Sejak ribuan tahun yang lalu, manusia telah mencoba melakukan intervensi dan manipulasi pada otak manusia dengan cara yang disebut trepanasi. Meskipun metode ini terbukti kurang efektif dan menyakitkan, pada era modern, proses ini telah disempurnakan dengan pengembangan metode leucotomy dan lobotomy pada tahun 1935.
Leucotomy dan lobotomy adalah teknik operasi otak yang digunakan untuk mengobati berbagai gangguan mental seperti depresi, skizofrenia, dan gangguan bipolar. Dalam prosedur ini, bagian tertentu dari otak dihilangkan atau diubah untuk mengurangi gejala-gejala yang terkait dengan gangguan mental. Meskipun telah disempurnakan, teknik ini masih kontroversial karena dapat menyebabkan efek samping yang buruk pada pasien.
Meskipun demikian, penggunaan leucotomy dan lobotomy tetap menjadi pilihan dalam beberapa kasus yang benar-benar diperlukan. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan pertimbangan yang matang dari para ahli. Penting untuk memastikan bahwa manfaat yang diharapkan melebihi risiko dan efek samping yang mungkin terjadi.
Manipulasi otak dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk metode pembedahan atau dengan penggunaan terapi seperti kejut listrik atau electroconvulsive therapy (ECT), yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1938.
Meskipun terapi ini dianggap radikal oleh beberapa orang, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa ECT dapat membantu mengatasi berbagai masalah kesehatan mental, seperti depresi yang parah dan gangguan bipolar. Selain itu, terdapat juga metode lain seperti terapi gen atau terapi sel punca yang sedang dikembangkan dan diuji coba untuk membantu mengatasi berbagai masalah kesehatan mental.
Psikiater menggunakan ECT untuk tujuan terapi, namun ada yang menggunakannya untuk tujuan yang lebih jauh. Yaitu, untuk menghapus semua memori buruk yang tersimpan dalam otak. Konsepnya adalah ketika semua memori, ingatan, dan perilaku buruk telah dihilangkan dari otak, maka otak akan menjadi seperti selembar kertas kosong yang bisa ditulisi ulang dengan kebiasaan dan pikiran baru yang lebih sehat.
Proses ini diharapkan dapat membantu orang yang menderita skizofrenia dan waham dengan menghilangkan semua halusinasi dan membuat mereka menjadi manusia baru yang lebih sehat dan lebih baik. Seperti pada komputer, ECT seharusnya hanya melakukan proses defrag, tetapi digunakan lebih jauh untuk melakukan factory reset (setelan pabrik) dan install ulang.
Dalam hal ini, ECT akan menghapus semua data dan mengembalikan otak ke kondisi semula sebelumnya. Sehingga memungkinkan untuk memulai dari awal dan membangun kembali pola pikir yang lebih positif dan sehat.
Setelah semua sisi kesadaran dan memori manusia dilucuti dengan berbagai macam manipulasi, mulai dari ECT yang melampaui batas jumlah normal, pengurungan, peniadaan, dan pengacauan sisi sensorik ruang waktu tubuh, ditambah lagi dengan berbagai macam obat-obatan yang bertujuan untuk memblokir semua sinyal saraf dan hormon yang bekerja di otak, manusia pada akhirnya masih memiliki celah yang meskipun sangat kecil, tetap menjadikan mereka manusia dan bukan hewan percobaan.
Selama mereka masih hidup, mereka masih bisa mendengar suara-suara yang ada di sekitarnya. Entah itu suara burung yang bernyanyi ketika matahari terbit, tawa anak-anak saat istirahat di halaman sekolah, atau suara lonceng gereja dan adzan dari masjid terdekat. Bahkan ketika terjebak dalam keadaan yang paling sulit sekalipun, manusia masih memiliki kemampuan untuk melihat keindahan yang tersembunyi di sekitar mereka. Kemampuan untuk menemukan cahaya di tengah kegelapan dan kemampuan untuk menyimpan harapan yang tak terbatas dalam hati mereka.
Itulah yang membuat mereka tetap menjadi manusia, dan itulah yang tidak akan pernah hilang dari mereka.
Setelah itu, manusia-manusia ini mengalami apa yang dikenal sebagai kondisi regresi, di mana mereka mundur dan kembali ke masa kanak-kanak. Mereka menjadi tidak tahu bagaimana membedakan warna, merengek meminta makan pada orang tua, dan tidak bisa mengikat tali sepatu.
Dalam novel Chess: Royal Game, yang ditulis oleh Stefan Zweig, tokoh utamanya terkurung di dalam sebuah hotel tertutup selama waktu yang sangat lama tanpa memiliki alat tulis atau jam dinding untuk membantunya mengetahui waktu yang telah berlalu. Tujuan dari kondisi ini adalah untuk membingungkan orientasi sensorisnya sehingga dia tidak tahu waktu dan hari. Selain itu, dia sama sekali tidak dapat mencatat apapun.
Namun, beruntungnya pada suatu saat selama interogasi, dia berhasil mencuri sebuah buku tentang catur. Dan itulah satu-satunya buku yang menemani hari-harinya yang panjang dan tak menentu. Buku tentang catur itulah yang kemudian membantu mengisi waktu luangnya. Dia membaca buku tersebut, membayangkan, dan memainkan peran-peran dalam ceritanya. Dia mencoba menggunakan imajinasi untuk memikirkan bagaimana setiap bidak catur bisa bergerak.
Terkadang, dia memilih untuk menjadi sisi putih, sementara lain waktu dia berada di sisi hitam, sesuai dengan permainan catur yang dijelaskan dalam buku tersebut. Hal ini membantunya mengatasi rasa kesepian dan membantu menjaga kewarasan selama masa pengasingannya yang panjang.
Dalam film, kita sering melihat bagaimana teknologi dan obat-obatan dapat digunakan untuk memanipulasi otak manusia. Contohnya, dalam beberapa film seperti Project Power (2020), Limitless (2011), dan Lucy (2014), kita dapat melihat bagaimana pil-pil yang dikonsumsi dapat meningkatkan potensi otak manusia hingga mencapai puncaknya.
Selain itu, film-film ini juga menunjukkan bahwa pil-pil tersebut dapat di-tailored atau disesuaikan dengan keinginan pembuat dan pengguna, memberikan kemungkinan yang tak terbatas bagi pengembangan dan penggunaan teknologi ini.
Namun, teknologi dan obat-obatan ini tidak hanya digunakan untuk meningkatkan kemampuan otak, tetapi juga dapat digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit. Sebagai contoh, seseorang dengan riwayat penyakit jantung atau kanker dapat meminta obat yang dirancang khusus agar DNA mereka di masa depan bebas dari biomarker atau sel yang dapat menyebabkan penyakit tersebut. Dengan begitu, mereka dapat terhindar dari risiko terkena penyakit tersebut di kemudian hari.
Penggunaan teknologi dan obat-obatan untuk memanipulasi otak dan mengatasi penyakit memiliki potensi yang sangat besar untuk membantu manusia. Namun, hal ini juga menimbulkan banyak pertanyaan dan perdebatan tentang etika dan dampak jangka panjang dari penggunaannya.
Di masa depan, rekayasa biogenetik dapat mengubah sampai level DNA. Teknologi ini akan memungkinkan manusia untuk mengubah sifat-sifat organisme hidup, termasuk manusia, dengan cara yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Individu dengan kekuasaan dan hak istimewa dapat menggunakan teknologi ini untuk menciptakan manusia-manusia baru sesuai dengan keinginan mereka.
Sebagai contoh, mereka dapat menciptakan manusia yang lebih kuat dan tahan terhadap tekanan dan stres kerja, sehingga dapat bekerja di industri-industri berat dengan lebih efektif. Selain itu, rekayasa biogenetik juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan dan penyakit genetik. Dengan teknologi ini, manusia dapat menjadi lebih tahan terhadap penyakit dan memiliki umur yang lebih panjang.
Namun, penggunaan rekayasa biogenetik juga menimbulkan pertimbangan etika dan moral yang mendalam. Dalam menciptakan manusia-manusia baru, perlu dipastikan bahwa hak asasi manusia tetap terjaga. Selain itu, teknologi ini harus digunakan untuk kebaikan bersama, bukan hanya untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu saja.