“Man ‘arafa nafsahu ‘arafa Rabbahu”
Seorang Sufi yang cukup terkenal, Yahya Bin Muadz Ar-Razi, pernah mengatakan sebuah kalimat, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Ketika kita membaca kalimat tersebut, timbullah suatu pertanyaan lanjutan, “Bagaimana mengenali diri bisa mengantar kita pada perkenalan dengan Tuhan?”
Perkenalan kita dengan diri sendiri akan mengantar kita pada perkenalan dengan Tuhan dengan cara yang sama seperti kita bercermin. Sama namun berkebalikan.
Proses pengenalan yang mengantarkan kita pada pengetahuan mengenai kekurangan-kekurangan diri itulah yang membuat kita sadar bahwa diri kita tidaklah sempurna.
Manusia tidaklah sempurna, meskipun banyak dikatakan sebagai makhluk yang mendekati kesempurnaan. Hampir. Ini berarti tidaklah cukup untuk dikatakan sempurna.
Dan kesadaran diri itulah yang membawa kita pada pengetahuan lain, bahwa ada yang sempurna, sehingga kita dikatakan mendekati sempurna. Siapa pemilik kesempurnaan itu?
Ia tak lain adalah zat yang tak ada di bumi yang kita tinggali – yang kita tahu pasti segalanya akan musnah, sirna, mati, dan terganti. Ia yang kita yakini sebagai yang kekal, yang abadi, yang tak tersentuh mati. Begitulah kira-kira, Nabs.
Momen mengenali diri, selain untuk lebih mendekat pada Tuhan, juga untuk kita lebih mawas diri, Nabs. K. H A. Mustofa Bisri, yang kita kenal dengan sapaan Gus Mus ini suatu hari menuliskan sebuah buku yang berjudul ‘Saleh Ritual, Saleh Sosial’. Di bagian awal buku itu, ia membahas tentang percakapan dengan diri sendiri. Wah, gila, dong?
Sama sekali tidak. Gus Mus berkata di dalam bukunya bahwa kita seharusnya memiliki satu momen khusus untuk memisahkan diri kita dari diri itu sendiri. Bingung, kan? Memisahkan diri dari diri sendiri berarti mengambil jarak dari diri kita.
Setelahnya kita akan mampu mengadakan dialog yang sangat pribadi, yang sangat mendalam. Hanya dengan begitu kita mampu membuat koreksi atas diri kita sendiri.
“Tanpa membuat jarak terhadap diri sendiri sedemikian rupa, kiranya sulit dibayangkan kita dapat melakukan penilaian-penilaian intern diri menurut ukuran-ukuran yang mendekati objektif,” Tulis Gus Mus di dalam bukunya.
Setelah melakukan dialog dengan diri sendiri, kita akan menemukan kekurangan-kekurangan dalam diri. Beberapa harus diterima dengan lapang dada, beberapa harus dilakukan koreksi dan kemudian dilakukan perbaikan.
Menata dan menempatkan diri sebagai sebaik-baiknya manusia kepada manusia, dan sebaik-baiknya hamba yang melakukan pendekatan pada Tuhannya, yakni dengan mempergunakan sebaik-baiknya karunia yang hanya diberikan Tuhan pada manusia: hati nurani dan akal sehat.
Menggunakan analogi dari Sufi ternama, Imam Ghozali, Gus Mus menuliskan bahwa manusia laiknya sebuah kerajaan, di mana hati nurani adalah raja dan akal sehat adalah perdana menteri.
Sedang indra dan anggota tubuh lainnya adalah pembantu yang harus tunduk pada perintah raja, bukan sebaliknya. Pengibaratan-pengibaratan tersebutlah yang disebut Gus Mus sebagai momen dialog dengan diri sendiri.
Hati nurani sebagai raja bertindak untuk mengambil keputusan. Akal sehat sebagai perdana menteri yang bertugas memberi masukan.
Indra dan organ-organ lain sebagai pembantu yang melaksanakan kehendak dari rajanya. Hanya dengan menyatu-pisahkan bagian-bagian itu kita bisa memberi koreksi terhadap diri.
Lantas kapan waktu yang sangat baik untuk kita melakukan dialog dengan diri kita sendiri? Jawabannya adalah saat ini. Sebagai muslim, kita percaya bahwa momen ramadhan adalah momen penuh berkah.
Tuhan membuka seluas-luasnya pintu ampunan bagi kita yang meminta. Pintu berkah juga dibuka seluas-luasnya untuk hamba-Nya yang mencari.
Untuk itulah Gus Mus mengatakan bahwa ramadhan adalah waktu yang sangat mendukung untuk peningkatan mutu keimanan, keberagaman, dan kemanusiaan. Dengan begitu, kita dapat lebih mendekatkan diri pada Tuhan.