Festival berbasis desa harus kerap digalakkan. Selain memanfaatkan dana desa biar nggak cuma dibikin membuat gapura saja, festival berbasis desa amat bagus untuk menutupi minimnya lokasi wisata di sebuah kota.
Singa berkelamin kecil biasanya memiliki auman lebih kencang. Peribahasa yang saya lupa dari mana asalnya itu, menunjukkan bahwa kekurangan itu bersifat niscaya, sedangkan strategi menutupi kekurangan bersifat nisbi. Hanya orang hebat yang tahu di mana letak kekurangannya.
Sebagai indikasi tempat wisata paling mudah dicerna imajinasi, gunung dan pantai tidak ada di Bojonegoro. Kalaupun ada gunung, bukan gunung yang bisa dengan mudah disetting sebagai tempat wisata. Tapi pegunungan. Dan sialnya, tidak semua orang Bojonegoro tahu bahwa mereka punya aset berupa gugus pegunungan.
Jadi, alternatif yang harus diambil— untuk tidak mengatakan satu-satunya jalan— adalah membikin festival. Sebab, meski minim tempat wisata, Bojonegoro memiliki banyak potensi festival. Dan festival, tuan-puan tahu, ia mampu menutupi sedikitnya tempat wisata di sebuah kota.
Dalam dua atau tiga atau empat atau lima tahun terakhir, Bojonegoro banyak menghadirkan festival. Ada Festival Salak Kapas, Festival Tahu Ledok, Festival Waluh Kapas, Festival Menyok Dander, Festival Layang-Layang Ngraho, festival Folklor Campurejo. Belum lagi festival berbasis desa. Itu yang sementara saya ingat.
Festival-festival tersebut, berbasis dan diinisiasi oleh desa. Festival yang ide dan daya semangatnya bersumber dari desa. Bukan Pemkab yang menginstruksi. Tapi kemauan desa sendiri, yang digerakkan oleh imajinasi dan kekuatan khasanah lokal.
Apa fungsi festival? Tentu, selain menutupi kekurangan sebuah kota yang amat minim lokasi wisata, ia mampu mengglorifikasi cerita agar banyak wisatawan mau berkunjung. Setidaknya, festival adalah gula bagi semut wisata. Atau nasi pecel bagi wisatawan yang kelaparan saat pagi hari.
Sebenarnya, saya memiliki 500-an lebih daftar objek yang bisa dibikin festival di Bojonegoro. Tapi, tidak semuanya bisa saya tulis di sini. Hanya 5 saja. Dan 5 itu sangat prioritas. Diantaranya: Festival Akar Jati Margomulyo, Festival Tebu Tambakrejo, Festival Ledre Padangan, Festival Kerajinan Kayu Kasiman, dan Festival Minyak Tua Kedewan.
Kenapa 5 kawasan itu sangat prioritas? Selain lokasinya sangat penting berada di perbatasan, kawasan-kawasan itu terlalu tawadhu. Punya potensi besar tapi enggan memamerkan. Mereka memilih tenang dalam kesunyian. ini sikap yang bagus tapi juga jelek secara bersamaan.
Nah, karena dipenuhi sikap tawadhu dan tidak sombong, tugas Pemkab adalah membedakan, apa itu tawadhu dan apa itu malas bergerak. Pemkab harus berani memicu banyak desa untuk sregep bikin festival berbasis desa. Biar mampu menutupi minimnya lokasi wisata.
Sebab singa yang berkelamin kecil sudah sepatutnya punya auman yang lebih kencang. Daerah yang tempat wisatanya minim harus punya banyak kegiatan festival. Terutama festival berbasis desa. Jangan festival yang berbasis tengah kota.
Festival berbasis desa jauh lebih prioritas digalakkan. Tujuannya banyak. Pertama: agar dana desa jelas kegunaannya. Kedua: agar desa mampu membranding daerah secara mandiri. Ketiga: biar kegiatan nggak berpusat di kota terus.
Buat apa sering bikin festival di kota yang dampaknya hanya macet. Mendingan bikin festival di desa-desa yang dampaknya desa jadi makin ramai dan perputaran ekonomi kian melebar, ya kan?
Festival berbasis desa harus kerap digalakkan. Selain untuk memanfaatkan dana desa biar nggak cuma dibikin membuat gapura saja, festival berbasis desa amat bagus untuk menutupi minimnya lokasi wisata di sebuah desa.