Nggamblik dan upaya untuk terus berbuat baik dengan cara asyik, meski udik.
Beberapa waktu lalu warganet, khususnya kalangan Nahdliyyin, lebih khusus lagi Nahdliyyin yang setuju dengan ide Islam Nusantara, digegerkan dengan lagu koplo berjudul Joko Tingkir Ngombe Dawet.
Lirik awal pada lagu tersebut begini: Joko Tingkir ngumbe dawet, ojo dipikir marai mumet’ (Joko Tingkir minum es-dawet, jangan dipikir, bikin pusing).
Awalnya lagu ini biasa-biasa saja, seperti lagu koplo pada umumnya, ketika dinyanyikan seringkali menyebabkan ‘pingin joget’, tidak ada yang aneh.
Kemudian saat lagu ini viral, ada seorang kyai yang juga sebagai dai, mengomentari lagu itu dengan komentar yang kurang lebih isinya menyatakan: lagu ini tidak pantas karena merendahkan sosok Joko Tingkir yang notabene Wali (kekasih) Allah.
Tentu sudah banyak yang menulis tentang fenomena ini, baik yang pro maupun kontra. Masing-masing punya argumen yang sama-sama berpotensi salah sekaligus berpotensi benar. Rasanya tidak perlu dijelaskan lagi. hehehe.
Ada seorang kyai pakar tafsir yang beberapa tahun lalu mengampanyekan kata ‘Apik Kabeh’ (baik semua) pada banyak postingannya di sosial media (baik di Facebook maupun WhatsApp) sebagai respon atas berbagai macam fenomena.
Tentu saja kata ‘apik kabeh’ ini ada batasannya, selama tidak melanggar aturan agama, atau misal melanggar aturan agama, paradigma ‘apik kabeh’ masih bisa dibenarkan dengan maksud mungkin saja itu ‘apik’ menurut agama dan kepercayaannya, bukan menurut agama dan kepercayaan kita.
Saya tertarik menggunakan paradigma ‘apik kabeh’ dalam menyikapi fenomena lagu ‘Joko Tingkir’ ini.
Saya tidak ingin menyalahkan mereka yang menganggap bahwa lagu itu menistakan wali Allah (karena minum es dawet), dan saya juga tak ingin menyalahkan mereka yang menganggap lagu itu biasa saja, tidak ada yang dinistakan, toh salahnya dimana jika Joko Tingkir (wali Allah itu) melakukan/meminum es dawet, bukankah makan dan minum adalah perkara mubah?!
Dan yang diminum juga es dawet, bukan khamr, toh kata ‘ngombe dawet’ di situ juga hanya sekali, di awal saja. Jadi menurut saya ya ‘apik kabeh’. (bisa jadi ‘apik kabeh’ ini sejalan dengan teori ‘mushawwibah’-nya Hujjatul Islam al-Ghazali, Wallahu a’lam).
Nahdliyyin Nggamblik
Kaum Nahdliyyin (sebutan untuk jamaah NU) sejak lagu itu viral memang terbagi menjadi dua, ada yang sepakat dengan adanya penistaan terhadap nama besar wali Allah, ada pula yang sebaliknya, meniadakan penistaan.
Tidak sedikit dari kyai atau ustadz yang kemudian juga ikut-ikutan berada di kubu A atau kubu B kemudian menyampaikan pemikirannya yang sesuai dengan A atau B tersebut kepada jamaahnya masing-masing.
Sebenarnya bebas sih, wong semuanya ‘apik kabeh’, tapi saya mau menawarkan sikap menarik (minimal menurut saya) juga apik untuk menyampaikan seuatu yang baik, saat ditanya dengan hal-hal yang sebenarnya tidak penting-penting amat untuk dijawab, yaitu dengan cara ‘Nggamblik’.
Terkadang, hal ini baik, hal itu juga baik, hal itu lagi juga baik untuk kita, dan seterusnya. Banyak kebaikan di depan mata kita yang bisa kita lakukan, tapi pengetahuan akan kebaikan saja tidak cukup, perlu ditambah dengan “itu baik untuk siapa? caranya bagaimana?” agar kebaikan itu tetep menjadi baik dan tersampaikan dengan baik juga apik.
“Nggamblik” adalah satu dari sekian cara udik agar berbuat baik semakin asyik, nggamblik ini terkadang mirip bohong karena menyampaikan sesuatu dengan majas metafora, atau bahkan ironi, terkadang juga tampil seperti kritik pedas tapi didahului dengan memuji-muji.
Tentu saja ini istilah yang saya definisikan sendiri, benar-salahnya saya juga tidak tahu karena memang tidak ada di kamus bahasa manapun, nggamblik adalah salah satu dari sekian unén-unennya orang Jawa, Nggamblik adalah upaya untuk terus berbuat baik dengan cara asyik meski udik.
Salam nggamblik dari udinsantriudik.