Membicarakan film Frozen 2 mungkin agak terlambat. Tapi, tak ada kata terlambat untuk membincang perfilman, serupa tak ada kata telat untuk mengkritisi kebijakan.
Segerombolan pemuda nangkring di teras Kedai EJSC. Itu terjadi saat gerimis di suatu malam. Membahas berbagai film sambil menimati kopi panas. Hingga satu momen, mbahas film, jatuh pada Frozen 2.
Tentu, pembahasan film itu bukan karena ada tokoh yang bernama Ana. Yang tentu saja mirip kayak nama bupati Bojonegoro, Anna Muawanah.
Nabs, Frozen 2 berkisah tentang Elsa yang mencari asal usul kekuatannya. Dia bersama Ana, Kristoff, Olaf dan Sven melakukan perjalanan. Mereka pergi ke hutan kuno yang ajaib. Itu semua demi menyelamatkan Kerajaan Arendelle.
Saat membincangkan kisah Ana dan Elsa tersebut, seorang pemuda menjadi pembincang utama. Namanya Awe Saiful Huda, pemuda gondrong yang sangat kritis sejak dalam pikiran. Dia akrab disapa Awe.
Menurut Awe, cerita Frozen 2 seperti gambaran Indonesia saat ini. Mengangkat masalah isu lingkungan yang terjadi. Misalnya banjir di Jakarta dan beberapa daerah lain. Seperti penanganan yang tidak maksimal.
“Uniknya, Frozen 2 mirip seperti Indonesia saat ini. Misalnya gagalnya kebijakan betonisasi dalam menangani banjir dan urusan penggusuran,” kata pria yang juga direktur NGO tersebut.
Awe bercerita tentang bagian film di mana Elsa bertemu seorang peramal. Elsa bertanya tentang masa depan dan takdirnya. Sayang, peramal itu tidak mampu melihat dan memprediksi masa depan Elsa.
“Saat masa depan tidak bisa dilihat atau diprediksi, yang harus dilakukan adalah yakin bahwa yang kamu lakukan adalah hal yang paling benar,” kata Awe.
Konflik ceritanya adalah tentang Raja Runeard, pendiri dan raja pertama Arendelle. Dia membuat perjanjian dengan suku Northuldra membangun bendungan di Hutan Enchanted.
Namun, perkelahian terjadi dan membuat marah roh-roh bumi, api, udara, dan air yang menghuni hutan. Roh-roh tersebut kemudian menghilang dan dinding kabut menghilangkan semua orang di hutan.
Dengan kekuatan yang Elsa miliki, dia harus bertindak berdasar intuisi. Elsa harus yakin dengan apa yang dianggapnya benar. Tujuannya demi kemaslahatan hidup rakyat Arendelle.
Menurut Awe, Elsa ibarat aparatur negara. Seorang pemimpin harus berusaha mewujudkan kepentingan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat dibangun melalui kebijakan yang humanis.
“Segala kebijakan itu harus sesuai kepentingan bersama dan rakyat itu harus diperlakukan secara humanis,” ucap Awe.
Di balik setiap kebijakan, biasanya mengundang kontroversi. Menurut Awe, ini begitu unik. Mirip sekali dengan keadaan politik Jakarta. Terlebih soal penanganan banjir.
Dari Frozen 2, kamu bisa menemukan dua mazhab penanganan banjir. Mazhab Ahok soal normalisasi sungai dan mazhab Anies soal naturalisasi sungai. Keduanya kerap dibandingkan dan diperdebatkan.
“Film itu juga menggambarkan seperti keadaan di Jakarta, yaitu penanganan banjir. Khususnya soal normalisasi atau naturalisasi. Apik iku. Jajal wae nonton,” pungkas Awe.
Namun, sebagai pemerintah perlu bijaksana dalam membuat kebijakan. Bukan lagi tentang salah atau benar, tetapi mana yang dinilai perlu diambil langkah. Intinya, permasalahan harus segera dicarikan solusi. Setelah itu, segera dilakukan. Demi kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat.