Entah disadari atau tidak, eksploitasi terhadap tubuh perempuan terjadi dalam beberapa lini kehidupan. Budaya patriarki salah satu di antara beberapa penyebabnya.
Sebelum membaca buku ini, aku menilik sinopsisnya terlebih dahulu, apakah buku ini pas dan cocok untuk selera atau bukan?
Ternyata, sesuai yang saya kira, sinopsis dan isinya menjadi perhatian. Terlebih, judulnya yang tak kalah menarik yaitu susu dan telur.
Sebagai lelaki, aku tak mempermasalahkan jika para lelaki membaca novel-novel yang terkhusus dan dipersembahkan untuk perempuan. Karena bagiku, hal tersebut menjadi landasan untuk mempelajari hal-hal yang membuat perempuan termarjinalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti isu perempuan karir, peran perempuan di publik, perempuan yang menggugat standar kecantikan, tak luput juga perempuan yang menghadapi bermacam-macam tekanan karena konstruksi (budaya) masyarakat yang ada padanya.
Menurut saya, apapun bacaannya, kita dapat merepresentasikan di kehidupan nyata dan mengamalkannya. Sebagai lelaki yang juga memahami wanita maupun sebaliknya, maka dari itu tak usah saling menggugat genre/jenis bacaan.
Kembali ke pembahasan, buku ini membahas dengan gamblang terkait isu standar kecantikan yang ada di beberapa wilayah, khusus buku ini mengambil latar tempat di Jepang, Nabs.
Jepang salah satu negara di Asia Timur yang kerapkali mendambakan kecantikan dengan menyesuaikan tren melalui berbagai produk kecantikan dan operasi badan.
Tokoh fiksi dalam buku ini adalah Makiko yang berangan-angan mengoperasikan payudaranya.
Ia berspekulasi bahwa mengoperasikan payudara dan putingnya, akan menjadi sosok perawan kembali.
Karena dalam buku tersebut, diceritakan Makiko sudah mempunyai anak dan seorang singel parents, namun yang menarik anaknya Makiko yaitu Midoriko.
Midoriko menjadi simbol represif dalam menggugat standarisasi masyarakat karena memaknai tubuh perempuan serta merta, sehingga Midoriko meluapkannya di berbagai buku catatan harian.
Midoriko berindikasi bahwa, ketika beranjak dewasa, ia tak mau terjebak dalam tubuh perempuan dan melahirkan tubuh perempuan, karenanya sebelum tubuh perempuan lahir, ia sudah ditakdirkan akan melahirkan lagi dan lagi.
Oleh karena itu, Midoriko tak mau seenaknya menggunakan badan/tubuhnya untuk kebutuhan gaya hidup serta memenuhi tuntutan standarisasi dan kompetisi mempercantik diri.
Midoriko merepresentasikan anak yang menggugat ibunya sendiri, dikarenakan hanya karena terlahir, ibunya menjadi jelek dan tak memenuhi standarisasi kecantikan, padahal Makiko sebab adanya eksistensi keberadaan Midoriko. Hmmm…, susah ya, jadi perempuan!
Nabs, selanjutnya Natsu, adik dari Makiko yang menjadi pemeran utama dalam novel ini yang juga menggugat konstruksi masyarakat terhadap perempuan.
Natsu berinisiatif memiliki anak tanpa suami dan hubungan badan, karena trauma dalam berhubungan seksual yang pernah dialaminya.
Dalam teknologi inseminasi buatan, Natsu mencoba untuk melahirkan anak dengan memanfaatkan teknologi tersebut.
Teknologi tersebut kerapkali menjadi alternatif akhir, bagi pasangan suami istri yang sulit mendapatkan anak.
Namun, yang menjadi masalah utamanya adalah para pendonor sperma yang tak diketahui identitasnya atau disebut juga sperma anonim.
Para pendonor sperma kerapkali merahasiakan identitasnya karena kebutuhan teknologi untuk merahasiakan bisnisnya. Alhasil, para anak-anak hasil donor sperma anonim tak mengetahui ayah kandungnya.
Para anak yang menjadi korban sperma anonim menjadi korban masyarakat, terlebih-lebih keluarganya sendiri kerap memarginalkan dan mengucilkannya.
Dampak sperma anonim menjadi isu menarik yang saya telaah dalam novel ini, para korban berinisiatif mencari ayah kandungnya dengan menilik berbagai informasi yang ada dalam perusahaan tersebut.
Titik yang aku telaah sampai saat ini, kerapkali rahim perempuan menjadi primadona incaran para ilmuan sains, sehingga eksploitasi tubuh wanita menjadi isu hangat dalam masyarakat kontemporer saat ini, alih-alih masyarakat memahami tubuh dan hak perempuan dalam menggunakan rahimnya.
Ternyata, ikut campur dalam melanggengkan stereotip tersebut. Sehingga perempuan termarginalkan dan selalu dituduh tak sempurna oleh masyarakat jika rahim tak dipergunakan.
Rahim perempuan didedikasikan seperti mesin pembuat keturunan dan dieksploitasi demi memenuhi hasrat gaya hidup yang belum tentu melek terhadap kebahagiaan diri sendiri.
Dalam konstruksi masyarakat yang mendarah daging, tentu hal tersebut menjadi tantangan bagi perempuan untuk menginvestasikan rahim demi memenuhi berbagai tuntutan yang ada.
Nabs, dalam kasus-kasus yang terjadi di novel ini, aku menilik di beberapa adegan yang tertampil, bukan hanya perempuan yang berpotensi mandul, ternyata laki-laki juga bisa berpotensi juga, karena disebabkan masyarakat yang belum melek sains, alhasil masyarakat bahkan keluarga sendiri menganggap perempuan yang mandul dan tidak cukup sempurna dalam menjalani kehidupan.
Nyatanya, di dalam berbagai macam-macam kehidupan, menikah dan mempunyai anak tidak membuat orang bahagia dan seringkali cerai menjadi jalan terakhirnya.
Berbagai polemik pernikahan juga ditampilkan di novel ini, Nabs. Pernikahan yang kita dambakan tak selamanya menyulut kebahagiaan terhadap anak dan keluarga, banyak sekali pernikahan berujung perceraian oleh pihak tertentu, selain itu juga tidak memenuhi kriteria masyarakat.
Paradigma yang muncul tidak sekadar menggambarkan realitas masa kini yang masih saja terbelenggu budaya patriarki, tanpa adanya saling kerja sama antara lelaki dan perempuan.
Jika kita menilik serta melek untuk melihat sejenak di sekitar kita, tubuh perempuan kerapkali dipandang sebelah mata karena alasan yang tak dapat digugat oleh si perempuan itu sendiri.
Seperti contohnya, saya sering melihat perempuan-perempuan di dunia nyata dan media acap kali berlomba-lomba untuk mempercantik diri dengan datang ke salon, membeli berbagai produk skincare, tentunya suntik putih agar memuaskan diri sesuai tuntunan yang ideal dengan zaman, tidak tanpa alasan perempuan melakukan tersebut karena tuntutan ruang, waktu, konstruksi sosial yang mendarah daging.
Dalam mencari pekerjaan, cara berpakaian, dan lainnya kerapkali standarisasi perempuan adalah pakaiannya dan seringkali penampilan menjadi awal untuk menyebrang dan menuduh perempuan tidak baik karena memamerkan bagian tubuhnya.
Suatu hal yang memilukan bukan? Di dalam ruang profesi kena syarat yang tak masuk akal di ruang publik kena getah karena penampilannya menggoda. Dalam budaya patriarki sendiri, masyarakat masih berstigma dan bersikukuh kodrat wanita adalah beranak pinak dan dituntut memenuhi keinginan suami dalam mendambakan anak sebanyak-banyaknya.
Aku sekadar menampik kata pepatah, “banyak anak banyak rezeki” bagi saya, pepatah tersebut kerap menjadi alasan lelaki untuk mencabut hak-hak rahim dengan berbagai upaya dan cara, supaya rahim dapat subur seperti kasus tadi, inseminasi buatan menjadi alternatifnya.
Nabs, teknologi yang ada saat ini, alih-alih membuat perempuan setara dengan lelaki, nyatanya berdampak besar terhadap kelangsungan hidup si anak yang dilahirkan. Anak dilahirkan tak ingin dilahirkan justru dipaksakan untuk berbagai upaya lahir dengan jalan apapun. Alhasil saling merugikan berbagai pihak yang bersangkutan.
Kesimpulan yang saya ambil dari novel tersebut dan realita masyarakat kita adalah jangan terlalu mendambakan tubuh sesuai standarisasi tren masyarakat modern yang ada, saya bukan tak memperbolehkan perempuan berdandan dan menghias diri, itu tak masalah, yang menjadi masalah berupaya untuk cantik dengan menggunakan teknologi produk kapitalisme yang mengekspos ke bentuk iklan-iklan supaya perempuan lupa akan standar kecantikan diri sendiri.
Alih-alih menjadi cantik dan bahagia, nyatanya berakhir permasalahan-permasalahan kecil lainnya. Tak luput sesama perempuan pun sering menghakimi standarisasi perempuan lain dengan dalih demi kita bersama, memilukan.
Selanjutnya, terkait kasus inseminasi buatan dan eksploitasi terhadap rahim perempuan yang menjadikan objek percobaan, wahana, dan pemaksaan dalam melahirkan mesin cetak anak, semena-mena tanpa memikirkan kedepannya akan seperti apa terhadap berbagai pihak, rahim perempuan berhak menentukan seberapa ia ingin memilih anak atau tak memiliki anak, kita sebagai lelaki tak mesti memaksakan kehendak demi memenuhi hasrat diri dan konstruksi sosial yang ada.
Sampai kapan kita menjadikan objek dan mengeksploitasi tubuh perempuan demi memenuhi tuntutan yang ada? Sampai kapan kita mendambakan belasan anak demi tuntutan sosial? Ingat, bumi ini tidak serta merta tempat tinggal yang didedikasikan untuk manusia saja, tetapi seluruh makhluk berhak tinggal di bumi kita. Sampai kapan ibu bumi dieksploitasi dan dianggap seperti properti belaka oleh segelintir manusia yang serakah?
Muhammad Baharudin Romadhoni adalah pemerhati lingkungan hidup, buku anak, dan menyediakan jasa rental buku ‘Jenggala’ untuk meratakan akses bacaan ke semua kalangan