Perhelatan negeri-negeri Jawa untuk membentuk Kerajaan Islam, terbaca di rentang waktu akhir abad 15 sampai abad ke-16. Walaupun periodesasi ini sudah jelas berada di saat Majapahit mengalami keruntuhan, namun kronologi tentang awal terbentuknya Kerajaan Islam Jawa masih kabur dan minim bukti, karena tidak dijumpai naskah-naskah literatur dan artefak yang sezaman.
Rekonstruksi kejadian abad 16 ini baru disusun di akhir abad 17 oleh Mataram, di Serat Kandha dan Babad Tanah Jawi, namun harus menunggu kira-kira 50 tahun untuk mendapat persetujuan dan redaksi dari Belanda. Untuk kemudian, dipublikasikan di Jawa Tengah pada abad 18. Kejadian abad 16, baru dipublish pada abad 18, atas persetujuan Belanda.
Di abad 20, dua sejarawan Belanda (De Graaf dan Pigeaud) mencoba menyusun sejarah Jawa di periode ini secara lebih logis, dengan memasukkan sumber-sumber Eropa yang sezaman, utamanya Suma Oriental, yang menceritakan kondisi pesisir Jawa di awal abad 16.
Dalam buku berjudul Kerajaan Islam di Jawa itu, De Graaf menjelaskan detail awal kebangkitan kerajaan Demak, mengkalibrasi dan membuat alur yang logis bersumber dari Babad Jawa Tengah, naskah Jawa Barat juga dengan catatan-catatan Eropa.
Semua cukup gamblang, namun ketika Demak mengalami penurunan akibat perang, naskah Jawa Barat catatan Portugis atau Eropa tidak mengabarkan akhir dari pemerintahan kerajaan Demak ini, sehingga harus diterima bahwa satu-satunya sumber berikutnya, yang menerangkan peran Jipang sampai Pajang, hanya termuat di Babad Jawa Tengah.
Menariknya adalah bahwa silsilah Naskah Jawa Barat menyebut bahwa (Molana) Arya Sumangsang atau Palembang Anom adalah Raja Demak ke-2, sementara penguasa Jipang adalah adik laki-laki dari “Pangeran Ratu”, dan sama sekali tidak disebut nama Arya Penangsang, sehingga De Graaf dan Pigeaud meninggalkan sebuah catatan; “ … mendorong kita untuk berhati-hati sebelum gambaran keadaan yang serba romantis dalam babad itu untuk kita terima sebagai kebenaran historis…”.
Para penulis keraton Mataram tampak dengan sengaja menyederhanakan peristiwa besar dan penting, cenderung mengagungkan peran raja Mataram selaku penguasa pedalaman Jawa, mengorbankan kedudukan para raja pesisir dan bahkan “merahasiakan” peran Bengawan sebagai jalur kunci awal mula perpindahan kerajaan pesisir menuju ke pedalaman.
Sehingga yang dikabarkan adalah, Demak tunduk tiba-tiba meski simpul kekuatan pelabuhan laut Jepara masih digdaya, dan peran “Pelabuhan Jipang” yang dominan di Bengawan tidak terjelaskan dengan seksama. Johannes Jacobus Meinsma (Pengarang Babad), mengisi interpolasi cerita tutur yang beredar saat itu dengan mengatakan bahwa; Ratu Kalinyamat harus merayu Jaka Tingkir untuk memperdaya Arya Penangsang.
Bagaimapun jalan cerita romansa dan kepahlawanan yang tertulis di Babad karangan Pujangga Meinsma itu, pada akhirnya terdapat simpulan; bahwa Jaka Tingkir tidak sungguh-sungguh mengalahkan Arya Penangsang, tidak benar-benar terayu Ratu Kalinyamat, tetapi Sutawijaya (Mataram) yang tidak sungguh-sungguh kesatria (belum cukup umur), malah justru jadi pemenang lakon “petualangan Panji” di dua simpul pelabuhan itu.
Penulis adalah sejarawan dan peneliti dari Blora Bhumi Budaya.