Kita antusias dan beramai-ramai mengibarkan sang dwiwarna (Sang Merah Putih), tapi justru kita lah yang menurunkan martabat dan memperkosanya.
Bulan Agustus menjadi bulan yang penting bagi segenap masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dipahami karena Agustus merupakan bulan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 menjadi tonggak baru “kelahiran” republik yang dinantikan berbagai kalangan.
Nabs, oleh karena itu, tak heran ketika di bulan Agustus, banyak upaya yang dilakukan generasi saat ini untuk mengisi kemerdekaan seperti lomba 17-an, pengajian maupun doa bersama, tak terkecuali pula adalah pengibaran sang dwiwarna atau Sang Bendera Merah Putih.
Bendera Merah Putih sebagai bendera negara sejatinya dipertegas dalam landasan konstitusonal yaitu pada Pasal 35 UUD NRI 1945. Pencantuman dalam UUD NRI 1945 sejatinya hanya bersifat penegasan, hal ini karena eksistensi Bendera Merah Putih sudah ada sebelum Indonesia merdeka dan “konon” dikaitkan dengan “umbul-umbul” pada zaman Kerajaan Majapahit.
Terlepas dari fakta historis tersebut, kiranya perlu pemahaman atas makna dari pengibaran Sang Bendera Merah Putih.
Pemahaman serta implementasi akan makna pengibaran Bendera Merah Putih menjadi penting supaya masyarakat Indonesia tidak “mendewakan” aspek seremonial namun gagal paham mengenai hal yang lebih penting yang bersifat substansial dan esensial.
Masyarakat kita seringkali terjebak pada simbol, dogma, lambang, maupun atribut yang sekalipun tidak sejalan dengan maknanya, tetap dianggap sebagai kebenaran bahkan “dilazimkan” dengan alasan “sudah pada umumnya hal tersebut dilakukan”.
Tulisan ini berupaya membedah makna pengibaran sang dwiwarna yaitu Bendera Merah Putih beserta kritik serta orientasi dalam pengimplementasiannya.
Memaknai Sang Merah Putih
Bendera Merah Putih tidak hanya dimaknai sebagai “seonggok” kain yang dikibarkan di jalan-jalan atau di depan rumah. Berkibarnya Sang Merah Putih sejatinya merupakan suatu simbol dari lepasnya Indonesia dari cengkeraman penjajahan dan imperialisme.
Dalam aspek historis, warna “merah-putih” sejatinya merupakan warna yang menunjukkan eksistensi peradaban dan keluhuran masyarakat Nusantara bahkan hingga masyarakat dengan rumpun bangsa dan bahasa Austronesia.
Bangsa Austronesia merupakan rumpun bangsa dan bahasa yang tersebar dari sekitar Taiwan dan Hawaii di utara, Selandia Baru di ujung selatan, Madagaskar di ujung barat, sampai yang tersebar Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur. Dari rangkaian tersebut maka Kepulauan Nusantara sejatinya termasuk dalam rangkaian ini.
Karim Halim (1952) dalam bukunya yang berjudul“Negara Kita” menegaskan bahwa dalam falsafah hidup Bangsa Austronesia, bumi disimbolkan sebagai “ibu” dan diidentikkan dengan warna merah. Sedangkan langit, diidentikkan sebagai “bapak” dan diidentikkan dengan warna putih.
Kombinasi antara bumi dan langit tersebut mewujud dalam warna merah-putih sebagai dualisme alam semesta yang harus dijaga dan dihormati sebagai satu pasangan keteraturan alam semesta. Lebih lanjut, warna merah-putih juga familiar dipakai sebagai panji-panji kebesaran oleh beberapa kerajaan di Nusantara, salah satunya Kerajaan Majapahit yang eksis pada tahun 1293 hingga 1527 Masehi.
Pada masa perlawanan terhadap penjajahan, Sisingamangaraja XII (1876-1907) di tanah Batak, Sumatera Utara juga menggunakan bendera perang yang terdapat warna merah-puthinya (Prinada, 2022). Bendera perang dengan warna dominan merah-putih juga digunakan oleh Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro/Perang Jawa pada tahun 1825-1830.
Penggunaan warna merah-putih sebagai warna identitas nasional juga berlanjut pada abad ke-20, khususnya pada saat era kesadaran dan pergerakan nasional sedang tumbuh-tumbuhnya pada saat itu.
Hal ini secara resmi dilakukan dalam Kongres Pemuda ke-I dan mencapai puncaknya pada pelaksanaan Kongres Pemuda ke-II yang dilaksanakan pada 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda beserta digunakannya identitas kebangsaan Indonesia secara resmi seperti bendera merah putih, lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman, hingga penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Bendera Merah-Putih yang lazim disebut Sang Saka Merah-Putih dijahit oleh Ibu Fatmawati yang merupakan Istri salah satu pahlawan proklamator, yaitu Sukarno atau Bung Karno, Nabs.
Dari uraian singkat aspek historis tersebut dapat disimpulkan bahwa Bendera Merah-Putih merupakan “bendera nasional” yang memiliki nilai historis dan filosofis berdasarkan akar peradaban bangsa Indonesia sendiri.
Secara yuridis, selain dalam UUD NRI 1945, pengaturan mengenai bendera negara juga terdapat dalam UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, ditegaskan bahwa bendera negara adalah Sang Merah Putih.
Penegasan ini juga dilanjutkan dengan sanksi pidana jika terdapat upaya perendahan martabat terhadap bendera negara sebagaimana dalam Pasal 66 dan 67 UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Mengacu pada aspek historis dan yuridis tersebut, Bendera Merah-Putih harus dimaknai sebagai simbol yang di dalamnya terpancar nilai-nilai moral kebangsaan. Singkatnya, menurut hemat penulis, berkibarnya Sang Merah Putih adalah lambang dari “Supremasi Moral”.
Supremasi moral dalam hal ini harus dimaknai bahwa berkibarnya Sang Merah Putih adalah wujud eksisnya Negara Indonesia sebagai penjaga moralitas publik (the guardian of public morality). Hal ini menegaskan bahwa negara dan tentunya pemerintah (ada dan tentunya diadakan) untuk melayani kepentingan moralitas publik masyarakat dan bukan sebaliknya, moralitas publik distandarisasi oleh ketentuan sepihak negara maupun pemerintah.
Moralitas publik sebagai manifestasi berkibarnya dwiwarna juga seharusnya menjadi orientasi tertinggi dalam kehidupan bernegara. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh St. Agustinus bahwa negara yang mengabaikan serta menihilkan moralitas publik serta keadilan tak ubahnya sebagaimana segerombolan perampok yang bertindak atas dasar hukum positif (peraturan perundang-undangan). Hal ini lah yang merupakan hal yang tidak kita inginkan bersama di Indonesia tercinta ini.
Suatu Enigma
Pengibaran sang dwiwarna, Bendera Merah-Putih sebagai simbol “supremasi moral” harusnya terejawentah dalam kehidupan sehari-hari. Namun dapat kita lihat saat ini, banyak sekali kantor dan institusi publik yang mengibarkan Bendera Merah-Putih dengan ukuran besar dan tiang yang tinggi namun tidak diimbangi dengan mentalitas serta moralitas yang tinggi.
Kita justru tidak asing dengan adanya perilaku korupsi yang dilakukan para pejabat publik yang justru tindakan korupsi dilakukan dalam suatu institusi yang mengibarkan Bendera Merah-Putih. Hal ini lah yang kemudian menjadi pertanyaan masyarakat awam, “Lantas untuk apa Bendera Merah-Putih dikibarkan tapi supremasi moral dicampakkan dalam selokan-selokan kenegaraan?”.
Belum lagi, ulah para “oknum” pejabat maupun pengemban institusi negara lainnya yang justru tidak memberikan keteladanan bagi masyarakat.Kita tentu pernah mendengar bagaimana “seragam ASN”, “seragam TNI maupun POLRI” dijadikan “senjata” oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari jodoh maupun digunakan untuk kepentingan-kepentingan pribadi lainnya.
Tentu, institusi ASN, TNI, serta POLRI adalah institusi yang bagus, namun ulah segelintir “oknum” yang memberikan kesan negatif ini lah yang mencoreng institusi tersebut beserta semangat dikibarkannya Bendera Merah-Putih.
Nabs, negara yang identik dengan pelayanan masyarakat tidak boleh “disetir” oleh segelintir kelompok untuk memuaskan hasrat kepribadian per individu. Jika hal ini masih terjadi maka pengibaran sang dwiwarna dapat disebut sebagai suatu “kesia-siaan” karena kita hanya memberhalakan atribut dan tanda kebesaran tapi lupa memahami makna dan penerapannya.
Hal ini lah yang dalam bahasa Sukarno bahwa kita hanya “mewarisi abu sejarah” tetapi gagal menyelami makna “api sejarahnya”. Oleh karena itu, diharapkan bahwa sebagai institusi publik, sudah selayaknya negara beserta institusi-institusi pelaksananya memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat serta memberikan keteladanan ke masyarakat tentang pentingnya hidup sederhana sebagai bagian penting dari sikap nasionalisme.
Mengibarkan Kembali Sang Merah Putih
Adanya enigma atau suatu ketidakjelasan makna dalam pengibaran sang dwiwarna, Bendera Merah-Putih sejatinya merupakan benturan antara idealitas dan realitas. Idealitasnya, berkibarnya Bendera Merah-Putih adalah simbol “supremasi moral publik” tetapi realitasnya berapa banyak “supremasi moral publik” yang digadaikan, direduksi, hingga dicampakkan atas nama negara dan Merah-Putih?
Upaya untuk “mengibarkan” kembali Sang Merah-Putih pun perlu mendapatkan perhatian bersama. Mengibarkan kembali Sang Merah-Putih harus dimaknai sebagai upaya untuk menggali sedalam-dalamnya makna dan menerapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini supaya berkibarnya sang dwiwarna, Bendera Merah-Putih sejalan dan relevan dengan “berkibarnya” “supremasi moral publik”. Supremasi moralitas publik secara sederhana berarti hadirnya kebijakan yang pro-rakyat, peningkatan lapangan pekerjaan, hingga akses terhadap pendidikan serta perlindungan hukum yang layak dan merata bagi seluruh masyarakat.
Tanpa itu semua, pengibaran sang dwiwarna, Bendera Merah-Putih hanyalah suatu enigma, suatu yang tidak jelas dan hanya penghambaan terhadap berhala yang miskin dan nihil makna. Jika dalam pengibaran sang dwiwarna, Bendera Merah-Putih masih juga tidak dikaitkan dengan “supremasi moral publik”, lebih baik Bendera Merah-Putih dikibarkan di kuburan atau tempat pemakaman umum.
Hal ini tentu bukan dalam arti menghina atau merendahkan Sang Merah-Putih, tetapi bukankah mereka yang berada di kuburan atau tempat pemakaman umum lebih relevan dengan pengibaran Sang Merah-Putih?
Di kuburan “seandainya” Sang Merah-Putih dikibarkan juga sejatinya masih pantas, karena di kuburan, berkibarnya Sang Merah-Putih identik dengan ingatan manusia akan kematian. Ingatan manusia akan kematian justru mendekatkan manusia pada nilai ketuhanan yang berimplikasi pada kesalehan sosial terhadap sesama manusia.
Hal ini justru menjadi hal yang “berbanding terbalik” ketika Sang Merah-Putih dikibarkan di gedung-gedung kenegaraan yang di dalamnya terdapat “oknum” yang melakukan korupsi, pelecehan seksual, hingga perbuatan hina dan nista lainnya, Nabs.
Tentunya, jika berkibarnya sang dwiwarna, Bendera Merah-Putih tidak sejalan dan relevan dengan “berkibarnya” “supremasi moral publik”, maka lebih baik Sang Merah Putih dikibarkan di kuburan sebagai pengingat manusia bahwa “setiap amanat akan memerlukan pertanggungjawaban terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.