Kalimat rasis yang keluar dari catatan Ma-Huan yang diamini oleh Cheng-Ho (1431-1433 M), telah beratus tahun menjadi dasar sejarawan politik modern dalam merangkai kondisi sosio-kultur Jawa yang hilang dari kacamata dunia. Sebagian dari buih peradaban yang sampai di pesisir itu, bahkan menjadi klaim pandangan mereka pada orang-orang Jawa.
Bahwa penduduk Jawa terdiri dari 3; orang keturunan Islam dari barat yang lama menetap, orang-orang China, dan orang-orang pribumi, dimana golongan yang paling terakhir adalah orang-orang yang sangat kotor dan memprihatinkan (Agus Sunyoto, 2017).
Menerka Jawa dari luar tentu saja tidak bijaksana, karena bagaimanapun Ibukota Kerajaan (atau lebih tepat disebut sebagai Kekaisaran Maritim) Nusantara masih berada di pedalaman Jawa. Majapahit tentu bukan negara agama. Para Raja dan para Wali tentu faham dengan kebhinnekaan rakyatnya. Laksamana China (ChengHo) dan Portugis (Pires) hanya melihat Jawa dari laut dan tentu saja awam dengan peradaban konsentris-agraris yang selama ribuan tahun telah bertahan di Jawa.
Dengan hierarki kemasyarakatannya yang rumit; Tripaksa, Caturdwija, Caturashmara, Caturbhasma, Caturjanma (Sujanma), dan Kujanma, peradaban Jawa akan dengan sendirinya memilah ideologi baru mana yang benar-benar sesuai dengan kondisi keberagaman Nusantara. Keruntuhan peradaban Majapahit yang lamban, menandakan Mandala Majapahit itu runtuh dari inti (jiwa) menuju ketidakstabilan kelopak di seluruh sisi-sisinya.
Penurunan paling mencolok yang ditandai dengan konflik keluarga yang tak kunjung reda antara elit politik keluarga Istana dalam menghadapi laju perubahan iklim laut yang telah dikuasi Jung-Jung China dari Timur menuju Barat, ditambah laju pelabuhan-pelabuhan pesisir yang membawa muatan theokrasi Islam dari Barat menuju Timur, pada akhirnya tak mampu ditawarkan atau bahkan dilawan dengan kekuatan pamungkas “Trisula” Majapahit; Ardi Jiwana (gunung), Tuban (pesisir) dan Sedayu (Bengawan).
Sayangnya, walau fakta sejarah mengulanginya berkali-kali, keberadaan Bengawan sebagai penyambung gunung dan pesisir Jawa, hampir dilupakan sepenuhnya; sebagai pondasi kekuatan dan tolok ukur kemajuan atau kemunduran Kerajaan Jawa. Bengawan pernah mengantarkan puncak kejayaan Majapahit dengan banyaknya Naditirapradesa sebagai jalur penghubung simpul-simpul ekonomi dan ideologi, namun hanya perlu satu generasi semua kemajuan itu berhenti dikala Bengawan menjadi “seekor naga” yang kehilangan denyut nadi.
Bahwa Bengawan tidak benar-benar kehilangan wujut dan fungsi kasar, tetapi sungguh kehilangan nyawa ketika harus memihak salah satu; kiri atau kanan bantaran, bagian gunung atau pesisir.
Penguasa Pajang, harus menunggu lama agar dekat dengan “Sima” selat Muria juga dengan “Medang Kamulan” untuk dengan seksama menyambung urat nadi itu.
Keberhasilannya terlihat ketika mampu menguasai konsep suaka “air suci” para Tripaksa Majapahit, dan suaka “baita” leluhur para Wali yang ada di Jipang, untuk kemudian menunggang Gajah menuju Giri, memohon restu untuk mengantarkannya sebagai seorang Sultan Jawa.
Tapi Kompeni tanpa kompromi bercerita bahwa Mataram mendapat dukungan dari Demak dan mengklaim mendapat restu dari Kalijaga, membungkam mulut Bengawan dengan Kerbau, dan burung gagak membedah perut Jipang dan mengisinya dengan mitos-mitos dendam. Sungguh, tujuan Kompeni sebenarnya hanya ingin memastikan Bengawan selalu di bawah kendalinya, entah melalui Mataram, Madura, atau yang lainnya.
Benawa, penerus Sultan yang sejati, yang identik dengan “baita” penyeimbang Bengawan di Jipang, harus rela menyerahkan suaka lalu-lintas dan kapal-kapal kepada Mataram, sebagaimana Gajah-gajah yang tak mungkin lagi digunakan untuk wahana Raja di Jawa setelahnya. Benawa dikatakan menemui kedamaiannya di atas bukit dekat Desa Banyu, berkata suatu saat akan muncul penggantinya, ketika Gajah-gajah telah berkumpul di Mercusuar Jipang, untuk menantikan kedatangan kapal-kapal dari penjuru Nusantara.