“Saya berhutang budi pada orang tua dan guru, di tiap langkah hidup saya”
(Alexander The Great).
Kutipan pemimpin besar sepanjang masa, Alexander The Great (356 SM – 323 SM) di atas, barangkali mampu sedikit menggambarkan figur Mas Wahono. Di mana, orang tua dan guru menjadi dua entitas paling berpengaruh dalam proses hidup yang dia jalani sampai kini.
Terlebih, dua perihal penting yang sangat mempengaruhinya itu, berwujud sebagai seorang Ibu. Ya, ibu Mas Wahono (Ibu Hj. Kasminah) adalah seorang guru yang aktif mengajar di desa pada 1970-an — profesi yang kelak dikenal sebagai Guru Perjuangan.
Seorang guru, kita semua tahu, adalah figur yang punya kepekaan telinga dalam mendengar. Sekaligus punya kepekaan hati dalam bertindak. Sikap itu yang diamati dan dipelajari Mas Wahono sejak kecil, dari keberadaan figur sang Ibu.
Maka bukan kebetulan jika saat ini, Mas Wahono dikenal sebagai figur yang suka dan mampu mendengarkan. Kemampuan mendengar, baginya bukan hal baru berbasis pencitraan. Tapi entitas mikroskopis yang menempel dalam dirinya sejak kecil. Sebab, mampu “mendengar” memang butuh bakat.
Kemampuan Mas Wahono dalam mendengar, membuatnya menjadi figur yang mudah berdialektika dengan siapapun. Ia mudah berkomunikasi dengan masyarakat kecil, dan mudah berdiskusi dengan kaum elit.
Di berbagai kesempatan, Mas Wahono kerap terlihat bisa srawung dan berkomunikasi dua arah dengan masyarakat. Seperti saat ia berkunjung ke pasar dan ke tempat keramaian. Di saat yang sama pula, Mas Wahono bisa berdiskusi dengan tokoh-tokoh elit nasional, dalam merancang bermacam inovasi dan pembangunan.
Kemampuan Mas Wahono dalam berdialektika, sangat terpengaruh dari ibunya yang juga seorang guru. Dari figur ibunya lah Mas Wahono memegang prinsip bahwa “pemimpin yang baik, adalah yang mampu mendengar dan mengambil tindakan secara tepat”.
Dalam Kaidah Hastobroto (konsep filsafat Jawa), seorang pemimpin harus memiliki kepekaan informasi. Karena itu, kamampuan mendengar menjadi perihal wajib yang harus bisa dimiliki. Sebab, informasi bisa diterima hanya dengan mau mendengarkan.
Kaidah Hastobroto melambangkan kepemimpinan dalam delapan unsur alam yaitu bumi, matahari, api, samudra, langit, angin, bulan, dan bintang. Tiap unsur Hastabroto mengartikan tiap karakteristik ideal dari seorang pemimpin.
Kemampuan Mas Wahono dalam mendengar, membuatnya menjadi figur yang mudah berdialektika dengan siapapun. Ini tentu bagian dari prinsip-prinsip dalam Kaidah Hastabrata. Bahwa seorang pemimpin, harus bisa mendengar dari berbagai arah dan unsur masyarakat.