Berikut asal-asul mengapa orang-orang berkulit putih lebih digandrungi plus banyak orang di negeri +62 yang ingin punya kulit putih.
Di Indonesia, berkulit putih dipandang sebagai norma kecantikan. Perempuan Indonesia berlomba-lomba memperputih kulitnya dengan memakai berbagai produk kecantikan (bukan bedak dempulan ya, Nabs) yang biasa tertera dan dipajang di media massa entah itu majalah, koran, iklan di televisi atau media sosial lainnya.
Obsesi ini bermula warna kulit gelap dipandang oleh sebagian masyarakat dengan warna yang tak menarik, jorok, dan tidak bersih. Wabilkhusus bagi perempuan Indonesia timur yang kerapkali di marjinalisasi oleh beberapa kelompok karena warna kulitnya yang gelap.
Menyoal warna kulit putih yang banyak digandrungi di dunia kontemporer saat ini, menjadi tantangan menarik untuk menyibak sejarah hegemoni kulit putih di Indonesia.
Nabs, dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional karya Ayu Saraswati bisa kita telisik mengapa kulit putih lebih disukai di Indonesia.
Berbagai bincangan keseteraan gender kiranya tak bisa luput dari perhatian saya yaitu deskriminasi terhadap perempuan “jelek” yang kerap digunakan orang menyebut tampilanisme.
Sebagian orang menganggap tampilanisme bahkan lebih berbahaya daripada rasisme dan seksime, karena masyarakat menormalisasi dan menaturalisasi tampang sebagai hal yang tak usah dibahas dan berbincangkan.
Di dalam buku Ayu Saraswati yang berjudul Putih Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transional dibahas dengan cermat dari zaman prakolonial sampai pasca reformasi.
Dalam buku kajian tersebut menyebutkan dengan gamblang wacana kulit putih sejak zaman prakolonial sampai era transnasional.
Sedikit mengenai profil penulis, Ayu Saraswati adalah penulis dan pengajar bidang kajian perempuan di Universitas Hawaii, Mano’a.
Beliau dan karyanya tentang kulit putih di Indonesia mendapatkan penghargaan Gloria Anzalfua Book Prize dari national Women’s Studies Association sebagai buku terbaik di bidang kajian perempuan di tahun 2013, Nabs.
Tak khayal lagi buku tersebut memang menarik karena membedah dan menelusuri bagaimana kulit putih dan iklan-iklan memengaruhi afek terhadap emosi ke objek supaya terperanjat menginginkan kulit putih dan malu akan kulitnya yang gelap.
Penting diperhatikan, Ayu menjabarkan beberapa teori seperti rasa, emosi, afek, dan malu. Tentunya kajian tersebut tak luput dengan wawancara secara langsung beberapa perempuan Indonesia. Buku ayu terdiri dari 6 bagian yang akan saya jelaskan secara singkat selanjutnya.
Bab satu, membahas tentang rasa dan putih sebelum era kolonial. Putih sebelum era kolonial sudah menjalar di berbagai cerita rakyat di Indonesia. Salah satu epos terkenal di Indonesia yaitu Ramayana.
Dalam kisah tersebut, dikisahkan Sinta yang berkulit terang bak bulan Purnama, perlu diketahui majas metafora tersebut merujuk sesuatu yang terang, indah, dan tentunya cantik.
Sedangkan Dasamuka digambarkan berkulit gelap yang merepresentasikan kejahatan, kebrutalan, tentunya menyeramkan. Hal ini bisa dicerna melalui puisi epos “kulitmu bak bulan purnama” sebagai majas kecantikan dan kegandrungan kulit terang era prakolonial yang kala itu masih lekat dengan budaya India.
Indianisasi di Indonesia bisa kita jumpai melalui karakter wayang, prasasti, dan candi-candi di Indonesia.
Ayu berpendapat bahwa paduan kulit terang sebagai sesuatu yang diinginkan serta kulit gelap sebagai yang tak diinginkan ditandai melalui rasa.
Rasa bekerja menkategorikan perempuan mana yang dipandang lebih cantik ketimbang lainnya di Jawa prakolonial (hlm:56).
Masalah ini menjadi problematika standarisasi kecantikan yang diartikulasikan melalui bahasan gender dan warna kulit, serta juga mengalamiahkan dan menormalisasikan hierarki sosial yang tersembunyi atas nama kecantikan.
Dengan puisi epos Ramayana tersebut, bisa kita tilik bagaimana kegandrungan warna kulit terang sudah ada sejak zaman prakolonial.
Selanjutnya di bab dua, menyibak bagaimana kulit putih di gandrungi zaman kolonial Belanda dan Jepang. Saat Indonesia masih belum mengenal istilah ras dan belum berdiri negara bangsa, wacana mengenai kulit putih terjadi anomali dengan kulit putih dan ras putih.
Belanda membuat tendensi dan perbedaan antara kulit putih dan ras putih. Ras putih dikategorikan lebih unggul dan mendominasi daripada kulit putih (kulit putih di sini menyebut kulit putih wanita Jepang, China, dan ras Asia lainnya).
Ras putih menganggap Asia sebagai kulit putih pucat atau kuning tidak sepenuhnya putih murni, tentunya keadaan ini menjadi terdampak oleh penduduk pribumi yang didominasi dengan kulit gelap entah pulau Jawa maupun di luar Jawa, yang menjadi bahan celaan orang-orang Eropa.
Pada saat itu pula, Ayu menyebut emosiologi kolonial menjadi aparatur afektif yang menandai identitas seseorang.
Emosiologi kolonial di Hindia Belanda, perempuan Belanda tak diperbolehkan menujukkan dan memperlihatkan emosi mereka. Sejarawan Elisbeth Locher-Scholten, mempelajari manual-manual yang ditulis untuk perempuan Hindia Belanda dan dengan hal itu ditunjukkan bahwa perempuan kulit putih diharuskan untuk bertindak-tanduk yang bijak dan terkendali (hlm.77).
Warna putih direpresifkan dan terikat erat dengan makna tenang, baik, tidak kasar. Oleh karena itu, bisa kita tilik bagaimana ketimpangan gender bisa mengena ke perempuan Hindia sekalipun.
Belanda memperkenalkan putih Kaukasia sebagai ideal kecantikan wanitanya, sehingga penduduk pribumi dibuat afek atas kuasa warna kulit dan ras putih tersebut.
Berangkat ke era kolonial Jepang yang menjajah Indonesia 3,5 tahun, namun meninggalkan jejak luka yang amat besar terutama pembantaian besar-besaran terhadap wanita Indo (anak hasil perkawinan pria Eropa dan gundik pribumi).
Jepang memperkenalkan dan memegaruhi secara luas putih Asia, namun tetap saja putih tidak gelap, meskipun ada pengecualian putih disini Jepang tidak serta Merta putih China.
Pada saat kolonial, majalah perempuan Eropa dan Jepang didominasi dan kerap dibandingkan dengan penduduk pribumi setempat, walau Jepang memperkenalkan putih Asia, toh mereka juga masih mengikuti kebarat-baratan.
Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan besar mengapa klaim posisi putih malah memperkuat hierarki sosial yang ada? Jawabannya sepertinya terletak dalam argumen bahwa modernitas kerap dibaurkan dengan Barat/putih.
Tentu, ada bahaya dalam menyebarkan putih sebagai warna superior, sekalipun putih Asia. Artinya, karena putihlah yang diklaim, hal itu justru memperkuat alih-alih menggoyahkan putih sebagai warna dominan lintas bangsa.
Jawaban kedua, walaupun perempuan berkulit gelap bisa saja di representasikan sebagai standar kecantikan, karena toh identitas nasional adalah perkara representasi diri bukan hanya kepada warga sendiri tetapi kepada bangsa-bangsa lain, perempuan berkulit gelap mungkin tidak akan diakui secara internasional sebagai cantik (halaman 98).
Dengan gamblang, bab ini mempertegas subjektivitas putih di Indonesia, kolonial bukanlah semata-mata narasi tawaran Eropa.
Para penjajah Jepang meski memperkenalkan ideal kecantikan baru tapi toh tetap kulit putih yang disukai sebagai unggulan ras, dan kulit gelap akhirnya tetap tak dikehendaki.
Bab tiga dalam buku ini, membahas bagaimana putih Indonesia digelarkan oleh Indonesia itu sendiri, dari sejak awal kemerdekaan perempuan Indonesia direpresentasikan cantik jika mereka memiliki kulit putih dan sampai era Orde Baru yang menampilkan banyak iklan Amerika sehingga muncullah kecantikan transional kulit putih Amerika ke Indonesia, yang mulai digandrungi masyarakatnya.
Iklan-iklan tersebut masuk secara berskala global lebih kompetitif karena menawarkan imajinasi kulit putih dengan cara-cara kerja yang baru dan putih-putih yang baru juga.
Bagaimana emosionalscape adalah sebuah modus untuk ditafsirkan bagaimana emosi divisualisasikan, ditafsirkan, dan dibuat terbaca dalam ruang representasi, seperti dalam iklan-iklan kecantikan ( hlm.116).
Pergeseran makna putih secara historis dan politik tidak dapat dihilangkan secara serta-merta malahan para kapitalis membuat ide berbagai sub platform melalui media masa untuk menjajakan produk wanita sebagai subjektifitas dan objektivitas, seolah-olah bahagia jika memiliki kulit putih.
Terakhir bab putih kosmopolitan. Bab ini menjelaskan bagaiman putih bertransformasi menjadi putih transional dan bersifat kosmopolitan serta ditransferkan melampaui batas ras dan bangsa.
Semua orang bisa menjadi putih kosmopolitan terlepas iklan-iklan menawarkan produk sesuai warna kulit para wanita. Problematika kulit kosmopolitan bisa kita tilik di berbagai jenjang warna kulit bertransformasi mengenalkan jenis putih baru yang lebih ramah kulit lain.
Namun, meski demikian tetap supremasi kulit putih menggeser kulit gelap. Artinya, putih beradaptasi, bermutasi, mengkooptasi bentuk-bentuk putih baru untuk mempertahankan supremasinya, alih-alih menantang dan menampik rasial kulit putih, ini justru memperkuat hierarki yang dijajakan dengan cara-cara yang halus, memilukan bukan.
Nabs, di bab lima dan enam menyingkap bagaimana malu dan akhirnya mengakui praktik pemutihan yang sudah mendarah daging. Ayu mewancarai 46 wanita diantaranya 2 lesbian, toh tetap dalam wawancara Tersebut terjadi ketimpangan warna kulit, seperti kulit China yang tak disukai karena dianggap putih pucat seperti makan babi, putih Indonesia yang dikata lebih alami, putih bule yang lebih keren dan menarik, atau putih Jepang yang lebih bersih.
Demikian bisa kita tilik terjadi ketimpangan secara skala sosial bagaimana putih bisa bertransformasi secara hierarki sesuai kegandrungan kesukaan perempuan di Indonesia.
Adakalanya bullying juga memepengaruhi perempuan di Indonesia lebih merasa malu dibandingkan lelaki Indonesia, meski ada beberapa kasus lelaki putih di Indonesia di beberapa daerah terkena ketimpangan karena putih dianggap tidak macho, toh tetap perempuan yang malu karena menjadi pusat perhatian karena kulitnya gelap.
Bagaimana maskulinitas bisa serta-merta mendobrak dan mendominasi wanita untuk terlihat putih dan terus putih, itulah masalah budaya kita yang masih patriarki.
Oleh karena itu, kita seyogianya menerima apa adanya kulit kita entah putih, kuning langsat, gelap, kita representasi kecantikan menurut versi sendiri.
Kesimpulan dari keseluruhan berbincang diatas adalah tranformasi putih akan terus beradaptasi sesuai dengan kegandrungan manusia melalui batas-batas geografis suatu ras dan bangsa, karena itu kita seyogianya menerima atau lebih menghargai kulit kita terlepas itu putih atau gelap.
Kita musti memberikan definisi cantik menurut kita masing-masing tanpa perlu merubah ke bentuk warna yang lain. Mengapa kita perlu menunjukkan kepada semua orang warna kulit sesuai mereka? Itulah masalah diri sendiri.