Berikut kisah persahabatan seekor sapi dan kambing sebelum ajal menjemput mereka.
Gema takbir menggema di Pulau Lidah. Manusia di Pulau Lidah sedang menata lidahnya, ada yang persiapan berkotbah, menerima tamu, dan lain-lain. Di Pulau Lidah, terdapat Sapi dan Kambing yang bersahabat.
“Mbing, sekarang berada di Idul Qurban. Sudah siap, Mbing?”, tanya Sapi sembari mengunyah rumput di tanah lapang.
“Hiks…air mata keluar dari mata Si Kambing. Waduh, Pi….Sapi, semoga kita tidak diqurbankan pada tahun ini, ya? Aku masih ingin memakan rerumputan dan menikmati air hujan.”
“Ya…bagaimana lagi, Mbing. Kalau sudah saatnya, ya…pasti kita akan mati. Banyak jalan menuju mati, Mbing. Dari pada dibunuh dengan mesin untuk makanan. Mending, aku milih mati karena diqurbankan, Mbing..Maaaahhhhh”, ujar Sapi.
Pada tahun lalu, pada momentum Idul Qurban, sapi dan kambing bersepakat untuk pura-pura sakit. Jadi mereka tidak masuk pesanan untuk diqurbankan.
Hari demi hari berlalu. Beberapa kawan dari Sapi dan Kambing dikasih nomor dan beberapa Sapi dan Kambing juga ada yang diberi warna.
“Mbiik..mbiik…mbik, Pi, kamu kok pasrah, kamu tidak ingin kabur dari tempat ini?”
“Kalau kamu kabur, silakan, Mbing. Saya sudah mantap untuk kembali ke Sang Pencipta dari pada mati dibunuh dengan cara keji kemudian daging kita dikaleng? Maahhhhh, mending mati karena qurban, itu lebih keren…”. Ucap Sapi kepada Kambing.
Terlihat dari kejauhan. Seorang algojo tiba. Melihat berbagai jenis Sapi dan Kambing untuk Idul Qurban pada tahun ini.
“Mbing…mbing, lihat..lihat…, itu kan Si Algojo yang tahun lalu pernah memegang leher kita.”
“Waduh….iya, Pi…Mampus.” Kambing yang semula berdiri langsung ke bawah dan menampakkan gelagat kurang sehat.
“Halo….Yu Jum. Mau lihat-lihat Sapi dan Kambing terlebih dahulu. Bagaimana kondisi hewan qurban tahun ini, Yu Jum?”
“Waduh…Jo..Algojo…, tahun ini ada beberapa sapi yang terkena penyakit mulut dan kaki. Sapi saya yang dipojok itu, dekat Si Kambing, alhamdulillah tahun ini sudah sehat dan siap untuk diqurban.” Ujar Yu Jum.
“Apa ini ada pengaruhnya dengan angka perceraian yang tinggi di Pulau Lidah di Pulau yang konon jadi lumbung pangan dan energi in?, benar gak, Yu Jum? Ahahahaha”.
“Mulutmu itu lho, mbok ya dijaga. Kamu tidak sungkan dengan beberapa sapi dan kambing yang ada di sini to? Punya mulut itu dijaga, jangan hanya jaga perut dari lapar saja. Pantas saja, semakin buncit perutmu, Jo.” Jawab Yu Jum.
“Maaahhhhhh…Mbing…Mbing, tadi kata Jo Si Algojo, angka perceraian di Pulau Lidah itu tinggi? Benar gak, Mbing?” Tanya Sapi dengan rasa penasaran yang tinggi.
“Mbiikk…mbikk….mbiiik. Aku tidak tahu, Pi. Manusia apa gak mikir, ya? Kalau mereka harus berpisah betapa sedihnya. Saya tidak tega, Pi. Memikirkan dan memberi jawaban tentang itu. Aku bodo amat. Mbiikk…Mbikk…Aku ingin kawin lagi, makan rerumputan yang hijau, dirawat dengan penuh kasih sayang oleh Yu Jum.” Jawab Kambing.
Kalender berganti. Hari berganti. Dari tanggal 8 Dzulhijah, 9 Dzulhijah, dan tiba saatnya tanggal 10 Dzulhijah. Gema takbir menggema di Pulau Lidah. Beberapa kawan Sapi dan Kambing sudah ada yang diangkut mobil truk, digeret untuk dipasang di dekat lapangan penyembelihan.
“Allahu akbar…Allahu akbar…Allahu akbar…La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu”. Takbir menghiasi cakrawala pagi di Pulau Lidah. Beberapa orang berduyun-duyun menuju lapangan, masjid, dan ada juga yang mensyukuri nikmat dengan menikmati secangkir kopi di warung yang masih buka.
Sapi dan Kambing dipilih oleh Si Algojo untuk menjadi hewan qurban pada tahun ini. Mereka tidak bisa mengelak. Sapi dan Kambing lehernya ditali kemudian talinya diikatkan di sebuah pohon yang tumbuh dan berkembang di lapangan penyembelihan.
“Allahu akbar….Allahu akbar…Allahu akbar….La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu…Alllahu akbar…Allahu akbar…Allahu akbar…,” Si Pohon mengumandangkan takbir. Dimeriahkan dengan daun-daun yang dibelai angin.
“Sudah siap, wahai Sapi dan Kambing?” Tanya pohon kepada Sapi dan Kambing.
“Mbiik….mbiiik…..mbiik…siap.” Jawab Si Kambing dengan sedikit rasa ragu yang menyelimuti.
“Siiiiaapppp….Maaahhhhhh.” Jawab Si Sapi dengan perasaan haqqul yaqin.
“Nah…gitu, dong. Beruntung kalian mati dengan diqurbankan. Bagaimana coba, kalau kalian mati disiksa oleh menus ndas ireng alis manusia alias septic tank, eh Homo sapiens, yang kejam dan rakus. Yang biasanya juga suka membunuh kawanan-kawanku seperti pohon besar yang ditumbangkan dengan keji untuk membuka lahan. Ya…namamanya juga kehidupan. Ada manusia yang biadab namun juga ada manusia yang beradab. Semoga kalian dipertemukan dengan manusia beradab ketika disembelih nanti.” Ujar Si Pohon. Kemudian Si Pohon melanjutkan lantunan takbir.
Matahari semakin naik. Orang-orang sudah pulang dari masjid. Wak Haji dan Si Algojo sudah bersiap mengasah pisau. Disaksikan beberapa penduduk Pulau Lidah.
“Mbing…maafkan aku, kalau selama ini ada salah…Maaahhhhh”. Air mata keluar dari mata Sapi. Membuat lembab sekitar area mata.
“Iya…sama-sama, Pi. Mbiikk…mbiiiikkkkk……mbiiik.” Air mata juga keluar dari mata Si Kambing.
“Bagaimana Wak Haji, sudah siap?” tanya Si Algojo.
“Siap. Saya menyembelih Si Sapi dulu. Nanti gentian. Algojo yang Si Kambing.”
“Oke.”
Gema takbir mengiringi kepergian Si Sapi dan Kambing. Tanah, pisau, darah, dan orang-orang, menjadi saksi bagaimana pisau mendarat dengan indah di leher Sapi dan Kambing. Kemudian daging Sapi dan Kambing dibagikan ke beberapa penduduk Pulau Lidah.*