Orang yang mampu merasakan betapa uniknya dunia bekerja, hanyalah orang yang hatinya peka merespon suasana.
“Mas Riz, dunia bekerja unik banget”. tiba-tiba Farid mengirim kalimat itu melalui pesan WA.
Farid beberapa hari ini tampak sibuk pulang-pergi Jakarta. Beberapa kali, dia terlihat memposting suasana syahdu kereta api dan sesekali, dia menulis kalimat panjang realis yang amat memukau melalui WA story.
Tak seperti biasanya, dia tak bercerita apapun terkait kegiatan yang sedang dia lakukan itu. Dia seperti melakoni misi khusus yang tak ingin seorangpun tahu apa yang sedang dilakukannya.
Saya juga tak banyak bertanya padanya. Yang jelas, dia semacam menjalani perjalanan pengembangan diri. Berjalan dan mengembangkan diri. Ada unsur bertolak, semacam melakukan pergerakan. Dan seperti tak ingin diganggu.
“Lha tak pikir Pamuk iki rupane sosok wes tua kakek-kakek, Mas”. ucapnya mengawali pesan, “aku dulu baca pas di kelas teori sastra kalo ga salah, bayanganku ya kakek tua, renta dan mungkin galak wakaka.” Tampaknya dia baru saja membaca tulisan tentang Orhan Pamuk di Jurnaba.
Kami tak membahas banyak tentang Orhan Pamuk. Sebab, seperti di awal paragraf, tiba-tiba Farid mengirimi pesan lanjutan yang aneh: dunia bekerja dengan unik. Tentu saja itu pernyataan falsafi yang teramat mendalam untuk sekadar dipahami.
Saat saya cecar dengan pertanyaan lanjutan, dia menjawab bahwa dia baru saja bertemu dengan orang yang tak pernah diduganya. Seorang pembaca tulisan-tulisannya yang, dulu dia minder untuk sekadar ngobrol atau bertegur sapa padanya.
Tentu saya tak perlu menganalisis kalimat Farid menggunakan psychoanalisis agar bisa memahami perasaan penulisnya. Sebagai seorang tekstrokvert, saya bisa membaca perasaan penulis hanya dengan mengidentifikasi simbol yang dia kirim. Misalnya, dari yang semula wqwq menjadi wakaka, dan itu bukan perihal sederhana bagi saya.
Dan, ya, Farid sedang merasakan bahagia. Kebahagiaan itu terpancar dari keunikan, ketidakbiasaan, dan kalimat yang dia kirim kepada saya mengandung perbedaan intonasi dibanding sebelum-sebelumnya. Kebahagiaan yang sunyi tapi sublim.
Saya suka kalimat Farid tentang cara kerja dunia yang unik. Bagi saya, orang yang mampu merasakan betapa uniknya dunia bekerja, hanyalah orang yang hatinya sedang peka, sekaligus sedang “lihai merasa”.
Membaca kalimat dari Farid, membuat saya ingat sebuah kisah klasik tentang seorang tukang kayu yang kehilangan arloji. Kisah itu, mungkin sudah banyak didongengkan, tapi bisa jadi, banyak pula yang belum pernah mendengarkan.
Ada seorang tukang kayu. Suatu saat ketika sedang bekerja, secara tak disengaja, arlojinya terjatuh dan terbenam di antara tingginya tumpukan serbuk kayu tempat dia bekerja.
Arloji itu, sebuah hadiah dari orang terkasih sekaligus benda yang amat dia sayangi. Karenanya, dia berusaha sedapat mungkin menemukan kembali arlojinya.
Sambil mengeluh mempersalahkan keteledoran diri sendiri, si tukang kayu tersebut membongkar tumpukan serbuk kayu yang amat tinggi itu. Teman pekerja lainnya juga turut membantu mencarinya.
Tapi sia-sia, arloji kesayangan itu tetap tak ditemukan.
Tibalah saat istirahat makan siang. Para pekerja serta pemilik arloji tersebut dengan semangat yang amat lesu, meninggalkan bengkel kayu itu.
Saat itu seorang anak kecil yang sejak tadi memperhatikan mereka mencari arloji, datang mendekati tumpukan serbuk kayu tersebut. Ia menjongkok dan mencari.
Tak berapa lama berselang, anak kecil itu telah menemukan kembali arloji kesayangan si tukang kayu tersebut.
Tentu si tukang kayu itu amat gembira sekaligus heran. Sebab, sebelumnya, banyak orang telah membongkar tumpukan serbuk, namun tak menemukannya. Tapi anak itu cuma seorang diri saja, dan langsung berhasil menemukan arloji itu.
“Bagaimana kau bisa menemukan arloji ini ?”, tanya si tukang kayu.
“Saya hanya duduk secara tenang di lantai. Dalam keheningan itu saya bisa mendengar bunyi tik-tak, tik-tak. Dengan itu saya tahu di mana arloji itu berada”, jawab anak tersebut.
Ya, keheningan adalah pekerjaan rumah yang paling sulit diselesaikan selama hidup. Sering secara tidak sadar kita terjerumus dalam seribu satu macam kesibukan dan kegaduhan.
Arloji adalah analogi dari sesuatu yang baru saja hilang dari Farid beberapa waktu silam. Sesuatu yang dia jaga dan sayangi, lalu hilang begitu saja dan saat dia cari dengan sepenuh hati, tak juga dia temui.
Dia bersedih dan menyerah untuk mencarinya lagi. Tak ada harapan baginya untuk menemukan kembali apa yang dia cari.
Setelah mengalami perjalanan demi perjalanan, dia mampu melewati fase gaduh yang menyesakkan dada, lalu dia mendengar bunyi tik-tak-tik-tak yang baru. Tentu saja, itu tak lepas dari fase “hening” dan “lihai merasa” yang telah dan sedang dia upayakan.
**
Dunia bekerja secara unik. Apakah benar dunia bekerja secara unik? Ataukah sesungguhnya, yang unik adalah orang yang merasakannya, sementara dunia tetap bekerja reguler seperti dulu kala.
Bukankah sesungguhnya cara kerja dunia tak pernah berubah sejak zaman dulu? Kesedihannya, ketidakadilannya, hingga kecemasan-kecemasannya tetap sama. Kalaupun berbeda, hanya penafsiran atasnya saja.
Dan tak sembarang orang bisa menafsirkan cara kerja dunia, kecuali mereka yang sedang peka dan lihai merasa. Dan orang yang mampu merasakan uniknya dunia bekerja, hanyalah orang yang hatinya sedang peka, dan sedang “lihai merasa”.