Ojo kesusu bukak jendela. Yen awakmu durung siap nompo nur utawi cahaya.
Lagu “Mawthini” menggema di warung kopi. Kebetulan timnas Irak sedang berlaga.
Orang-orang Irak yang melangkahkan kaki di depan warung kopi, sesekali membuang pandangan ke televisi.
Kaca di bagian depan warung kopi merekam puluhan pasang mata. Kaca yang bening. Eksistensi kaca dilahap oleh esensinya. Zat yang ‘ada’ namun seakan-akan tiada.
Alexandra merenung dan bergumam dalam sanubari, “Kapan saya segera mungkin bisa menyelesaikan tesis? Hmmm.”
Alexandra bangkit dari duduknya. Merapikan kerah baju. Mengusap mahkota kepala. Kemudian tangan kanannya meraih rangsel.
Alexandra bergegas menuju pintu keluar. Ia ingin berperan menjadi lakon dalam dongeng 1001 malam.
Ia hanyut dalam sebuah malam di Baghdad. Langkah kakinya menjadi saksi bahwa ia pernah menginjak tanah Baghdad.
Yang dalam catatan sejarah kebudayaan Islam, pernah menjadi kota yang memiliki peradaban maju pada masanya.
Sebelum tidur, dia selalu berdo’a agar bisa dipertemukan dengan hujjatul Islam ‘Imam Ghazali’.
Namun, setelah ratusan kali berdo’a untuk ketemu Imam Ghazali, sekalipun tak pernah bermimpi.
Pernah pada suatu waktu. Bukan malah Imam Ghazali yang hadir dalam mimpi Alexandra, melainkan Ali.
Ali merupakan kawan dekat Alexandra di Pondok Pesantren yang berada di sekitar kaki gunung. Ali merupakan kawan dekat, kawan diskusi ushul fiqih, fiqih, tarikh, kaidah fiqih, nahwu dan shorof, filsafat, tasawuf, dan lain-lain.
Ketika muncul wajah Ali. Satu kata yang terbayang dalam ingatan Alexandra adalah burdah. Saat di pesantren, Ali sering memutar burdah saban hari via gawai sembari membaca dalail setelah salat lima waktu.
Ali berkata, “Eh, ente minta ketemu Imam Ghazali, secara sadar maupun tidak, ente melupakan guru kita, Kiai Jack. Yang dulu dengan tulus dan ikhlas saban ba’da subuh dan mata kita terkantuk-kantuk memberi penjelasan yang penuh dengan “wisdom”. Hingga ente berhasil membaca kitab Arba’in Fi Ushuluddin (Imam Ghazali) dengan metode bandongan bersama Kiai Jack. Ente membaca dengan “rasa” bukan hanya sekadar deretan mufrodat belaka, sadar woi.., sadar….,”
Tidak ada angin dan hujan. Tiba-tiba ada tangan menepuk pundak kanan Alexandra. Tangan Singh, kawan Alexandra dari Kalkuta, India.
Membangunkan Alexandra dari tidur pulasnya di sebuah maktabah megah yang berdiri gagah di Baghdad.
“Alex, let’s go home…”
“Ok.”
Setelah Alexandra memperoleh bunga tidur sejenak itu, sembari menyusuri jalan pulang menuju asrama, ia terus bermuhasabah.
Seketika itu juga, ia teringat dengan Kiai Jack, kiai yang mengasuh pondok pesantren yang digunakan untuk belajar cum berdiskusi hal ihwal tasawuf dan tarekat.”
Wasiat yang diberikan Kiai Jack kepada Alexandra, “Lex…ojo kesusu bukak jendela. Yen awakmu durung siap nompo nur utawi cahaya ‘makrifat’ saking Gusti Allah.”
Hingga memasuki usia kepala tiga dan telah lama meninggalkan bangku aliyah di pondok pesantren, Alexandra masih sering menggarukkan jari telunjuknya di bagian pelipis kiri ketika teringat wasiat dari Kiai Jack.