebut.
“Tetapi yang paling mudah dicek, anak-anak kita saat ini tulisannya jelek.” Ucapnya.
Itu, menurutnya, menunjukkan bahwa perkembangan motorik halus anak bermasalah karena gawai. Masalah lain yang tak jauh beda, saat ini anak sulit fokus saat belajar. Sebab, informasi melalui internet, televisi, video, jauh lebih mudah diserap.
Asniar melanjutkan bahwa daya serap anak-anak terhadap proses pembelajaran di kelas, kalah dibanding belajar melalui mengakses internet. Yang kemudian menjadi pertanyaan, seberapa sehat sajian informasi dari open sources bagi tiap individu terhadap tahap perkembangan.
Sementara, esais budaya sekaligus tokoh sentral PBI, Nirwan Ahmad Arsuka menanggapi, tak gampang mengontrol lalu lintas informasi di internet. Sebab, kemudahan informasi sudah menjadi niscaya yang sulit dihindari.
Cara yang tepat dilakukan adalah tetap menerapkan kebijakan internet sehat untuk anak dan remaja, sambil memperbanyak alternatif hiburan dan pendidikan yang menyenangkan.
“Memperbanyak buku bermutu dan mempermudah penyebarannya adalah salah satunya,” tukas Nirwan.
Memperbanyak buku bermutu dan mempermudah penyebarannya, menurut Nirwan, harusnya jadi implementasi pendidikan yang menyenangkan. Alasannya, jika banyak buku yang menarik, disertai dengan kegiatan menyenangkan, anak-anak bisa teralihkan dari candu internet.
Itu alasan kehadiran para relawan penggerak pustaka sangatlah penting. Terutama kemauan para penggerak untuk selalu membuat kegiatan kreatif dan terus mencipta peristiwa. Di situlah, kehadiran buku sangat penting.
“Kerja para relawan akan terbantu jika bisa dipasok dengan bahan bacaan dan permainan yang segar dan sinambung” imbuhnya.
Nabs, diskusi akan dampak buruk Internet dan cara pencegahannya tentu bukan masalah yang bisa disimpulkan dengan mudah. Sebab, masalah yang ditimbulkan selalu bergerak serupa teknologi itu sendiri.
Tapi, dari diskusi sederhana itu, setidaknya saya mampu sedikit menyimpulkan bahwa memperkenalkan internet pada anak memang amat penting. Hanya, mengajak anak untuk terbiasa membaca buku jauh lebih penting demi kesiapan mental mereka memasuki dunia Internet.
Menjauhkan internet dari anak tentu perkara yang musykil dilakukan. Sebab, masa depan amat lekat dengan teknologi internet. Dan anak-anak hari ini adalah orang-orang di masa depan.
Karena itu, membekali anak-anak dengan bekal literasi digital dan ketelatenan membaca amatlah penting demi perjalanan mereka mengarungi lautan informasi yang kelak akan mereka hadapi.
Coba bayangkan, seorang anak yang akrab dengan gawai sejak kecil tapi tak punya ketelatenan membaca, betapa besar potensi mereka menerima dan menyebarkan hoax di kemudian hari? Hmm.